Share
12:53:00 PM

Terima Kasih Untuk Nyawa Keduaku

            Dari kecil hidupku tergolong mewah. Dengan orang tua yang berpenghasilan tinggi, rumah besar dan mewah beserta fasilitas-fasilitas mewah lainnya membuatku memiliki sifat sedikit manja. Orang tuaku selalu memenuhi segala permintaanku, termasuk memberiku mobil mewah saat ulang tahunku yang ke-16. Namun aku baru boleh mengendarai mobilku itu ketika aku sudah mendapatkan SIM nanti.

            Aku juga memiliki seorang saudara kembar. Kami memiliki wajah yang hampir mirip. Namun kedua orang tuaku, terutama Mama lebih menyayangiku dari pada Yeshi, saudara kembarku. Yeshi lahir lebih dulu beberapa menit dari aku. Karena statusnya sebagai kakakku, dia selalu mengalah dan berusaha melindungiku. Bahkan dia rela mengalah demi membuatku tersenyum. Aku sangat menyayangi Yeshi.
            Dari dulu Mama selalu menunjukkan sikap tidak sukanya kepada Yeshi. Terkadang aku merasa iba kepadanya. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku takut jika aku membela Yeshi, Mama akan memperlakukanku seperti Yeshi. Sehingga aku diam saja saat Yeshi diperlakukan secara tidak adil. Tak bisa kupungkiri terkadang aku justru tertawa atas perlakuan Mama kepada Yeshi.
            Suatu hari Ferdy datang ke rumah. Ferdy adalah siswa laki-laki yang menjadi idola siswa perempuan di sekolahku. Dia adalah kapten tim basket. Awalnya aku mengira bahwa Ferdy datang untuk menemuiku. Sebenarnya aku sudah lama menyimpan perasaan padanya.
            “Hai, Fer… cari siapa?” tanyaku basa-basi ketika Ferdy di depan pagar rumahku. Sambil aku membukakan pagar, aku mempersilahkannya masuk ke dalam rumahku.
            “Aku mau nyari Yeshi. Buku catatannya masih aku bawa. Dia ada, kan?” tanyanya sambil memperlihatkan buku catatan Yeshi di tangannya. Dalam hati, aku sangat kecewa. Kenapa Ferdy nyari Yeshi? Kenapa bukan aku?
            “Oh, ada. Masuk saja, aku panggilkan Yeshi dulu,” kataku sambil menuju rumah diikuti langkah Ferdy di belakangku. Sebenarnya hati ini ingin menjerit mengatakan kecemburuanku pada Yeshi.
            Aku meninggalkan Ferdy di ruang tamu. Sementara aku memanggil Yeshi di kamarnya. Namun setelah sampai di Kamar Yeshi, aku tak mendapatinya. Kemudian aku keluar untuk menemui Ferdy yang menungguku memanggil Yeshi. Namun sesampainya aku di ruang tamu, aku melihat Yeshi telah berada di sana bersama Ferdy. Mereka terlihat sangat akrab.
            Aku berlari ke kamar. Aku tak bisa menahan air mataku melihat keakraban mereka. Apa kurangnya diriku sehingga Ferdy lebih memilih Yeshi dari pada aku? Apa aku kurang cantik? Apa aku kurang baik? Atau apa aku kurang berprestasi?
            Hari demi hari keakraban mereka semakin terlihat nyata olehku bahkan teman-teman di sekolahku. Topik yang sedang hangat adalah kabar kedekatan mereka. Tak jarang aku mendengar teman-temanku menanyakan hubungan mereka kepadaku. Hal ini yang membuatku semakin sakit hati.
            Suatu hari seusai sekolah, badanku terasa demam. Aku hanya berbaring di kamarku. Aku sengaja tak mengunci pintu kamarku dan membiarkan pintunya terbuka sedikit. Aku mencoba memejamkan mata, namun kepalaku sangat pusing.
            “Yesha, kamu sakit?” tanya Yeshi yang tiba-tiba masuk ke kamarku dengan membawa kotak musik di tangannya.
