"Ma,
Yofan…"
"Cukup
Yofan! Mama nggak mau denger lagi alasan kamu nolak Diandra. Ini amanah dari
papa kamu sebelum meninggal."
"Tapi
Yofan nggak cinta sama Diandra, Ma."
"Diandra
baik sekali, Yofan. Kamu tahu itu. Itu udah alasan yang lebih dari cukup untuk
kamu mencintai dia."
"Ma,
Yofan ngerti. Tapi Yofan udah anggap Diandra sebagai adik Yofan sendiri. Dari
kecil kami udah sering bareng-bareng."
"Iya
makanya, kalian udah saling mengenal sifat masing-masing kan?"
"Maaa…"
Akhirnya aku
menyerah dengan segala argumen mama. Dari dulu aku memang tak pernah menang
jika berargumen dengan mama. Apalagi untuk hal Diandra kali ini. Mama lebih
ngotot dari biasanya. Sepertinya Mama mengeluarkan segala jurusnya untuk
menakhlukkan argumenku. Dan aku benci ini.
Dari kecil
aku memang orang yang tak suka diatur. Tapi semenjak papa meninggal, aku selalu
menuruti kehendak mama. Salah satu pesan papa sebelum meninggal adalah untuk nurut
sama mama.
"Yofan,
kamu tahu? Dari dulu Papa selalu mencintai mamamu. Kamu tahu, bagi Papa, mamamu
adalah anugrah terindah. Papa selalu berusaha menjaga dia dan menyayangi dia.
Tak pernah sedikit pun ada niat di hati Papa untuk menyakiti perasaannya.
Karenanya kamu ada. Papa pesan sama kamu, jangan pernah kecewakan wanita yang
paling Papa sayangi. Kamu bisa berjanji?"
Pesan itu
seolah selalu menempel pada ingatanku. Karena janji itu, aku jadi
mengesampingkan segala keinginanku yang bertolak-belakang dengan keinginan
mama. Tapi kali ini, untuk masalah Diandra, aku nggak bisa nurutin mama.
"Ma,
Mama cinta sama papa, kan?"
"Mama
sangat mencintai papamu, kamu tahu itu."
"Mama
bahagia hidup sama papa?"
"Mama
sangat bahagia, Yofan."
"Ma,
bagaimana aku nanti bisa bahagia bersama Diandra jika aku sama sekali tak
mencintai Diandra?" jurus terakhirku pun akhirnya keluar.
"Kamu
inget Yofan, kamu pernah janji sama Diandra kalau kamu akan jagain dia?"
"Ma,
aku ingat. Tapi bukan berarti aku harus menikah sama Diandra, kan?"
"Yofan,
Mama capek." Ucapan itu seolah jadi kata penutup dari argumen mama yang
membuatku tersayat. Aku merasa bahwa aku tak berbakti. Kata itu… Itu artinya
mama kecewa denganku.
Aku berlalu
meninggalkan mama. Aku tak tahu kenapa mama begitu terobsesi untuk
menjodohkanku dengan Diandra.
Aku
mengendarai motorku keluar dari kompleks rumahku menuju jalan raya. Dalam
pikiranku berkecamuk berbagai masalah. Janjiku pada Diandra waktu kecil,
janjiku pada papa, permintaan mama dan keinginan hatiku sendiri.
Sampai di
sebuah jalan, aku meminggirkan motorku di sebuah kedai bakso. Aku memang
penggemar berat bakso. Seperti mamaku. Sial! Aku jadi teringat permintaan mama.
Setelah
memesan satu porsi bakso, aku memilih tempat duduk di bagian yang pojok, jauh
dari keramaian pengunjung lainnya.
Aku baru
saja akan duduk, seseorang telah menabrak motorku yang terparkir di tepi jalan.
Nampaknya, dia juga ingin parkir di sini. Aku pun menghampirinya yang dimarahi
orang-orang yang sedang nongkrong di kedai kopi sebelah.
Aku
membantunya yang kelihatan keberatan mengangkat motorku.
"Makasih
Mas. Saya bisa sendiri kok."
"Udah
deh, nggak usah gengsi. Gue tau kok motor ini berat."
"Iya
tapi gue bisa!"
"Udah,"
kataku sambil memeriksa motorku.
"Udah
gue bilang, gue bisa," gerutunya.
"Untung
nggak ada yang lecet."
"Ini
motor lo?" tanyanya terkejut.
"Menurut
lo?"
"Maafin
gue ya? Gue nggak sengaja, sumpah. Lagian nggak ada yang lecet kan? Nggak perlu
ganti rugi dong."
"Takut
banget lo gue suruh ganti rugi," ledekku.
"Nggak
gitu, tapi di dompet gue cuma ada duit
biruan selembar doang. Kan nggak cukup buat ganti rugi."
"Yaudah
kalo gitu gue yang traktir lo?"
"Lho?
Kok?"
"Biar
duit lo utuh. Jaga-jaga kalo lo nanti nabrak orang lain lagi, kan biar buat
ganti rugi."
"Sialan!
Lo doain gue nabrak orang lagi?" Gadis yang tak kutahu namanya ini memasang
muka cemberutnya yang menurutku sangat imut.
"Nggak
lah. Bercanda gue."
"Gue
tau weee," ejeknya sambil menjulurkan lidahnya.
Akhirnya
aku, dengan gadis yang tak kutahu namanya menuju meja yang tadi sudah kupilih.
"Kok
milih di pojok sih? Suka mojok ya lo?" candanya.
"Nggak
lah. Gue nggak suka keramaian."
"Kok lo
ngajakin gue kalo lo nggak suka ramai?"
