Mereka selalu bilang kalau hidup itu hanya sekali, ngapain
dibuat susah? Aku sealiran dengan mereka dalam menjalani hidupku. Aku membuat
masa mudaku semenyenangkan mungkin. Mengekspresikan segala isi hati dan
pikiranku.
Tapi orang tuaku selalu salah menilaiku. Mereka bilang aku
tak beretika, salah pergaulan, dan bal.. bla.. bla. Tapi aku tak peduli apa
yang mereka katakan. Asalkan uang saku tetep mengalir deras.
“Kamu harus bisa jaga diri. Zaman sekarang banyak bayi yang
lahir tanpa ayah. Kamu tau kenapa? Papa pikir kamu cukup dewasa untuk menjawab
alasannya Cin. Papa percaya kamu nggak bakal seperti mereka. Namun apakah pacar
kamu atau laki-laki di sekitarmu tidak beda dengan ayah si bayi tadi? Kamu
harus bisa membentengi diri sendiri. Papa nggak mau kamu salah pergaulan,”
nasihat papa pagi itu.
Namun, aku selalu masa bodoh dengan segala nasihat papa dan
mama. Mereka percaya aku nggak bakal sebodoh itu menyerahkan harga diriku
kepada laki-laki untuk dijatuhkan lalu diinjak-injak. Aku cukup pandai membedakan
laki-laki yang tulus dengan laki-laki yang hanya memandang wanita sebagai
pemuas nafsu.
Malam itu Reyhan mengajakku makan malam. Reyhan adalah
kekasihku. Dia laki-laki idamanku. Dia tampan, kaya dan cukup pintar. Dan yang
pasti dia tidak memandang wanita sebagai makhluk rendahan. Kami telah
berpacaran selama 5 bulan.
“Cin, ada yang mau ketemu sama kamu,” teriak mama dari luar
kamar saat aku berdandan.
“Iya, Ma. Suruh nunggu aja,” jawabku dari dalam.
Kemudian aku keluar menemui orang yang ingin bertemu denganku.
Aku agak terkejut melihatnya. Dia melemparkan senyum ramah kepadaku seolah-olah
telah lama mengenalku. Namun aku tak mengenalnya.
“Maaf, dengan Mbak Cindy?” tanyanya sambil sedikit
membungkukkan badan. Dia laki-laki yang terlihat sangat santun dan menurutku
cukup tampan. Namun aku tak suka dengan pria seperti ini. Pasti banyak aturan
jika kelak berumah tangga dengan laki-laki yang seperti di hadapanku saat ini.
“Iya, kamu siapa? Ada perlu apa?” tanyaku keheranan.
“Saya menemukan dompet ini di kafe tempat Mbak bersama
teman-teman Mbak kemarin. Kebetulan saya karyawan di kafe tersebut. Saya hanya
ingin mengembalikan dompet ini,” katanya sambil menyerahkan dompet yang kemarin
aku kira hilang. Aku heran, matanya tak menatapku saat berbicara denganku.
“Iya terima kasih. Ini untuk kamu,” kataku sambil
menyodorkan beberapa lembar uang ratus ribuan.
“Oh, mohon maaf Mbak. Saya menolong Mbak dengan ikhlas. Saya
tak mengharapkan imbalan apa-apa. Saya mohon pamit. Assalamualaikum,” katanya
sambil pergi berlalu meninggalkanku.
Aku segara menuju tempat aku dan Reyhan akan makan malam.
Sesampainya disana, aku disambut senyum khas darinya yang slalu aku kagumi. Aku
segera menghampirinya dan duduk di kursi yang telah disediakan untukku.
“Kamu cantik malam ini. Aku sudah memesan makanan untukmu.
Mari makan,” katanya sambil membelai rambutku yang terurai.
Setelah menghabiskan hidangan, kami mengobrol. Reyhan selalu
bisa mencairkan suasana dan membuatku merasa nyaman saat berada di dekatnya.
Dia tahu bagaimana cara mebuatku tertawa lepas.
“Mumpung besok weekend kita ke puncak yuk. Aku pengen banget
seharian bisa deket sama kamu. Nanti kita nginap di villa keluargaku. Mau ya?”
katanya sambil menggenggam tanganku.
“Aku mau,” kataku sambil membalas genggaman tangannya. Kemudian
dia mencium punggung tanganku.