            “Kepalaku pusing dari tadi pagi. Mungkin nanti kalau Mama pulang aku akan minta diantarkan ke dokter,” kataku tanpa memperhatikannya. Kemudian Yeshi berbaring di sampingku. Dia tersenyum memandangi kotak musik yang di tangannya.
            “Itu dari siapa? Spesial banget sepertinya?” tanyaku keheranan melihat tingkah saudara kembarku ini.
            “Ini dari Ferdy, Yes. Tadi pagi dia nembak aku. Dan kami udah jadian,” katanya sambil tersenyum-senyum. Kulihat pipinya merah merona. Mungkin dia sedang membayangkan kejadian yang baru saja dialaminya.
            Aku tak menjawab dan hanya diam saja. Aku tak ingin Yeshi melihatku menangis karena mendengar kabar dia dan Ferdy berpacaran. Namun rasanya aku tak sanggup menahan air yang hampir menetes dari mataku.
            “Maaf Yes, aku nggak bisa dengerin ceritamu. Kepalaku bener-bener sakit. Lebih baik kamu keluar biar aku bisa istirahat,” kataku sambil menutupi tubuhku dengan selimut.
            Aku menangis sepeninggalan Yeshi dari kamarku. Aku benar-benar kecewa dan sakit hati terhadap semua kenyataan ini. Dari dulu aku selalu bisa mendapatkan lebih dari pada apa yang Yeshi dapatkan. Kasih sayang Mama dan Papa, perhatian Mama dan Papa bahkan Kakek dan Nenekku juga demikian. Namun kenapa aku tak bisa mendapatkan Ferdy yang telah lama aku idam-idamkan?
            Malam harinya, Mama dan Papa mengantarku ke Dokter. Namun Dokter mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan hanya perlu istirahat. Dokter juga memberiku resep obat yang harus rutin aku minum sampai aku sembuh total.
            Seminggu setelah Yeshi dan Ferdy jadian, Yeshi jatuh sakit sehingga tak bisa masuk sekolah. Ferdy menitipkan sebuah boneka panda kesukaan Yeshi kepadaku. Namun aku tak memberikannya kepada Yeshi dan membuangnya di tengah jalan. Aku terlalu sakit hati untuk menyampaikan titipan itu. Aku tak sanggup.
            “Yesha, aku mau tanya sama kamu,” kata Yeshi ketika aku sedang belajar di ruang tamu.
            “Apa?” tanyaku tanpa menoleh kepadanya.
            “Ferdy nitipin sesuatu buat aku ke kamu nggak?” tanyanya sambil duduk di sampingku. Nada bicaranya tetap santai.
            “Enggak ada titipan dari siapapun buat kamu,” jawabku tanpa menatap wajahnya. Aku tak berani menatap matanya. Aku yakin jika aku lakukan itu, kebohonganku akan terbongkar.
            “Kamu jangan bohongin aku, Yesha. Tolong kamu jawab jujur pertanyaanku. Aku tahu kamu bohong,” katanya sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.
            “Iya! Iya aku bohong sama kamu. Ferdy nitipin boneka panda ke aku buat kamu. Aku buang boneka itu di jalan. Puas kamu?” kataku sambil melepaskan tangannya dari tubuhku.
            “Kenapa kamu buang?” tanyanya sambil suara parau. Aku melihat air matanya mulai menetes.
            Aku hanya diam tak bergerak dengan kepala tertunduk. Air matakupun mulai mengalir deras di pipiku. Hatiku tersayat ketika mengingat betapa sayangnya Ferdy kepada Yeshi. Aku tak sanggup menahan sakit hati ini melihat saudaraku dengan pria idamanku saling mengasihi.
            “Kenapa kamu nggak ngejawab aku, Yesha?” tanya Yeshi.
            “Apa aku harus bilang ke kamu kalau aku cemburu sama kamu dan Ferdy? Apa aku perlu katakan kalau hatiku sakit saat melihat kalian sangat akrab? Apa harus aku katakan kalau aku suka sama Ferdy dari dulu sebelum Ferdy suka kamu? Iya! Semua itu benar. Dan kamu tahu sekarang. Apa kamu mau melepas Ferdy untukku? Tidak, kan? Lantas apa yang bisa kamu lakukan setelah mengetahui semua ini? Nggak ada!” kataku dengan nada tinggi sambil terisak.
