Share
9:50:00 PM

Andai Aku Jadi Imammu

Mereka selalu bilang kalau hidup itu hanya sekali, ngapain dibuat susah? Aku sealiran dengan mereka dalam menjalani hidupku. Aku membuat masa mudaku semenyenangkan mungkin. Mengekspresikan segala isi hati dan pikiranku.
Tapi orang tuaku selalu salah menilaiku. Mereka bilang aku tak beretika, salah pergaulan, dan bal.. bla.. bla. Tapi aku tak peduli apa yang mereka katakan. Asalkan uang saku tetep mengalir deras.
“Kamu harus bisa jaga diri. Zaman sekarang banyak bayi yang lahir tanpa ayah. Kamu tau kenapa? Papa pikir kamu cukup dewasa untuk menjawab alasannya Cin. Papa percaya kamu nggak bakal seperti mereka. Namun apakah pacar kamu atau laki-laki di sekitarmu tidak beda dengan ayah si bayi tadi? Kamu harus bisa membentengi diri sendiri. Papa nggak mau kamu salah pergaulan,” nasihat papa pagi itu.
Namun, aku selalu masa bodoh dengan segala nasihat papa dan mama. Mereka percaya aku nggak bakal sebodoh itu menyerahkan harga diriku kepada laki-laki untuk dijatuhkan lalu diinjak-injak. Aku cukup pandai membedakan laki-laki yang tulus dengan laki-laki yang hanya memandang wanita sebagai pemuas nafsu.
Malam itu Reyhan mengajakku makan malam. Reyhan adalah kekasihku. Dia laki-laki idamanku. Dia tampan, kaya dan cukup pintar. Dan yang pasti dia tidak memandang wanita sebagai makhluk rendahan. Kami telah berpacaran selama 5 bulan.
“Cin, ada yang mau ketemu sama kamu,” teriak mama dari luar kamar saat aku berdandan.
“Iya, Ma. Suruh nunggu aja,” jawabku dari dalam.
Kemudian aku keluar menemui orang yang ingin bertemu denganku. Aku agak terkejut melihatnya. Dia melemparkan senyum ramah kepadaku seolah-olah telah lama mengenalku. Namun aku tak mengenalnya.
“Maaf, dengan Mbak Cindy?” tanyanya sambil sedikit membungkukkan badan. Dia laki-laki yang terlihat sangat santun dan menurutku cukup tampan. Namun aku tak suka dengan pria seperti ini. Pasti banyak aturan jika kelak berumah tangga dengan laki-laki yang seperti di hadapanku saat ini.
“Iya, kamu siapa? Ada perlu apa?” tanyaku keheranan.
“Saya menemukan dompet ini di kafe tempat Mbak bersama teman-teman Mbak kemarin. Kebetulan saya karyawan di kafe tersebut. Saya hanya ingin mengembalikan dompet ini,” katanya sambil menyerahkan dompet yang kemarin aku kira hilang. Aku heran, matanya tak menatapku saat berbicara denganku.
“Iya terima kasih. Ini untuk kamu,” kataku sambil menyodorkan beberapa lembar uang ratus ribuan.
“Oh, mohon maaf Mbak. Saya menolong Mbak dengan ikhlas. Saya tak mengharapkan imbalan apa-apa. Saya mohon pamit. Assalamualaikum,” katanya sambil pergi berlalu meninggalkanku.
Aku segara menuju tempat aku dan Reyhan akan makan malam. Sesampainya disana, aku disambut senyum khas darinya yang slalu aku kagumi. Aku segera menghampirinya dan duduk di kursi yang telah disediakan untukku.
“Kamu cantik malam ini. Aku sudah memesan makanan untukmu. Mari makan,” katanya sambil membelai rambutku yang terurai.
Setelah menghabiskan hidangan, kami mengobrol. Reyhan selalu bisa mencairkan suasana dan membuatku merasa nyaman saat berada di dekatnya. Dia tahu bagaimana cara mebuatku tertawa lepas.
“Mumpung besok weekend kita ke puncak yuk. Aku pengen banget seharian bisa deket sama kamu. Nanti kita nginap di villa keluargaku. Mau ya?” katanya sambil menggenggam tanganku.