Sore itu aku berangkat ke puncak bersama Reyhan. Papa
mengiijinkan karena aku bilang mau menginap di rumah Wilda, sahabatku. Kami
hanya berangkat berdua karena kami tak ingin ada yang mengganggu kebersamaan
kami.
Sesampainya di villa, kami disambut penjaga villa. Ia adalah
laki-laki yang sudah berumur. Tubuhnya ringkih dan membungkuk. Namun dia
terlihat baik dan ramah. Pantas dia menjadi orang kepercayaan keluarga Reyhan.
“Ini kamar kita,” kata Reyhan ketika sampai di suatu
ruangan.
“Kita? Maksudnya?” tanyaku keheranan.
“Iya. Aku nggak mau melewatkan sedetikpun tanpa kamu untuk
malam ini dan besok pagi hingga sore,” katanya sambil merangkulku.
Malam itu kami hanya menghabiskan waktu untuk menonton acara
tv, bercanda dan mengobrol. Saat asyik mengobrol tiba-tiba Reyhan mencium
sambil memelukku. Awalnya aku risih, namun lama-kelamaan aku terhanyut dalam
permainannya.
Pagi itu, aku bangun dalam keadaan tidak berbusana. Aku
melihat Reyhan masih tertidur di sampingku. Iapun tak mengenakan apapun. Aku
tahu apa yang kami lakukan semalam. Namun aku tak merasa menyesal melakukannya.
“Kamu udah bangun. Maafin aku ya. Aku semalam terbawa
suasana. Aku akan bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama kamu. Aku
janji,” kata Reyhan sambil merangkulku.
“Iya. Aku juga nggak nyesel kok udah ngelakuin semua itu,”
kataku.
Sorenya kami pulang ke Jakarta. Sesampainya di rumah aku
langsung pergi ke kamar dan mengurung diri. Aku merenungi apa yang telah aku
lakukan bersama Reyhan di villa malam itu. Ada penyesalan yang membuatku
semakin merasa bersalah kepada papa dan mamaku.
Hari demi hari, minggu demi minggu aku lalui dengan rasa penyesalan yang kian hari kian membuatku
tersudut dalam dosa. Apalagi aku merasa bahwa Reyhan semakin menjauh dariku.
Aku takut jika terjadi hal yang tak aku inginkan dan Reyhan lari dari tanggung
jawab.
Pagi itu aku tak masuk sekolah karena badanku terasa kurang
sehat. Papa dan mama menengokku ke kamar membawakan makanan untukku. Kemudian
papa duduk di sampingku, sementara aku berbaring.
“Cindy, kamu masih berhubungan dengan pacar kamu?” Tanya
papa.
“Maksud papa Reyhan?” aku berbalik tanya.
“Iya Cindy. Atau kamu malah sudah putus dan punya pacar yang
baru?”
“Aku masih sama Reyhan Pa. Tapi akhir-akhir ini dia mulai menjauh
dari aku setelah…” aku tak melanjutkan kata-kataku.
“Setelah apa?” Tanya papa keheranan.
“Bukan apa-apa Pa. Memangnya kenapa sih Pa?” tanyaku.
“Papa bukannya nggak suka sama Reyhan. Tapi papa rasa dia
bukan laki-laki yang tepat untukmu. Kalau kamu nggak keberatan, papa ingin
kenalkan kamu dengan anak teman papa. Anaknya santun dan pandai. Dia lulusan
Al-Azhar, Kairo,” kata papa sambil membelai rambutku.
“Aku masih cinta sama Reyhan Pa.”
“Ya sudah. Papa nggak maksa kok. Ya sudah papa berangkat
dulu ke kantor,” kata papa seraya meninggalkan rumah
Setelah papa keluar, mama menyuapiku. Mama juga menyarankan
agar aku mau dikenalkan dengan anak dari teman papa. Namun aku tetap menolak.
Aku masih sangat mencintai Reyhan. Aku hanya ingin menikah dengan Reyhan.
Apalagi dia yang telah merenggut kesucianku.
Sudah dua bulan aku telat datang bulan. Aku mulai takut
kalau aku hamil. Apalagi badanku sering lemas dan perutku mual. Apalagi kalau
aku mencium bau masakan terkadang aku memuntahkan isi perutku. Apakah benar aku
hamil?
