Dari kecil hidupku tergolong mewah.
Dengan orang tua yang berpenghasilan tinggi, rumah besar dan mewah beserta
fasilitas-fasilitas mewah lainnya membuatku memiliki sifat sedikit manja. Orang
tuaku selalu memenuhi segala permintaanku, termasuk memberiku mobil mewah saat
ulang tahunku yang ke-16. Namun aku baru boleh mengendarai mobilku itu ketika
aku sudah mendapatkan SIM nanti.
Aku juga memiliki seorang saudara
kembar. Kami memiliki wajah yang hampir mirip. Namun kedua orang tuaku,
terutama Mama lebih menyayangiku dari pada Yeshi, saudara kembarku. Yeshi lahir
lebih dulu beberapa menit dari aku. Karena statusnya sebagai kakakku, dia
selalu mengalah dan berusaha melindungiku. Bahkan dia rela mengalah demi
membuatku tersenyum. Aku sangat menyayangi Yeshi.
Dari dulu Mama selalu menunjukkan
sikap tidak sukanya kepada Yeshi. Terkadang aku merasa iba kepadanya. Namun aku
tak bisa berbuat apa-apa. Aku takut jika aku membela Yeshi, Mama akan
memperlakukanku seperti Yeshi. Sehingga aku diam saja saat Yeshi diperlakukan
secara tidak adil. Tak bisa kupungkiri terkadang aku justru tertawa atas
perlakuan Mama kepada Yeshi.
Suatu hari Ferdy datang ke rumah.
Ferdy adalah siswa laki-laki yang menjadi idola siswa perempuan di sekolahku. Dia
adalah kapten tim basket. Awalnya aku mengira bahwa Ferdy datang untuk
menemuiku. Sebenarnya aku sudah lama menyimpan perasaan padanya.
“Hai, Fer… cari siapa?” tanyaku
basa-basi ketika Ferdy di depan pagar rumahku. Sambil aku membukakan pagar, aku
mempersilahkannya masuk ke dalam rumahku.
“Aku mau nyari Yeshi. Buku
catatannya masih aku bawa. Dia ada, kan?” tanyanya sambil memperlihatkan buku
catatan Yeshi di tangannya. Dalam hati, aku sangat kecewa. Kenapa Ferdy nyari
Yeshi? Kenapa bukan aku?
“Oh, ada. Masuk saja, aku panggilkan
Yeshi dulu,” kataku sambil menuju rumah diikuti langkah Ferdy di belakangku.
Sebenarnya hati ini ingin menjerit mengatakan kecemburuanku pada Yeshi.
Aku meninggalkan Ferdy di ruang
tamu. Sementara aku memanggil Yeshi di kamarnya. Namun setelah sampai di Kamar
Yeshi, aku tak mendapatinya. Kemudian aku keluar untuk menemui Ferdy yang
menungguku memanggil Yeshi. Namun sesampainya aku di ruang tamu, aku melihat
Yeshi telah berada di sana bersama Ferdy. Mereka terlihat sangat akrab.
Aku berlari ke kamar. Aku tak bisa
menahan air mataku melihat keakraban mereka. Apa kurangnya diriku sehingga
Ferdy lebih memilih Yeshi dari pada aku? Apa aku kurang cantik? Apa aku kurang
baik? Atau apa aku kurang berprestasi?
Hari demi hari keakraban mereka
semakin terlihat nyata olehku bahkan teman-teman di sekolahku. Topik yang
sedang hangat adalah kabar kedekatan mereka. Tak jarang aku mendengar
teman-temanku menanyakan hubungan mereka kepadaku. Hal ini yang membuatku
semakin sakit hati.
Suatu hari seusai sekolah, badanku
terasa demam. Aku hanya berbaring di kamarku. Aku sengaja tak mengunci pintu
kamarku dan membiarkan pintunya terbuka sedikit. Aku mencoba memejamkan mata,
namun kepalaku sangat pusing.
“Yesha, kamu sakit?” tanya Yeshi
yang tiba-tiba masuk ke kamarku dengan membawa kotak musik di tangannya.
“Kepalaku pusing dari tadi pagi.
