Aku membuka mataku, namun
rasanya berat sekali. Mungkin karena aku masih mengantuk. Iya, tadi malam aku
pulang terlalu malam karena Anthony mengajakku ke rumahnya untuk dikenalkan
kepada orang tuanya. Aku ingin memejamkan mataku lebih lama lagi. Namun ini
hari Senin, aku harus sekolah.
Aku segera beranjak dari kamarku dan segera menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi aku ke meja makan. Papa dan mamaku sudah menungguku disana. Aku segera menghabiskan sarapanku dan segera berangkat sekolah.
Aku segera beranjak dari kamarku dan segera menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi aku ke meja makan. Papa dan mamaku sudah menungguku disana. Aku segera menghabiskan sarapanku dan segera berangkat sekolah.
Aku
berpamitan kepada orang tuaku dengan mencium tangan mereka. Kemudian aku
berjalan keluar rumah, dan Anthony telah menjemputku. Dia memang kekasih yang
baik. Dia selalu ada buat aku.
Ketika
sampai di sekolah aku melihat beberapa pasang mata menatapku dengan tatapan tak suka saat aku
berjalan bersama Anthony. Iya, mereka adalah Donna dan teman-temannya. Mereka
memang tidak suka aku berhubungan dengan Anthony. Donna adalah mantan kekasih
Anthony, setelah meraka putus barulah aku yang menjadi kekasih Anthony.
“Sudah,
jangan hiraukan mereka,” kata Anthony menghiburku.
Bel
istirahat berbunyi. Aku berjalan menuju kantin bersama Gita, sahabatku. Kami
duduk dan berbincang-bincang dan saling curhat. Saat itulah aku mendengar
seseorang memanggilku.
“Nila..
,” katanya.
Aku
menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata itu Adam. Dia adalah kapten
basket putra di sekolahku. Aku bisa menebak kenapa dia memanggilku. Pasti itu
adalah perintah dari Pak Joko, guru olahraga di sekolahku.
“Ada
apa, Dam?” tanyaku padanya.
“Pak
Joko manggil kamu tuh.”
“Alah,
pasti masalah basket. Kamu pergi dulu deh nanti aku nyusul.” Kataku cuek
padanya.
Setelah
puas makan di kantin. Aku segera menemui Pak Joko. Aku berjalan menuju ruang
guru. Namun di tengah jalan Adam menghentikanku. Dia berkata bahwa Pak Joko ada urusan. Dan pesan
beliau kepadaku adalah berlatih basket bersama tim basket putra karena
sebentar lagi ada turnamen. Aku memang kapten tim bakset putri di sekolahku.
Sore
itu aku ada latihan basket bersama timnya Adam, namun di sisi lain Anthony
mengajakku jalan. Aku bingung harus mengutamakan yang mana dulu. Karena
dua-duanya penting. Akhirnya aku memutuskan untuk latihan basket. Namun Anthony
marah kepadaku.
Aku
berlatih basket dengan setengah hati. Aku tidak bisa tenang karena Anthony
sedang marah kepadaku. Sehingga aku sering berbuat kesalahan saat latihan sore
itu. Adam yang sejak tadi memperhatikanku latihan segera menghampiriku dan
merebut bola basket dariku.
“Nila,
kalau latihanmu terus seperti ini, aku yakin kamu akan kalah di turnamen nanti.
Sia-sia aku melatih kamu hampir setiap sore. Tapi kamu nggak serius latihan.” Katanya dengan
nada yang sangat keras.
“Aku
capek, Dam. Kamu enak tinggal teriak ini teriak itu. Komentar ini komentar itu.
Aku yang capek.” Kataku.
“Maaf,
aku nggak bermaksud seperti itu. Aku Cuma pengen kamu jadi kapten basket putri
yang baik dan bisa memenangkan turnamen itu.” Katanya sambil tersenyum dan
memberikan bola basket kepadaku.
Kemudian
aku berlatih kembali. Aku berusaha untuk fokus, namun tidak bisa. Pikiranku
tetap dipenuhi oleh rasa bersalahku pada Anthony. Ketika ingin melakukan shooting, aku melompat tetap mendarat dengan posisi yang salah. Aku terjatuh dan kakiku luka. Adam
langsung menghampiriku dan menuntunku menuju pinggir lapangan. Dia kemudian mengobati lukaku.
“Maafkan
aku. Mungkin aku terlalu memaksakanmu,” katanya sambil terus mengobati lukaku.
“Nggak
apa-apa kok. Cuma luka kecil aja. Tapi bolehkan aku udahan dulu latihan hari
ini?” tanyaku sambil menampakkan ekspresi kesakitan.