Hari itu anak dari teman papaku dataang ke rumah. Betapa
terkejutnya aku ketika melihat wajahnya. Ternyata dia adalah orang yang
menemukan dompetku di kafe dulu. Dia Arif. Aku sempat berpikir bahwa anak teman
papaku itu orang kaya. Ternyata dia hanya karyawan di sebuah kafe. Memang sih
aku belum memastikan secara langsung. Namun aku masih ingat ketika dia
mengembalikan dompetku itu dia berkata bahwa dia karyawan di kafe tempat
dompetku tertinggal.
Dia berkunjung ke rumah hanya mengobrol dengan mama. Padahal
papa memintaku agar aku yang menemaninya mengobrol. Namun aku hanya keluar
menemuinya sekedar memberi salam lalu kembali ke kamar. Aku nggak suka
dengannya.
Namun, dia terlihat sangat akrab dengan papa dan mamaku.
Papa dan mama juga terlihat sangat tertarik dengan pemuda santun itu. Bahkan
sekarang dia mulai sering berkunjung ke rumah karena diminta papa atau mamaku.
Tapi aku tetap masa bodoh.
Ini sudah memasuki bulan ketiga aku telat datang bulan. Aku
mulai khawatir. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli test pack untuk megetahui
apakah aku hamil atau tidak. Namun betapa terkejutnya aku bahwa hasil test pack
menunjukkan kalau aku positif hamil.
Aku sangat terpukul dengan kenyataan yang harus aku terima.
Ternyata aku salah. Aku tak sepintar yang aku pikir selama ini. Aku bodoh. Ya,
aku sangat bodoh. Aku bodoh sehingga aku terjerumus dalam jurang yang akan
menghancurkanku dan masa depanku.
Sementara itu, hubunganku dengan Reyhan semakin tidak jelas.
Dia jarang menghubungiku. Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Akankah
benar Reyhan mau menikahiku dan bertanggunng jawab atas kesalahan yang telah
kami lakukan? Jika ia mau bertanggung jawab akankah papa dan mama menerima
kenyataan? Apalagi jika ia tak mau bertanggung jawab dan kedua orang tuaku
mengusirku dan nggak menganggap aku sebagai anaknya lagi, apakah aku mampu
membesarkan janin dalam rahimku dan membesarkan bayiku nanti?
Berminggu-minggu aku mencoba menutupi kehamilanku ini. Namun
sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Mama dan papa
mengetahui rahasia yang selama ini aku pendam. Mereka tahu bahwa aku hamil.
Mereka sangat marah besar padaku. Mereka pasti malu
mempunyai anak sepertiku. Apalagi selama ini papaku sangat terpandang di mata
masyarakat sekitar kompleks. Namun mereka tak sampai hati mengusirku. Akhirnya
tiba saatnya mereka menanyakan siapa ayah dari anak yang aku kandung saat ini.
“Siapa yang telah membuatmu seperti ini Cindy? Hah, jawab!”
bentak papa. Namun aku hanya diam dan menangis. Aku tak mampu untuk menyebut
nama laki-laki yang telah membuatku seperti ini dan sekarang ia meninggalkanku.
“Cindy, lihat baik-baik mata papa! Papa tanya sama kamu,
siapa ayah dari bayi yang kamu kandung itu?” Tanya papa sambil mengoyak-oyak
pundakku.
“Rey..han Pa,” jawabku sambil bersimpuh di hadapan papa.
“Laki-laki itu harus bertanggung jawab,” kata papa seraya
meninggalkanku.
Pagi itu, aku berinisiatif untuk pergi ke rumah Reyhan. Aku
ingin dia mengetahui pederitaanku menanggung dosa yang kami perbuat. Aku tak
mau menanggung penderitaan seorang diri sementara dia bebas berkeliaran kesana
kemari.
Sesampainya disana, aku mengetuk pintu rumahnya. Tak lama
kemudian, pintu terbuka dan muncullah sosoknya dari balik pintu. Dia terlihat
amat sangat terkejut melihatku datang ke rumahnya. Dia menatapku dari atas
hingga bawah. Aku melihat ekspresi terkejutnya ketika ia melihat perutku yang
buncit.
“E.. Cindy, ada apa kamu kemari?” tanyanya gugup.
“Aku mau kamu tahu satu hal. Aku hamil anak kamu Reyhan,”
kataku sambil menatap tajam matanya.