“Aku mau,” kataku sambil membalas genggaman tangannya. Kemudian dia mencium punggung tanganku.
Sore itu aku berangkat ke puncak bersama Reyhan. Papa mengiijinkan karena aku bilang mau menginap di rumah Wilda, sahabatku. Kami hanya berangkat berdua karena kami tak ingin ada yang mengganggu kebersamaan kami.
Sesampainya di villa, kami disambut penjaga villa. Ia adalah laki-laki yang sudah berumur. Tubuhnya ringkih dan membungkuk. Namun dia terlihat baik dan ramah. Pantas dia menjadi orang kepercayaan keluarga Reyhan.
“Ini kamar kita,” kata Reyhan ketika sampai di suatu ruangan.
“Kita? Maksudnya?” tanyaku keheranan.
“Iya. Aku nggak mau melewatkan sedetikpun tanpa kamu untuk malam ini dan besok pagi hingga sore,” katanya sambil merangkulku.
Malam itu kami hanya menghabiskan waktu untuk menonton acara tv, bercanda dan mengobrol. Saat asyik mengobrol tiba-tiba Reyhan mencium sambil memelukku. Awalnya aku risih, namun lama-kelamaan aku terhanyut dalam permainannya.
Pagi itu, aku bangun dalam keadaan tidak berbusana. Aku melihat Reyhan masih tertidur di sampingku. Iapun tak mengenakan apapun. Aku tahu apa yang kami lakukan semalam. Namun aku tak merasa menyesal melakukannya.
“Kamu udah bangun. Maafin aku ya. Aku semalam terbawa suasana. Aku akan bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama kamu. Aku janji,” kata Reyhan sambil merangkulku.
“Iya. Aku juga nggak nyesel kok udah ngelakuin semua itu,” kataku.
Sorenya kami pulang ke Jakarta. Sesampainya di rumah aku langsung pergi ke kamar dan mengurung diri. Aku merenungi apa yang telah aku lakukan bersama Reyhan di villa malam itu. Ada penyesalan yang membuatku semakin merasa bersalah kepada papa dan mamaku.
Hari demi hari, minggu demi minggu aku lalui dengan  rasa penyesalan yang kian hari kian membuatku tersudut dalam dosa. Apalagi aku merasa bahwa Reyhan semakin menjauh dariku. Aku takut jika terjadi hal yang tak aku inginkan dan Reyhan lari dari tanggung jawab.
Pagi itu aku tak masuk sekolah karena badanku terasa kurang sehat. Papa dan mama menengokku ke kamar membawakan makanan untukku. Kemudian papa duduk di sampingku, sementara aku berbaring.
“Cindy, kamu masih berhubungan dengan pacar kamu?” Tanya papa.
“Maksud papa Reyhan?” aku berbalik tanya.
“Iya Cindy. Atau kamu malah sudah putus dan punya pacar yang baru?”
“Aku masih sama Reyhan Pa. Tapi akhir-akhir ini dia mulai menjauh dari aku setelah…” aku tak melanjutkan kata-kataku.
“Setelah apa?” Tanya papa keheranan.
“Bukan apa-apa Pa. Memangnya kenapa sih Pa?” tanyaku.
“Papa bukannya nggak suka sama Reyhan. Tapi papa rasa dia bukan laki-laki yang tepat untukmu. Kalau kamu nggak keberatan, papa ingin kenalkan kamu dengan anak teman papa. Anaknya santun dan pandai. Dia lulusan Al-Azhar, Kairo,” kata papa sambil membelai rambutku.
“Aku masih cinta sama Reyhan Pa.”
“Ya sudah. Papa nggak maksa kok. Ya sudah papa berangkat dulu ke kantor,” kata papa seraya meninggalkan rumah
Setelah papa keluar, mama menyuapiku. Mama juga menyarankan agar aku mau dikenalkan dengan anak dari teman papa. Namun aku tetap menolak. Aku masih sangat mencintai Reyhan. Aku hanya ingin menikah dengan Reyhan. Apalagi dia yang telah merenggut kesucianku.
Sudah dua bulan aku telat datang bulan. Aku mulai takut kalau aku hamil. Apalagi badanku sering lemas dan perutku mual. Apalagi kalau aku mencium bau masakan terkadang aku memuntahkan isi perutku. Apakah benar aku hamil?