“Iya
nggak apa-apa. Kamu pulang sendiri? Aku antar ya?” katanya sambil membantuku
berdiri.Aku tak menjawab dan hanya mengangguk.
Siang
hari berikutnya aku pulang sekolah bersama Anthony. Dia mengajakku
ke rumahnya. Katanya mamanya ingin mengajakku membuat kue bersama. Aku memang
akrab dengan keluarga Anthony. Terutama dengan adik perempuan Anthony yang
duduk di bangku SMP. Namanya Jessica. Dia sering curhat padaku dan minta
diajari pelajaran yang tidak dia mengerti.
Sesampainya
disana aku disambut mamanya Anthony. Ibu muda ini terlihat sangat senang
melihat kedatanganku bersama anak laki-lakinya. Kemudian kami segera menuju
dapur dan segera membuat kue.
“Ma,
Anthony mau latihan band dulu ya. Minggu depan ada festival band. Dan bandnya
Anthony ikut.” Kata Anthony menghampiri kami dengan gitar di punggungnya.
“Lha
Nila pulangnya bagaimana?” Tanya mama Anthony.
“Oh,
aku bisa naik taxi kok tante. Nggak apa-apa. Biar Anthony latihan aja.” Kataku
sambil melirik dan tersenyum pada Anthony.
“Beneran
kamu nggak apa-apa, Nil? Maaf ya kalo harus aku tinggal.” Kata Anthony dengan
membalas senyumku.
Kemudian
Anthony pergi. Aku dan mamanya Anthony tetap melanjutkan membuat kue. Sesekali beliau
bercerita tentang Anthony kecil yang
sangat manja. Bahkan sampai sekarangpun sikap manjanya kadang-kadang keluar.
“Kamu
bener-bener mencintai Anthony kan?” Tanya tante Lin, mama Anthony
“Iya
tante. Anthony itu dibalik sikapnya yang cuek tapi kalau udah berdua dia
kadang-kadang memperlihatkan sikap konyolnya. Kadang pas aku sedih atau kenapa
gitu ya dia memperlihatkan sikap konyolnya itu ke aku, Tante,” kataku sambil tertawa membayangkan sikap
konyol Anthony.
“Dia
itu memang seperti itu. Kadang Tante juga suka terhibur dengan sikap konyolnya
itu. Walaupun kalau di sekolah terlihat cool. Tapi dia pribadi yang
menyenangkan” kata tante Lin.
Saat
asyik mengobrol, tiba-tiba telepon berbunyi. Tante Lin segera menghampiri meja
tempat telepon itu berada. Setelah mengangkat telepon itu aku mendengar Tante
Lin menjerit. Aku segera menghampiri. Tante Lin berkata bahwa Anthony
kecelakaan dan sekarang di rumah sakit.
Sesampainya
di rumah sakit, dokter berkata bahwa keadaan Anthony sangat parah. Dia
mengalami pendarahan di otak karena benturan yang keras. Hanya mama Antony yang
boleh masuk. Aku hanya melihat dari luar melalui kaca.
Aku
tak menyangka, lelaki yang selama ini aku sayangi dan selalu menghiburku saat
aku sedih kini terbaring lemah di ruangan yang penuh dengan alat medis. Matanya
hanya terpejam. Bahkan amat sangat rapat. Tak ada gerakan apa-apa darinya.
Aku
memutuskan untuk pulang. Aku berjalan seperti orang tanpa tujuan yang dalam
hatinya hanya ada keputus asaan dimana-mana. Aku tak menghiraukan ramainya
jalan yang kulalui. Suara klakson yang membisingkan telinga pun tak kudengar. Aku hanya ingin mendengar suara
Anthony “Kamu jangan sedih ya. Aku selalu
ada buat kamu”. Hanya itu kalimat yang ingin aku dengar.
Tanpa
aku sadari aku berjalan menyeberangi jalan. Aku tak tau ada mobil yang telah
siap menghantam tubuhku. Aku pasrah tak bergerak karena memang terlalu
terlambat untuk menyelamatkan diri. Aku tak merasakan apa-apa lagi.
Aku
merasakan berat untuk membuka mata. Namun aku mencobanya beberapa kali. Hingga
akhirnya aku bisa membuka mataku. Namun yang kulihat hanya gelap dimana-mana.
Aku mendengar suara mama memanggilku namun aku tak dapat melihat sosoknya.
Apakah
aku buta? Oh tidak. Tidak mungkin. Aku tau aku hanya mimpi. Tapi ini sungguh
seperti kenyataan. Bukan. Ini bukan seperti kenyataan. Namun ini sungguh
kenyataan. Aku buta dan aku tak dapat menggerakkan kakiku. Itu artinya aku buta
dan lumpuh.