“Apa? Tidak mungkin! Kamu pasti bohong.”
“Kamu bilang aku bohong? Lihat perutku! Dalam rahimku ini
ada anak kamu. Darah daging kamu,” kataku sambil memegang perutku yang buncit.
“Aku nggak percaya. Bisa saja kamu melakukannya juga dengan
orang lain. Bisa saja janin itu bukan darah dagingku,” katanya menyangkal.
“Apa? Kamu bilang janin? Usia kandunganku sudah empat bulan
Reyhan. Pada usia itu, Allah sudah meniupkan ruh pada janin ini. Ini bayi kamu
Reyhan. Aku hanya melakukan hubungan terlarang itu bersamamu.”
“Ada apa ini?” Tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul
dari dalam rumah. Wanita ini adalah mama Reyhan.
“Ini Ma, Cindy bilang kalau aku menghamilinya. Dan dia
bilang janin yang ada di rahimnya adalah darah dagingku,” kata Reyhan.
“Reyhan! Sudah aku bilang ini bayi, bukan lagi janin!”
tegasku.
“Mau kamu apa? Aku tak percaya yang ada di rahimmu itu cucu
saya. Kamu melakukannya dengan Reyhan atas kemauan kamu sendiri tanpa ada
paksaan kan? Bisa jadi kamu juga melakukannya dengan orang lain. Lagi pula anak
saya sudah bertunangan dengan wanita yang jauh lebih terhormat dari pada wanita
hina yang ada di hadapan saya saat ini,” katanya sambil mengangkat tangan
Reyhan, memperlihatkan cincin tunangan yang dikenakan Reyhan.
“Tante, saya hanya ingin Reyhan ikut menanggung akibat dari
dosa yang kami berbuat. Saya tak mau menanggung penderitaan seorang diri atas
perbuatan yang tidak saya lakukan seorang diri. Dan jika saya wanita yang hina
di mata Tante, apakah Reyhan laki-laki yang terhormat pula? Tidak! Reyhan tak
lebih dari laki-laki hina yang menjijikkan di mata orang tua saya. Demi Allah
saya hanya melakukan hubungan ini dengan Reyhan,” kataku sambil terisak.
“Jaga mulut kamu! Kamu mau berapa? Ini cukup untuk kamu
gugurkan kandungan kamu,” kata mama Reyhan sambil memberikan uang kepadaku.
“Maaf Tante. Saya akan mempertahankan bayi saya sampai
lahir. Jika Reyhan tak mau bertanggung jawab, tak masalah. Allah Maha Adil.
Kelak Reyhan pasti merasakan penderitaan yang saya rasakan.”
“Jangan bawa-bawa nama Allah. Dirimu terlalu hina untuk
mengucapkannya,” katanya sambil mendorongku.
Aku merasa percuma memohon-mohon agar Reyhan bertanggung
jawab. Akhirnya aku menyerah. Aku udah nggak peduli lagi dengan ayah dari
bayiku. Aku hanya ingin membesarkan bayiku dan merawatnya, walaupun harus
seorang diri dan menanggung malu.
Sudah berbagai cara yang aku dan
kedua orang tuaku tempuh untuk meminta pertanggung jawaban dari Reyhan. Namun
semuanya percuma. Reyhan tetap saja mengira aku telah melakukan hubungan
terlarang bersama orang lain juga.
Hari ini aku bersama kedua orang
tuaku kembali mendatangi rumah Reyhan. Tujuan kami masih sama, yaitu meminta
pertanggung jawaban dari Reyhan atas apa yang aku dan dia lakukan. Namun,
lagi-lagi aku harus menghadapi cacian mama Reyhan yang selalu merendahkanku
tanpa ia sadari betapa rendah pula putra kebanggaannya itu.
“Mau apa lagi kalian kemari? Masih
mau minta pertanggung jawaban dari Reyhan?” Tanya perempuan setengah baya itu.
“Saya hanya mau anak saya
mendapatkan keadilan. Anak saya tidak melakukan dosa itu sendiri, melaikan
bersama anak kamu,” bentak mamaku.