Hari itu anak dari teman papaku dataang ke rumah. Betapa terkejutnya aku ketika melihat wajahnya. Ternyata dia adalah orang yang menemukan dompetku di kafe dulu. Dia Arif. Aku sempat berpikir bahwa anak teman papaku itu orang kaya. Ternyata dia hanya karyawan di sebuah kafe. Memang sih aku belum memastikan secara langsung. Namun aku masih ingat ketika dia mengembalikan dompetku itu dia berkata bahwa dia karyawan di kafe tempat dompetku tertinggal.
Dia berkunjung ke rumah hanya mengobrol dengan mama. Padahal papa memintaku agar aku yang menemaninya mengobrol. Namun aku hanya keluar menemuinya sekedar memberi salam lalu kembali ke kamar. Aku nggak suka dengannya.
Namun, dia terlihat sangat akrab dengan papa dan mamaku. Papa dan mama juga terlihat sangat tertarik dengan pemuda santun itu. Bahkan sekarang dia mulai sering berkunjung ke rumah karena diminta papa atau mamaku. Tapi aku tetap masa bodoh.
Ini sudah memasuki bulan ketiga aku telat datang bulan. Aku mulai khawatir. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli test pack untuk megetahui apakah aku hamil atau tidak. Namun betapa terkejutnya aku bahwa hasil test pack menunjukkan kalau aku positif hamil.
Aku sangat terpukul dengan kenyataan yang harus aku terima. Ternyata aku salah. Aku tak sepintar yang aku pikir selama ini. Aku bodoh. Ya, aku sangat bodoh. Aku bodoh sehingga aku terjerumus dalam jurang yang akan menghancurkanku dan masa depanku.
Sementara itu, hubunganku dengan Reyhan semakin tidak jelas. Dia jarang menghubungiku. Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Akankah benar Reyhan mau menikahiku dan bertanggunng jawab atas kesalahan yang telah kami lakukan? Jika ia mau bertanggung jawab akankah papa dan mama menerima kenyataan? Apalagi jika ia tak mau bertanggung jawab dan kedua orang tuaku mengusirku dan nggak menganggap aku sebagai anaknya lagi, apakah aku mampu membesarkan janin dalam rahimku dan membesarkan bayiku nanti?
Berminggu-minggu aku mencoba menutupi kehamilanku ini. Namun sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Mama dan papa mengetahui rahasia yang selama ini aku pendam. Mereka tahu bahwa aku hamil.
Mereka sangat marah besar padaku. Mereka pasti malu mempunyai anak sepertiku. Apalagi selama ini papaku sangat terpandang di mata masyarakat sekitar kompleks. Namun mereka tak sampai hati mengusirku. Akhirnya tiba saatnya mereka menanyakan siapa ayah dari anak yang aku kandung saat ini.
“Siapa yang telah membuatmu seperti ini Cindy? Hah, jawab!” bentak papa. Namun aku hanya diam dan menangis. Aku tak mampu untuk menyebut nama laki-laki yang telah membuatku seperti ini dan sekarang ia meninggalkanku.
“Cindy, lihat baik-baik mata papa! Papa tanya sama kamu, siapa ayah dari bayi yang kamu kandung itu?” Tanya papa sambil mengoyak-oyak pundakku.
“Rey..han Pa,” jawabku sambil bersimpuh di hadapan papa.
“Laki-laki itu harus bertanggung jawab,” kata papa seraya meninggalkanku.
Pagi itu, aku berinisiatif untuk pergi ke rumah Reyhan. Aku ingin dia mengetahui pederitaanku menanggung dosa yang kami perbuat. Aku tak mau menanggung penderitaan seorang diri sementara dia bebas berkeliaran kesana kemari.
Sesampainya disana, aku mengetuk pintu rumahnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan muncullah sosoknya dari balik pintu. Dia terlihat amat sangat terkejut melihatku datang ke rumahnya. Dia menatapku dari atas hingga bawah. Aku melihat ekspresi terkejutnya ketika ia melihat perutku yang buncit.
“E.. Cindy, ada apa kamu kemari?” tanyanya gugup.