Ini
entah berapa hari setelah aku tahu bahwa aku buta dan lumpuh. Karena aku tak
dapat merasakan siang ataupun malam. Di sampingku ada Gita yang membacakanku
sebuah novel karya Tere Liye.
“Ini
jam berapa Gita?” tanyaku pada Gita dengan suara lirih.
“Ini
jam tiga sore. Hari Minggu tangga 30 Maret. Masih dengan tahun yang sama. Ini
hari ketiga setelah kamu sadar.” Kata Gita dengan menggenggap tanganku erat.
Aku
menyandarkan kepalaku ke pundak Gita. Aku merasakan tangannya mengelus
kepalaku. Aku membalasnya dengan tersenyum.
“Oh
iya Git. Anthony sudah sadar? Aku kangen sama suaranya dia.” Tanyaku.
“Eh,
em. Anthony udah nggak ada Nil” kata Gita dengan suara putus-putus.
Aku
shock mendengarnya. Setelah aku menerima keadaan bahwa aku buta dan lumpuh kini
aku harus menerima keadaan bahwa Anthony telah tiada. Aku merasa aku adalah
manusia yang paling malang saat ini. Aku merasa mati dalam hidup.
Setelah
aku sedikit tenang, Gita mengantarku ke makam Anthony. Gita mendorong kursi
rodaku. Kemudian membantuku turun ketika sampai di makam Anthony. Aku tersimpuh
di gundukan tanah itu. Aku meraba tanahnya, terasa masih basah. Aku mencoba
mencari-cari sesuatu yang dapat aku pegang. Tanganku menyentuh foto Anthony.
Aku mengusapnya. Aku hanya bisa menangis dan tak dapat berkata apa-apa.
Setelah
beberapa lama, aku mengajak Gita kembali ke rumah sakit tempat aku di rawat.
Hari
itu aku meminta sopirku untuk mengantarkan aku ke tempat yang biasanya aku
datangin bersama Anthony. Itu merupakan sebuah tempat dengan pohon besar dan tebing
yang tidak seberapa tinggi. Kukenang kembali semua masa ketika aku bersama Anthony di tempat itu. Aku memanggil
nama Anthony sekeras-kerasnya di tempat itu.
“Kalau
kamu nggak ikhlasin dia, jalannya bakal berliku disana,” kata seseorang.
“Kamu
siapa?” tanyaku.
“Aku
Adam. Kapten basket putra di SMA. Anthony bakal sedih kalau kamu nangisin dia
terus. Jalannya pun akan terhambat karena dia merasa berat hati ninggalin
kamu,” kata Adam. Aku merasakan suaranya mendekat.
“Kamu
nggak tau apa-apa. Kenapa Allah nggak sekalian ngambil aku saat aku tertabrak
mobil beberapa hari yang lalu? Biar aku bisa bersama-sama dengan Anthony. Aku
nggak bisa, aku nggak sanggup,”
“Allah
hanya tidak mau kamu menghadap dengan keadaan kamu yang masih disertai dosa.
Allah ingin kamu memperbaiki dirimu dulu sebelum Allah memanggilmu dan akan
mempersatukan kamu dengan Anthony di surga. Kamu harus mempergunakan waktumu
untuk melakukan hal yang berguna. Bukan menyesali dan menyalahkan takdir Allah.
Allah punya jalan untuk hamba-Nya. Jalan yang mungkin jauh lebih indah dari
pada yang pernah kamu bayangin.” Kata Adam.
Kata-kata
Adam itu membuatku sedikit tersadar dan memunculkan keinginan dalam hatiku
untuk bangkit dan memperbaiki diri.
Hatiku
menjadi jauh lebih tenang mendengar kata-kata Adam. Kata-kata penyemangat agar
aku bangkit dan kembali berjalan menempuh perjalananku yang masih panjang. Dia
juga bisa membuatku tersenyum kembali. Ini adalah senyum pertamaku setelah aku
mengetahui bahwa Anthony telah tiada.
Setelah
puas mengobrol, Adam mengantarku pulang dengan taxi. Aku tau Adam anak orang
berada. Dia punya mobil mewah. Namun dia tidak pernah menggunakan mobilnya ke
sekolah. Dia orang yang sangat sederhana, baik dan juga ramah.
Setelah
kejadian hari itu, aku lebih dekat dengan Adam. Dia sering ke rumahku hanya
untuk sekedar membantuku makan siang dan membacakan cerita padaku. Dia juga
setia mendengar curhat dan keluhanku. Tak jarang juga dia menceritakan kisah
inspiratif ketika aku hampir putus asa.