“Jangan mimpi kalian! Anak saya
anak baik-baik. Nggak mungkin melakukan tindakan bodoh itu. Perempuan ini saja
yang murahan. Apa kalian nggak pernah mengajari anak kalian untuk menjadi
manusia yang terhormat? Jangan-jangan orang tuanyapun sama. Manusia hina!” kata
mama Reyhan sambil mengacungkan jari telunjuknya kepadaku.
“Tante, jaga tutur kata Tante!
Kata-kata tante tidak melukiskan kata-kata manusia yang beradab. Tante boleh
hina-hina saya. Tante boleh sebut saya perempuan hina dan menjijikkan. Bahkan
tante boleh sebut saya manusia paling rendah harga dirinya. Tapi tolong jangan
hina orang tua saya dan bayi yang ada dalam rahim saya,” kataku dengan suara
lantang meskipun air mata tak dapat kubendung.
“Dasar perempuan licik! Pasti bayi
kamu itu hasil hubunganmu dengan laki-laki lain. Lalu kamu meminta anak saya
bertanggung jawab karena cinta kamu kepada anak saya bertepuk sebelah tangan
kan? Dasar licik!” kata mama Reyhan sambil meninggalkan kami dan menutup pintu
rumahnya.
Aku telah berputus asa meminta
pertanggung jawaban dari Reyhan. Setiap aku mendatanginya hanya caci dan maki
yang aku terima. Bahkan mereka telah menghina orang tuaku. Orang yang paling
aku sayangi di dunia ini. Aku lelah. Aku pasrah. Biarkan Allah yang akan
menentukan jalan hidupku.
Malam itu Arif kembali mendatangi
rumahku setelah sekian lama ia tak muncul. Mungkin ia menyesal mendekatiku karena
aku bukan perempuan baik-baik. Namun malam ini ia terlihat sangat tenang.
Setenang dulu saat aku belum hamil. Apakah dia tetap menyukaiku?
“Cindy, papa memintamu ke ruang
tamu. Katanya ada yang mau dibicarakan denganmu,” kata mama ketika aku tiduran
di kamar.
Akhirnya aku pergi ke ruang tamu
menemui papa. Aku juga melihat Arif disitu. Dia tersenyum kepadaku. Senyum yang
benar-benar tulus. Aku membalas senyumannya. Kemudian aku duduk di sebelah
mama.
“Begini Cindy, papa tahu pasti
kamu telah lelah meminta pertanggung jawaban kepada Reyhan. Walaupun misalnya
suatu saat nanti Reyhan bersedia bertanggung jawab, papa tak menjamin kehidupan
keluarga kamu akan tentram. Nak Arif ini sudah lama menyukaimu. Bahkan dia
bersedia menerima kamu dan bayi yang ada di rahimmu. Dia bersedia menikahimu.
Namun setelah bayi kamu lahir,” kata papa.
“Tapi apa benar Arif mau
menerimaku dan bayiku. Lalu selama aku hamil, kemana dia? Apa dia menyesal
telah menyukaiku selama ini?” Tanyaku.
“Maaf, saat itu saya kembali ke
Mesir untuk mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal disana saat saya
kuliah dulu. Karena pada waktu saya baru wisuda, barang-barang saya tidak
semuanya saya bawa serta-merta. Saya tidak pernah menyesal telah menyukai Dek
Cindy. Bahkan saya dengan senang hati menerima Dek Cindy dan bayi yang ada di
rahim Adik,” katanya sambil tersenyum dan tetap tenang.
“Lalu jika ingin menikahiku kenapa
mesti menunggu bayiku lahir?” Tanyaku sambil menatap tajam mata pemuda itu.
“Dalam Islam wanita yang sedang
hamil tidak boleh dinikahi atau diceraikan. Saya akan menunggu bayi dalam rahim
Dek Cindy lahir terlebih dahulu. Baru saya akan menikahi Adik. Itupun jika Adik
berkenan,” jawabnya.
Akhirnya aku menerima pinangan
Arif. Akupun mulai jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta pada setiap tingkah
lakunya. Dia laki-laki yang santun dan sholeh. Terkadang aku merasa malu dan
menyesal. Mengapa tidak dari dulu saja aku mengenal dan jatuh cinta kepada
Arif? Dan kini aku tahu bahwa Arif adalah anak pemilik kafe dimana dompetku
dulu tertinggal.