“Aku mau kamu tahu satu hal. Aku hamil anak kamu Reyhan,” kataku sambil menatap tajam matanya.
“Apa? Tidak mungkin! Kamu pasti bohong.”
“Kamu bilang aku bohong? Lihat perutku! Dalam rahimku ini ada anak kamu. Darah daging kamu,” kataku sambil memegang perutku yang buncit.
“Aku nggak percaya. Bisa saja kamu melakukannya juga dengan orang lain. Bisa saja janin itu bukan darah dagingku,” katanya menyangkal.
“Apa? Kamu bilang janin? Usia kandunganku sudah empat bulan Reyhan. Pada usia itu, Allah sudah meniupkan ruh pada janin ini. Ini bayi kamu Reyhan. Aku hanya melakukan hubungan terlarang itu bersamamu.”
“Ada apa ini?” Tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Wanita ini adalah mama Reyhan.
“Ini Ma, Cindy bilang kalau aku menghamilinya. Dan dia bilang janin yang ada di rahimnya adalah darah dagingku,” kata Reyhan.
“Reyhan! Sudah aku bilang ini bayi, bukan lagi janin!” tegasku.
“Mau kamu apa? Aku tak percaya yang ada di rahimmu itu cucu saya. Kamu melakukannya dengan Reyhan atas kemauan kamu sendiri tanpa ada paksaan kan? Bisa jadi kamu juga melakukannya dengan orang lain. Lagi pula anak saya sudah bertunangan dengan wanita yang jauh lebih terhormat dari pada wanita hina yang ada di hadapan saya saat ini,” katanya sambil mengangkat tangan Reyhan, memperlihatkan cincin tunangan yang dikenakan Reyhan.
“Tante, saya hanya ingin Reyhan ikut menanggung akibat dari dosa yang kami berbuat. Saya tak mau menanggung penderitaan seorang diri atas perbuatan yang tidak saya lakukan seorang diri. Dan jika saya wanita yang hina di mata Tante, apakah Reyhan laki-laki yang terhormat pula? Tidak! Reyhan tak lebih dari laki-laki hina yang menjijikkan di mata orang tua saya. Demi Allah saya hanya melakukan hubungan ini dengan Reyhan,” kataku sambil terisak.
“Jaga mulut kamu! Kamu mau berapa? Ini cukup untuk kamu gugurkan kandungan kamu,” kata mama Reyhan sambil memberikan uang kepadaku.
“Maaf Tante. Saya akan mempertahankan bayi saya sampai lahir. Jika Reyhan tak mau bertanggung jawab, tak masalah. Allah Maha Adil. Kelak Reyhan pasti merasakan penderitaan yang saya rasakan.”
“Jangan bawa-bawa nama Allah. Dirimu terlalu hina untuk mengucapkannya,” katanya sambil mendorongku.
Aku merasa percuma memohon-mohon agar Reyhan bertanggung jawab. Akhirnya aku menyerah. Aku udah nggak peduli lagi dengan ayah dari bayiku. Aku hanya ingin membesarkan bayiku dan merawatnya, walaupun harus seorang diri dan menanggung malu.
Sudah berbagai cara yang aku dan kedua orang tuaku tempuh untuk meminta pertanggung jawaban dari Reyhan. Namun semuanya percuma. Reyhan tetap saja mengira aku telah melakukan hubungan terlarang bersama orang lain juga.
Hari ini aku bersama kedua orang tuaku kembali mendatangi rumah Reyhan. Tujuan kami masih sama, yaitu meminta pertanggung jawaban dari Reyhan atas apa yang aku dan dia lakukan. Namun, lagi-lagi aku harus menghadapi cacian mama Reyhan yang selalu merendahkanku tanpa ia sadari betapa rendah pula putra kebanggaannya itu.
“Mau apa lagi kalian kemari? Masih mau minta pertanggung jawaban dari Reyhan?” Tanya perempuan setengah baya itu.
“Saya hanya mau anak saya mendapatkan keadilan. Anak saya tidak melakukan dosa itu sendiri, melaikan bersama anak kamu,” bentak mamaku.