Mungkin nanti kalau Mama pulang aku akan minta diantarkan ke dokter,” kataku
tanpa memperhatikannya. Kemudian Yeshi berbaring di sampingku. Dia tersenyum
memandangi kotak musik yang di tangannya.
“Itu dari siapa? Spesial banget
sepertinya?” tanyaku keheranan melihat tingkah saudara kembarku ini.
“Ini dari Ferdy, Yes. Tadi pagi dia
nembak aku. Dan kami udah jadian,” katanya sambil tersenyum-senyum. Kulihat
pipinya merah merona. Mungkin dia sedang membayangkan kejadian yang baru saja
dialaminya.
Aku tak menjawab dan hanya diam
saja. Aku tak ingin Yeshi melihatku menangis karena mendengar kabar dia dan
Ferdy berpacaran. Namun rasanya aku tak sanggup menahan air yang hampir menetes
dari mataku.
“Maaf Yes, aku nggak bisa dengerin
ceritamu. Kepalaku bener-bener sakit. Lebih baik kamu keluar biar aku bisa
istirahat,” kataku sambil menutupi tubuhku dengan selimut.
Aku menangis sepeninggalan Yeshi
dari kamarku. Aku benar-benar kecewa dan sakit hati terhadap semua kenyataan
ini. Dari dulu aku selalu bisa mendapatkan lebih dari pada apa yang Yeshi
dapatkan. Kasih sayang Mama dan Papa, perhatian Mama dan Papa bahkan Kakek dan
Nenekku juga demikian. Namun kenapa aku tak bisa mendapatkan Ferdy yang telah
lama aku idam-idamkan?
Malam harinya, Mama dan Papa
mengantarku ke Dokter. Namun Dokter mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan
hanya perlu istirahat. Dokter juga memberiku resep obat yang harus rutin aku
minum sampai aku sembuh total.
Seminggu setelah Yeshi dan Ferdy
jadian, Yeshi jatuh sakit sehingga tak bisa masuk sekolah. Ferdy menitipkan
sebuah boneka panda kesukaan Yeshi kepadaku. Namun aku tak memberikannya kepada
Yeshi dan membuangnya di tengah jalan. Aku terlalu sakit hati untuk
menyampaikan titipan itu. Aku tak sanggup.
“Yesha, aku mau tanya sama kamu,”
kata Yeshi ketika aku sedang belajar di ruang tamu.
“Apa?” tanyaku tanpa menoleh
kepadanya.
“Ferdy nitipin sesuatu buat aku ke
kamu nggak?” tanyanya sambil duduk di sampingku. Nada bicaranya tetap santai.
“Enggak ada titipan dari siapapun
buat kamu,” jawabku tanpa menatap wajahnya. Aku tak berani menatap matanya. Aku
yakin jika aku lakukan itu, kebohonganku akan terbongkar.
“Kamu jangan bohongin aku, Yesha.
Tolong kamu jawab jujur pertanyaanku. Aku tahu kamu bohong,” katanya sambil
menggoyang-goyangkan tubuhku.
“Iya! Iya aku bohong sama kamu.
Ferdy nitipin boneka panda ke aku buat kamu. Aku buang boneka itu di jalan.
Puas kamu?” kataku sambil melepaskan tangannya dari tubuhku.
“Kenapa kamu buang?” tanyanya sambil
suara parau. Aku melihat air matanya mulai menetes.
Aku hanya diam tak bergerak dengan
kepala tertunduk. Air matakupun mulai mengalir deras di pipiku. Hatiku tersayat
ketika mengingat betapa sayangnya Ferdy kepada Yeshi. Aku tak sanggup menahan
sakit hati ini melihat saudaraku dengan pria idamanku saling mengasihi.
“Kenapa kamu nggak ngejawab aku,
Yesha?” tanya Yeshi.
“Apa aku harus bilang ke kamu kalau
aku cemburu sama kamu dan Ferdy? Apa aku perlu katakan kalau hatiku sakit saat
melihat kalian sangat akrab? Apa harus aku katakan kalau aku suka sama Ferdy
dari dulu sebelum Ferdy suka kamu? Iya! Semua itu benar. Dan kamu tahu
sekarang. Apa kamu mau melepas Ferdy untukku? Tidak, kan? Lantas apa yang bisa
kamu lakukan setelah mengetahui semua ini? Nggak ada!” kataku dengan nada
tinggi sambil terisak.