            “Yesha, kamu selalu dapatkan apa yang kamu mau. Sementara aku tidak. Kamu yang selalu dinomor satukan Mama dan Papa, bahkan sampai aku terabaikan. Kamu selalu mendapatkan fasilitas di atas fasilitas yang aku dapatkan. Kamu selalu dapat perhatian Papa dan Mama seolah anak mereke hanya kamu. Tak jarang mereka, bahkan kamu melupakanku, mengesampingkanku, bahkan tak menganggapku ada di keluarga ini. Apa kamu masih tega mau merebut Ferdy dariku?” tanyanya. Kini suaranya tinggi dari pada sebelumnya.
            “Yeshi, tak selayaknya kamu bicara sekasar itu pada Yesha. Yesha itu…” lerai Mama saat mendengar pertengkaran kami. Namun kalimat Mama terpotong sebelum kalimat itu selesai.
            Tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing. Aku merasakan cairan keluar dari lubang hidungku. Astaga, ini darah. Aku mimisan. Namun rasanya terlalu pusing untuk tetap sadar. Tubuhku kehilangan keseimbangan sehingga membuatku jatuh dan tak sadarkan diri.
            Aku mengedip-ngedipkan mataku dan berusaha menyesuaikan mata terhadap cahaya ruang. Kepalaku masih terasa pusing. Samar-samar kudengar suara isak tangis dari luar kamarku. Aku berusaha memekakan telingaku agar aku bisa mendengar apa yang diperbincangkan di luar sana.
            “Kamu harusnya mengalah sama Yesha. Buatlah dia bahagia di sisa umurnya. Relakan Ferdy untuknya. Mama nggak akan minta kamu mendonorkan sumsum tulang belakangmu pada Yesha. Namun Mama hanya minta kamu relakan Ferdy untuk Yesha. Jika kamu tak sanggup, setidaknya jauhi Ferdy.”
            Itu kalimat yang aku dengar dari suara di luar kamarku yang kuketahui adalah suara Mama. Ternyata aku sakit kanker sumsum tulang belakang. Tapi kenapa Mama nggak bilang sama aku? Kenapa Mama menyembunyikannya dariku?
            “Mama.. Yeshi..” panggilku.
            “Ada apa, Sayang?” tanya Mama sambil menghampiriku dan diikuti oleh Yeshi.
            “Apa benar aku sakit kanker sumsum tulang belakang?” tanyaku setengah membentak dengan suara parau. Namun tak ada satupun yang menjawabku. Tidak Mama, tidak juga Yeshi.
            “Kenapa nggak ada yang jawab?” tanyaku lagi.
            “Sayang, sebentar lagi kamu akan mendapatkan pendonor. Kamu akan sembuh. Mama yakin,” kata Mama sambil menangis dan memelukku.
            “Tapi kenapa kalian tega bohongin Yesha?” tanyaku sambil melepaskan pelukan Mama.
            “Mama nggak ingin kamu kecewa, Sayang,”
            “Aku nggak peduli. Kalian jahat! Keluar!” bentakku sambil terisak.
            Mereka kemudian meninggalkanku sendiri di kamar. Aku meratapi nasibku sambil berandai-andai bila esok aku telah tiada. Rasanya aku tak ikhlas jika Yeshi harus menjadi anak kesayangan Mama dan Papa sepeninggalanku.
            Pagi harinya aku masih mengurung diri di kamar. Berulang kali Mama, Papa serta Yeshi membujukku untuk membukakan pintu kamar walaupun hanya untuk mengantarkan makanan. Namun aku tak bergerak sedikitpun mendekati pintu.
            Kemudian aku mendengar pintu diketuk lagi. Diiringi suara yang tak asing lagi bagiku.
            “Yesha, ini Ferdy. Tolong kamu buka pintunya,” katanya.
            Kemudian aku mendekati pintu dan membukanya. Aku melihat Ferdy tersenyum padaku dan membawakanku makanan. Kemudian kami masuk dan saling mengobrol. Dia menyuapiku makan.