“Jangan mimpi kalian! Anak saya anak baik-baik. Nggak mungkin melakukan tindakan bodoh itu. Perempuan ini saja yang murahan. Apa kalian nggak pernah mengajari anak kalian untuk menjadi manusia yang terhormat? Jangan-jangan orang tuanyapun sama. Manusia hina!” kata mama Reyhan sambil mengacungkan jari telunjuknya kepadaku.
“Tante, jaga tutur kata Tante! Kata-kata tante tidak melukiskan kata-kata manusia yang beradab. Tante boleh hina-hina saya. Tante boleh sebut saya perempuan hina dan menjijikkan. Bahkan tante boleh sebut saya manusia paling rendah harga dirinya. Tapi tolong jangan hina orang tua saya dan bayi yang ada dalam rahim saya,” kataku dengan suara lantang meskipun air mata tak dapat kubendung.
“Dasar perempuan licik! Pasti bayi kamu itu hasil hubunganmu dengan laki-laki lain. Lalu kamu meminta anak saya bertanggung jawab karena cinta kamu kepada anak saya bertepuk sebelah tangan kan? Dasar licik!” kata mama Reyhan sambil meninggalkan kami dan menutup pintu rumahnya.
Aku telah berputus asa meminta pertanggung jawaban dari Reyhan. Setiap aku mendatanginya hanya caci dan maki yang aku terima. Bahkan mereka telah menghina orang tuaku. Orang yang paling aku sayangi di dunia ini. Aku lelah. Aku pasrah. Biarkan Allah yang akan menentukan jalan hidupku.
Malam itu Arif kembali mendatangi rumahku setelah sekian lama ia tak muncul. Mungkin ia menyesal mendekatiku karena aku bukan perempuan baik-baik. Namun malam ini ia terlihat sangat tenang. Setenang dulu saat aku belum hamil. Apakah dia tetap menyukaiku?
“Cindy, papa memintamu ke ruang tamu. Katanya ada yang mau dibicarakan denganmu,” kata mama ketika aku tiduran di kamar.
Akhirnya aku pergi ke ruang tamu menemui papa. Aku juga melihat Arif disitu. Dia tersenyum kepadaku. Senyum yang benar-benar tulus. Aku membalas senyumannya. Kemudian aku duduk di sebelah mama.
“Begini Cindy, papa tahu pasti kamu telah lelah meminta pertanggung jawaban kepada Reyhan. Walaupun misalnya suatu saat nanti Reyhan bersedia bertanggung jawab, papa tak menjamin kehidupan keluarga kamu akan tentram. Nak Arif ini sudah lama menyukaimu. Bahkan dia bersedia menerima kamu dan bayi yang ada di rahimmu. Dia bersedia menikahimu. Namun setelah bayi kamu lahir,” kata papa.
“Tapi apa benar Arif mau menerimaku dan bayiku. Lalu selama aku hamil, kemana dia? Apa dia menyesal telah menyukaiku selama ini?” Tanyaku.
“Maaf, saat itu saya kembali ke Mesir untuk mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal disana saat saya kuliah dulu. Karena pada waktu saya baru wisuda, barang-barang saya tidak semuanya saya bawa serta-merta. Saya tidak pernah menyesal telah menyukai Dek Cindy. Bahkan saya dengan senang hati menerima Dek Cindy dan bayi yang ada di rahim Adik,” katanya sambil tersenyum dan tetap tenang.
“Lalu jika ingin menikahiku kenapa mesti menunggu bayiku lahir?” Tanyaku sambil menatap tajam mata pemuda itu.
“Dalam Islam wanita yang sedang hamil tidak boleh dinikahi atau diceraikan. Saya akan menunggu bayi dalam rahim Dek Cindy lahir terlebih dahulu. Baru saya akan menikahi Adik. Itupun jika Adik berkenan,” jawabnya.
Akhirnya aku menerima pinangan Arif. Akupun mulai jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta pada setiap tingkah lakunya. Dia laki-laki yang santun dan sholeh. Terkadang aku merasa malu dan menyesal. Mengapa tidak dari dulu saja aku mengenal dan jatuh cinta kepada Arif? Dan kini aku tahu bahwa Arif adalah anak pemilik kafe dimana dompetku dulu tertinggal.