“Yesha, kamu selalu dapatkan apa
yang kamu mau. Sementara aku tidak. Kamu yang selalu dinomor satukan Mama dan
Papa, bahkan sampai aku terabaikan. Kamu selalu mendapatkan fasilitas di atas
fasilitas yang aku dapatkan. Kamu selalu dapat perhatian Papa dan Mama seolah
anak mereke hanya kamu. Tak jarang mereka, bahkan kamu melupakanku,
mengesampingkanku, bahkan tak menganggapku ada di keluarga ini. Apa kamu masih
tega mau merebut Ferdy dariku?” tanyanya. Kini suaranya tinggi dari pada
sebelumnya.
“Yeshi, tak selayaknya kamu bicara
sekasar itu pada Yesha. Yesha itu…” lerai Mama saat mendengar pertengkaran
kami. Namun kalimat Mama terpotong sebelum kalimat itu selesai.
Tiba-tiba kepalaku terasa sangat
pusing. Aku merasakan cairan keluar dari lubang hidungku. Astaga, ini darah.
Aku mimisan. Namun rasanya terlalu pusing untuk tetap sadar. Tubuhku kehilangan
keseimbangan sehingga membuatku jatuh dan tak sadarkan diri.
Aku mengedip-ngedipkan mataku dan
berusaha menyesuaikan mata terhadap cahaya ruang. Kepalaku masih terasa pusing.
Samar-samar kudengar suara isak tangis dari luar kamarku. Aku berusaha
memekakan telingaku agar aku bisa mendengar apa yang diperbincangkan di luar
sana.
“Kamu harusnya mengalah sama Yesha.
Buatlah dia bahagia di sisa umurnya. Relakan Ferdy untuknya. Mama nggak akan
minta kamu mendonorkan sumsum tulang belakangmu pada Yesha. Namun Mama hanya
minta kamu relakan Ferdy untuk Yesha. Jika kamu tak sanggup, setidaknya jauhi
Ferdy.”
Itu kalimat yang aku dengar dari
suara di luar kamarku yang kuketahui adalah suara Mama. Ternyata aku sakit
kanker sumsum tulang belakang. Tapi kenapa Mama nggak bilang sama aku? Kenapa
Mama menyembunyikannya dariku?
“Mama.. Yeshi..” panggilku.
“Ada apa, Sayang?” tanya Mama sambil
menghampiriku dan diikuti oleh Yeshi.
“Apa benar aku sakit kanker sumsum
tulang belakang?” tanyaku setengah membentak dengan suara parau. Namun tak ada
satupun yang menjawabku. Tidak Mama, tidak juga Yeshi.
“Kenapa nggak ada yang jawab?”
tanyaku lagi.
“Sayang, sebentar lagi kamu akan
mendapatkan pendonor. Kamu akan sembuh. Mama yakin,” kata Mama sambil menangis
dan memelukku.
“Tapi kenapa kalian tega bohongin
Yesha?” tanyaku sambil melepaskan pelukan Mama.
“Mama nggak ingin kamu kecewa,
Sayang,”
“Aku nggak peduli. Kalian jahat!
Keluar!” bentakku sambil terisak.
Mereka kemudian meninggalkanku
sendiri di kamar. Aku meratapi nasibku sambil berandai-andai bila esok aku
telah tiada. Rasanya aku tak ikhlas jika Yeshi harus menjadi anak kesayangan
Mama dan Papa sepeninggalanku.
Pagi harinya aku masih mengurung
diri di kamar. Berulang kali Mama, Papa serta Yeshi membujukku untuk membukakan
pintu kamar walaupun hanya untuk mengantarkan makanan. Namun aku tak bergerak
sedikitpun mendekati pintu.
Kemudian aku mendengar pintu diketuk
lagi. Diiringi suara yang tak asing lagi bagiku.
“Yesha, ini Ferdy. Tolong kamu buka
pintunya,” katanya.
Kemudian aku mendekati pintu dan
membukanya. Aku melihat Ferdy tersenyum padaku dan membawakanku makanan.