Waktu terus berjalan, hari-hari
berlalu, bulanpun berganti. Usia kandunganku semakin bertambah. Arif pun tetap
setia menantiku hingga aku melahirkan bayi yang ada di rahimku. Dan sebentar
lagi bayi yang kami tunggu akan terlahir di tengah-tengah kami.
Dan hari ini adalah hari dimana
bayiku akan lahir. Papa, mama, Arif dan kedua orang tua Arif menungguiku dari
luar ruangan rumah sakit. Mereka berharap cemas menantikan bayi yang akan
kulahirkan. Aku melihat mereka memanjatkan doa di tengah-tengah kecemasan
mereka.
Tak berapa lama bayi itupun lahir.
Aku melahirkan bayi perempuan yang cantik dan sehat. Aku melahirkannya dengan
lancar. Aku tahu semua itu karena doa-doa dari orang-orang yang sedang
menungguiku dari luar ruang bersalin. setelah diperbolehkan masuk, orang-orang
yang menungguiku pun masuk ke dalam ruang bersalin.
Kemudian Arif mengumandangkan
adzan di telinga bayiku. Kemudian dia mencium lembut bayiku sebelum
memberikannya padaku. Aku senang melihat Arif mempunyai sikap kepabakan kepada
anakku walaupun bukan darah dagingnya. Aku melihat tatapan tulus dari Arif saat
dia menatap bayiku.
“Oh ya, siapa nama bayi cantik
ini?” Tanya mama Arif kepadaku.
“Biar papa saja yang menamainya,”
kataku sambil tersenyum melirik papa.
“Saya rasa calon ayahnya yang
pantas menamai cucu pertama saya,” kata papa sambil tersenyum melirik Arif.
“ Baiklah jika itu permintaan dari
Om. Saya akan menamai bayi perempuan ini Nada Farah Maulida yang artinya wanita
murah hati dan dilahirkan dalam kebahagiaan. Bagaimana?” kata Arif sambil
tersenyum.
“Nama yang cantik,” kataku sambil
tersenyum papa Arif.
Seperti kata Arif dulu, bahwa ia
akan menikahiku setelah aku melahirkan. Arif pun menepati kata-katanya. Kami
sibuk mempersiapkan hari pernikahan itu. Aku tak sabar untuk menjadi istrinya
yang halal untuk dicium keningnya.
Akhirnya hari pernikahan itu pun
datang juga. Aku merasa sangat bahagia. Ijab qabul berjalan dengan lancar. Kami
pun bersanding di pelaminan. Namun aku merasa tubuhku gemetar. Mungkin karena
aku terlalu lelah menyiapkan pernikahan yang kunantikan itu.
Aku mencoba menahan diri agar
tidak terjatuh di hadapan para hadirin. Namun aku tak kuasa. Akhirnya aku jatuh
tak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi setelah aku jatuh tak sadarkan diri
di hari pernikahanku.
Aku tersadar dan melihat
sekelilingku. Ada Arif, yang kini telah menjadi suamiku. Ada pula orang tuaku,
Nada, dan kedua orang tua Arif. Melihatku sadar Arif menggenggam tanganku dan
mencium keningku. Aku melihat raut wajah khawatir darinya.
Namun aku kembali tidak sadarkan
diri. Samar-samar aku mendengar suara Arif memanggilku berulang kali. Namun aku
tak dapat lagi mengendalikan kesadaranku. Dan pada akhirnya ajal pun datang
menghampiriku.
Aku telah berpulang ke sisi-Nya.
Namun aku telah tenang. Karena aku telah menjalankan sunah Rasul, yaitu
menikah. Apalagi aku menikah dengan laki-laki sholeh. Dan aku telah mempunyai
seorang putri yang cantik. Aku yakin Arif, kedua orang tuaku dan orang tua Arif
akan menjaga Nada dan Nada kelak akan menjadi wanita sholehah.
“Aku bahagia menjadi suamimu.
Namun kamu pergi begitu cepat. Baru beberapa jam kita dihalalkan tali
pernikahan. Andai saja aku dapat menjadi imammu dalam sholat maupun dalam
mengarungi bahtera rumah tangga. Namun aku tak dapat menyalahkan takdir Allah.
Aku akan tetap mencintaimu dan mencintai anak kita. Aku akan merawat dan
menjaga anak kita, selamat jalan sayang,” kata Arif sambil mengecup kening
ragaku yang sudah tak bernyawa.
0 komentar:
Posting Komentar