Waktu terus berjalan, hari-hari berlalu, bulanpun berganti. Usia kandunganku semakin bertambah. Arif pun tetap setia menantiku hingga aku melahirkan bayi yang ada di rahimku. Dan sebentar lagi bayi yang kami tunggu akan terlahir di tengah-tengah kami.
Dan hari ini adalah hari dimana bayiku akan lahir. Papa, mama, Arif dan kedua orang tua Arif menungguiku dari luar ruangan rumah sakit. Mereka berharap cemas menantikan bayi yang akan kulahirkan. Aku melihat mereka memanjatkan doa di tengah-tengah kecemasan mereka.
Tak berapa lama bayi itupun lahir. Aku melahirkan bayi perempuan yang cantik dan sehat. Aku melahirkannya dengan lancar. Aku tahu semua itu karena doa-doa dari orang-orang yang sedang menungguiku dari luar ruang bersalin. setelah diperbolehkan masuk, orang-orang yang menungguiku pun masuk ke dalam ruang bersalin.
Kemudian Arif mengumandangkan adzan di telinga bayiku. Kemudian dia mencium lembut bayiku sebelum memberikannya padaku. Aku senang melihat Arif mempunyai sikap kepabakan kepada anakku walaupun bukan darah dagingnya. Aku melihat tatapan tulus dari Arif saat dia menatap bayiku.
“Oh ya, siapa nama bayi cantik ini?” Tanya mama Arif kepadaku.
“Biar papa saja yang menamainya,” kataku sambil tersenyum melirik papa.
“Saya rasa calon ayahnya yang pantas menamai cucu pertama saya,” kata papa sambil tersenyum melirik Arif.
“ Baiklah jika itu permintaan dari Om. Saya akan menamai bayi perempuan ini Nada Farah Maulida yang artinya wanita murah hati dan dilahirkan dalam kebahagiaan. Bagaimana?” kata Arif sambil tersenyum.
“Nama yang cantik,” kataku sambil tersenyum papa Arif.
Seperti kata Arif dulu, bahwa ia akan menikahiku setelah aku melahirkan. Arif pun menepati kata-katanya. Kami sibuk mempersiapkan hari pernikahan itu. Aku tak sabar untuk menjadi istrinya yang halal untuk dicium keningnya.
Akhirnya hari pernikahan itu pun datang juga. Aku merasa sangat bahagia. Ijab qabul berjalan dengan lancar. Kami pun bersanding di pelaminan. Namun aku merasa tubuhku gemetar. Mungkin karena aku terlalu lelah menyiapkan pernikahan yang kunantikan itu.
Aku mencoba menahan diri agar tidak terjatuh di hadapan para hadirin. Namun aku tak kuasa. Akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi setelah aku jatuh tak sadarkan diri di hari pernikahanku.
Aku tersadar dan melihat sekelilingku. Ada Arif, yang kini telah menjadi suamiku. Ada pula orang tuaku, Nada, dan kedua orang tua Arif. Melihatku sadar Arif menggenggam tanganku dan mencium keningku. Aku melihat raut wajah khawatir darinya.
Namun aku kembali tidak sadarkan diri. Samar-samar aku mendengar suara Arif memanggilku berulang kali. Namun aku tak dapat lagi mengendalikan kesadaranku. Dan pada akhirnya ajal pun datang menghampiriku.
Aku telah berpulang ke sisi-Nya. Namun aku telah tenang. Karena aku telah menjalankan sunah Rasul, yaitu menikah. Apalagi aku menikah dengan laki-laki sholeh. Dan aku telah mempunyai seorang putri yang cantik. Aku yakin Arif, kedua orang tuaku dan orang tua Arif akan menjaga Nada dan Nada kelak akan menjadi wanita sholehah.
“Aku bahagia menjadi suamimu. Namun kamu pergi begitu cepat. Baru beberapa jam kita dihalalkan tali pernikahan. Andai saja aku dapat menjadi imammu dalam sholat maupun dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Namun aku tak dapat menyalahkan takdir Allah. Aku akan tetap mencintaimu dan mencintai anak kita. Aku akan merawat dan menjaga anak kita, selamat jalan sayang,” kata Arif sambil mengecup kening ragaku yang sudah tak bernyawa.


0 komentar:

Posting Komentar

Share on :