Kemudian kami masuk dan saling mengobrol. Dia menyuapiku makan.
“Kamu kenapa ke sini? Nanti Yeshi
cemburu,” kataku sambil menerima suapannya.
“Yeshi yang memintaku ke sini. Aku
udah tahu semuanya tentang kamu. Termasuk perasaanmu ke aku. Tapi maaf, aku
hanya mencintai Yeshi. Yeshi telah berkorban perasaan demi melihatmu makan
makanan yang aku bawa,” kata Ferdy tanpa menghentikan suapannya.
Cukup lama kami berbicara di dalam
kamarku. Tiba saatnya dia pamit untuk pulang. Namun, sebelum dia pulang dia
memberiku sebuah boneka teddy bear kesukaanku. Di boneka itu ada kartu ucapan
cepat sembuh. Aku menerimanya dengan senang hati.
Beberapa minggu kemudian, aku merasa
semakin lemah dan tak berdaya. Aku terpaksa berhenti sekolah. Namun ada Yeshi
yang selalu ikhlas menjadi guruku di rumah. Baru kusadari bahwa Yeshi itu
sangat baik hatinya. Bahkan kepadaku yang selalu merebut apa yang seharusnya
menjadi haknya.
Sampai saat ini tak ada pendonor
yang mau memberiku nyawa kedua. Aku telah putus asa menunggu pendonor yang tak
kunjung ada. Namun Mama, Papa, Yeshi dan Ferdy selalu memberiku semangat agar
aku tetap kuat menghadapi penyakitku.
Berhari-hari ragaku tak sadarkan
diri. Kemudian setelah aku sadar, aku melihat Ferdy tertidur di sofa ruang
rawatku. Aku memanggilnya lirih. Kemudian dia terbangun dan menghampiriku. Dia
tersenyum padaku.
“Apa yang terjadi, Fer? tanyaku
padanya.
“Kamu habis operasi. Ada pendonor
baik yang dengan ikhlas mendonorkan sumsum tulang belakangnya ke kamu. Dia
memberimu nyawa kedua,” katanya sambil menitikkan air mata.
Aku tersenyum bahagia mendengar
kata-kata Ferdy. Itu berarti aku sembuh. Namun aku merasa ada yang ganjil
ketika Ferdy justru menangis mengetahui aku akan sembuh.
“Mama sama Papa dimana, Fer?”
tanyaku.
“Sebentar lagi juga sampai. Mereka
lagi di jalan,” jawabnya lirih.
“Kalau Yeshi?” tanyaku lagi.
Aku tak mendengar jawaban dari
Ferdy. Yang ada malah dia meneteskan air mata semakin deras dan mulai terisak.
Aku tak mengerti akan jawaban Ferdy dengan bahasa tubuhnya.
“Fer, Yeshi dimana?” tanyaku lagi.
“Yeshi... Yeshi meninggal setelah
mendonorkan sumsum tulang belakangnya ke kamu. Dia mengalami komplikasi
sehingga nyawanya tak terselamatkan. Dia yang memberimu kesempatan untuk hidup
kembali. Dia telah memberimu nyawa kedua,” jawab Ferdy dengan terisak.
Aku tak percaya saudara kembarku
yang selama ini sering aku abaikan, sering aku rebut haknya, bahkan sering
tidak teranggap telah memberikan nyawanya untukku agar aku bisa hidup kembali.
Ini adalah pengorbanan terakhir darinya.
“Terima
kasih Yeshi, saudaraku. Kau telah memberikan nyawa kedua bagiku. Selama ini aku
terlalu buta dan tuli atas kebaikanmu kepadaku. Betapa buruknya aku sebagai
saudaramu. Namun, kau selalu baik kepadaku.
Yeshi,
terima kasih pula atas kesempatan yang telah kau berikan padaku untuk memiliki
Ferdy. Kini kami berdua telah berpacaran. Ferdy sangat baik kepadaku. Dan dia
merasa beruntung karena pernah mendiami hatimu”
Itu adalah suratku untuk Yeshi yang kuterbangkan
dengan balon bersama Ferdy.
0 komentar:
Posting Komentar