Hampir
setiap hari Adam ke rumahku. Dia bercerita tentang keadaan sekolah, karena aku
sudah berhenti sekolah. Dia menceritakan kejadian-kejadian lucu di sekolah
hingga membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Dia adalah seorang pencerita yang
baik.
“Kamu
ingat Donna? Tadi dia berantem sama Cindy. Lucu deh. Jambak-jambakan gitu.
Hahaha ..” katanya sambil tertawa.
“Lho
Cindy bukannya satu geng sama
Donna ya? Kok bisa berantem?” tanyaku sambil mengerutkan kening.
“Hahaha,
iya. Masalahnya sepele. Cindy nggak sengaja nginjek sepatu baru Donna. Eh
,akhirnya berantem. Keduanya trus dapet hukuman suruh hormat di depan tiang
bendera sampai jam pulang sekolah. Banyak siswa yang tak menyia-nyiakan
kesempatan itu untuk menjatuhkan reputasi mereka. Banyak siswa yang
mengabadikan momen itu dengan gambar. Kemudian tadi aku sempat buka instagram,
banyak foto mereka. Hahaha” katanya.
Aku
tahu hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 18. Aku tahu karena papa dan
mama tadi mengucapkannya padaku dan tadi malam Adam meneleponku dan mengucapkannya
padaku. Adam adalah orang pertama yang mengucapkan selamat pada ulang tahunku
kali ini. Tahun-tahun sebelumnya yang selalu jadi orang pertama adalah Anthony.
Pagi
itu aku kembali ke tempat dimana aku dulu menghabiskan waktu bersama Anthony.
Aku hanya diam disana. Tak ada pemandangan yang membuatku terkesan. Karena yang
kulihat hanya gelap. Dan aku hanya duduk di kursi roda yang menjadi kawanku
serahi-hari.
“Nila..”
panggil seseorang dengan lirih.
“Adam..”
aku mengenali suaranya.
“Ternyata
kamu mengenali suaraku ya? Aku punya sesuatu buat kamu,” katanya menggodaku.
“Apa
itu? Aku tak perlu memejamkan mata kan?” tanyaku. Sebenarnya itu pertanyaan
menggoda.
“Nggak
perlu. Aku tau kamu nggak bakal ngintip,” katanya.
Kemudian
aku merasakan sesuatu di kepalaku. Aku merasakan kepalaku dikerudungi oleh
kain. Aku tau, ini adalah kerudung. Adam memakaikan aku kerudung.
“Nah,
sudah jauh lebih cantik,” katanya setelah selesai memakaikan aku kerudung.
“Adam,
kerudung ini buat aku? Aku pasti cantik sekali. Andai saja aku bisa melihat
wajahku dengan cermin,” kataku dengan mata yang berbinar-binar.
“Aku
yang akan jadi cerminmu. Aku tidak akan bohong. Kamu sungguh terlihat anggun
mengenakan kerudung” katanya.
“Makasih
ya Adam. Kenapa kamu baik sama aku? Aku nggak bakalan bisa lagi jadi pebasket
kebanggaanmu,” kataku.
“Bukan
karena itu. Ada sesuatu yang mengharuskanku baik sama kamu. Dan sesuatu itu
pernah dirasakan oleh Anthony kepadamu. Mungkin aku terlalu dini untuk
menggantikan Anthony di hatimu. Atau bahkan selamanya aku nggak bisa gantikan
Anthony dan mengisi kekosongan hatimu. Tapi percayalah, cukup dengan melihat
senyummu dan aku dapat berbuat baik kepadamu itu adalah kebahagiaan yang besar
bagiku,” katanya.
Aku
tercengang mendengar kata-kata Adam. Aku tak menyangka, setelah keadaanku yang
buta dan lumpuh ini masih ada laki-laki yang mencintaiku seperti saat aku masih
normal. Aku tak mungkin berkata tak suka pada Adam. Karena aku merasakan apa
yang dia rasakan. Mungkin sosoknya tak dapat menggantikan sosok Anthony dalam hatiku.
Tapi dia mampun mengisi kekosongan hatiku.
Mulai
saat itu aku resmi menjalin hubungan dengan Adam. Dia menerimaku apa adanya
walaupun aku buta dan lumpuh. Dia selalu terangi hari-hari gelapku. Dia seperti
tongkat yang membantuku berjalan bahkan berlari.
“Ih
Nila, udah gede makan es krim masih saja belepotan,” kata Adam.
“Usapin
dong,” pintaku.
“Nggak
ah, kamu lebih cantik kalau belepotan seperti itu,” jawabnya sambil tertawa.
“Ih
bohong banget” kataku sambil cemberut.
“Cermin
tak pernah berkata bohong,” kata Adam.
0 komentar:
Posting Komentar