            “Kamu kenapa ke sini? Nanti Yeshi cemburu,” kataku sambil menerima suapannya.
            “Yeshi yang memintaku ke sini. Aku udah tahu semuanya tentang kamu. Termasuk perasaanmu ke aku. Tapi maaf, aku hanya mencintai Yeshi. Yeshi telah berkorban perasaan demi melihatmu makan makanan yang aku bawa,” kata Ferdy tanpa menghentikan suapannya.
            Cukup lama kami berbicara di dalam kamarku. Tiba saatnya dia pamit untuk pulang. Namun, sebelum dia pulang dia memberiku sebuah boneka teddy bear kesukaanku. Di boneka itu ada kartu ucapan cepat sembuh. Aku menerimanya dengan senang hati.
            Beberapa minggu kemudian, aku merasa semakin lemah dan tak berdaya. Aku terpaksa berhenti sekolah. Namun ada Yeshi yang selalu ikhlas menjadi guruku di rumah. Baru kusadari bahwa Yeshi itu sangat baik hatinya. Bahkan kepadaku yang selalu merebut apa yang seharusnya menjadi haknya.
            Sampai saat ini tak ada pendonor yang mau memberiku nyawa kedua. Aku telah putus asa menunggu pendonor yang tak kunjung ada. Namun Mama, Papa, Yeshi dan Ferdy selalu memberiku semangat agar aku tetap kuat menghadapi penyakitku.
            Berhari-hari ragaku tak sadarkan diri. Kemudian setelah aku sadar, aku melihat Ferdy tertidur di sofa ruang rawatku. Aku memanggilnya lirih. Kemudian dia terbangun dan menghampiriku. Dia tersenyum padaku.
            “Apa yang terjadi, Fer? tanyaku padanya.
            “Kamu habis operasi. Ada pendonor baik yang dengan ikhlas mendonorkan sumsum tulang belakangnya ke kamu. Dia memberimu nyawa kedua,” katanya sambil menitikkan air mata.
            Aku tersenyum bahagia mendengar kata-kata Ferdy. Itu berarti aku sembuh. Namun aku merasa ada yang ganjil ketika Ferdy justru menangis mengetahui aku akan sembuh.
            “Mama sama Papa dimana, Fer?” tanyaku.
            “Sebentar lagi juga sampai. Mereka lagi di jalan,” jawabnya lirih.
            “Kalau Yeshi?” tanyaku lagi.
            Aku tak mendengar jawaban dari Ferdy. Yang ada malah dia meneteskan air mata semakin deras dan mulai terisak. Aku tak mengerti akan jawaban Ferdy dengan bahasa tubuhnya.
            “Fer, Yeshi dimana?” tanyaku lagi.
            “Yeshi... Yeshi meninggal setelah mendonorkan sumsum tulang belakangnya ke kamu. Dia mengalami komplikasi sehingga nyawanya tak terselamatkan. Dia yang memberimu kesempatan untuk hidup kembali. Dia telah memberimu nyawa kedua,” jawab Ferdy dengan terisak.
            Aku tak percaya saudara kembarku yang selama ini sering aku abaikan, sering aku rebut haknya, bahkan sering tidak teranggap telah memberikan nyawanya untukku agar aku bisa hidup kembali. Ini adalah pengorbanan terakhir darinya.
            “Terima kasih Yeshi, saudaraku. Kau telah memberikan nyawa kedua bagiku. Selama ini aku terlalu buta dan tuli atas kebaikanmu kepadaku. Betapa buruknya aku sebagai saudaramu. Namun, kau selalu baik kepadaku.
            Yeshi, terima kasih pula atas kesempatan yang telah kau berikan padaku untuk memiliki Ferdy. Kini kami berdua telah berpacaran. Ferdy sangat baik kepadaku. Dan dia merasa beruntung karena pernah mendiami hatimu”
            Itu adalah suratku untuk Yeshi yang kuterbangkan dengan balon bersama Ferdy.

0 komentar:

Posting Komentar

Share on :