"Kadang
gue bosen kesendirian."
"Bilang
aja lo pengen gue temenin."
"Ih,
enggak. Btw, nama lo siapa?"
"Gue
Bella."
"Cantik
banget nama lo. Beda sama orangnya,"ejekku. Sebenarnya gadis ini sangat manis. Tapi
penampilannya sedikit berantakan. Ia memakai celana jeans ketat dengan kaos
oblong yang sedikit kebesaran di tubuhnya yang mungil. Rambutnya yang
panjangnya sebahu dan tak terlalu lebat berwarna hitam kecoklatan dikuncir
seadanya. Tapi ia manis. Kesan pertamaku padanya, aku tertarik dengan gadis
ini.
"Bokap
gue bilang gue manis weee." Lidahnya kembali terjulur. Sungguh, dia sangat
manis dengan penampilannya yang seadanya dan sikapnya yang tak dibuat-buat.
"Kan
biar lo seneng. Oh ya, kenalin gue Yofan."
"Dan lo
nggak pengen nyenengin gue gitu?"
"Ogah."
Jujur aku pengen banget bahagiain dia, gadis unik yang baru kutemui tadi.
Aku dan
Bella semakin akrab. Kami juga sempat bertukar pin BBM. Kesan pertamaku padanya
adalah, aku kagum padanya. Gadis yang penampilannya sedikit berantakan, aku
suka celetukkannya.
"Lo
mau langsung pulang, Bell?" tanyaku
setelah kami selesai menghabiskan bakso.
"Gue
biasanya jalan-jalan dulu."
"Emang
nggak dicariin orang tua lo? Lo kan cewek."
"Mereka
nggak bakal nyariin gue kok."
"Lo kan
nggak tau kalo mereka khawatir sama lo."
"Lo
udah mirip tante gue ya. Ngomongnya selalu gitu."
"Ya gue
cuma nggak mau lo bikin orag tua lo khawatir."
"Mereka
nggak bakal nyariin gue sampai mereka denger gue udah mati," ujarnya
santai sambil menyulut rokok. Seperti ada emosi yang tertahan ketika dia
mengatakannya.
"Bell,
lo rokok?" Aku terkejut melihatnya merokok. Gadis seimut dia, periang.
Seperti mimpi saja.
"Mau?"
tawarnya.
"Gue
nggak pernah rokok."
"Maaf."
Ia menikmati
rokoknya, sementara aku hanya melihatnya dengan prihatin. Kutatap matanya yang
seolah-olah menghindari tatapan mataku. Aku menyayangkan, gadis imut yang
memberikan kesan pertama yang membuatku tertarik, kini dengan tanpa malu
merokok di depan umum.
Tapi setiap
aku menilik ke dalam matanya. Ada keresahan, kebencian, dan ketakutan yang aku
tangkap. Aku penasaran dengan kehidupan gadis ini. Tapi aku baru saja
mengenalnya. Tak mungkin aku bertanya-tanya tentang kehidupannya.
Hari demi hari
aku dan Bella semakin akrab. Aku semakin penasaran dengan kehidupannya. Kini
aku tahu bahwa ia tak tinggal lagi dengan orang tuanya. Katanya orang tuanya
tinggal di Semarang. Sementara ia di Jakarta tinggal di tempat kos. Ia juga
masih kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta.
Tak bisa
kupungkiri bahwa aku merindukannya. Rindu penampilannya yang berantakan. Rindu
wajahnya yang imut. Rindu celetukkannya. Dan matanya yang sayu yang tersimpan
sejuta kisah yang tak bisa kubongkar.
Hari ini aku
ada janji dengan Bella di sebuah kedai es krim. Tak ada yang kuistimewakan dari
penampilanku. Aku tahu dia menyukai orang yang berpenampilan sederhana.
Sesampainya di
tempat yang kami janjikan, aku belum melihat wajahnya di segala sudut kedai es
krim itu. Aku pun memilih tempat duduk yang lagi-lagi jauh dari keramaian.
Tak berapa
lama, kulihat juga gadis yang penampilannya tak jauh beda dari yang kutemui
sebelumnya. Ia berlari kearahku dengan wajah yang dipenuhi peluh keringan.
"Maaf,
gue telat." Napasnya masih terburu-buru.
"Lo
nggak bawa motor?"
"Lagi
dibawa adik gue."
"Cie,
kakak yang baik. Duduk dulu"
"Oke.
Udah lama nungguin?"
"Nggak
sih."
Napasnya
masih terburu-buru. Aku kasihan melihatnya.
"Makanya
nggak usah rokok. Akibatnya napas lo jadi pendek gini kan?"
Ia menatapku
dengan tatapan yang membuatku takut.
"Kalo
lo ngajak gue ke sini cuma mau nasihatin gue supaya gue berhenti rokok, mending
gue nggak usah datang kesini." Kali ini kata-katanya serius. Ia memang
marah.
"Lo
jangan salah paham. Kalo lo nggak suka gue bilang gitu, yaudah gue minta
maaf."
"Ini
nggak masalah paham atau nggak. Gue nggak suka orang lain nyampurin kehidupan
gue dan ngomentarin hidup gue seenaknya."
"Iya,
Bell. Gue minta maaf."
"Yaudah,
jangan kayak gitu lagi."
Suasana
kembali cair. Satu hal lagi yang kukagumi dari Bella. Ia orang yang mudah
memaafkan dan tidak larut dalam amarah. Aku semakin kagum pada gadis yang
mengkonsumsi barang yang tidak kusuka.
***
Hari itu
Diandra datang ke rumahku. Gadis cantik nan anggun ini, aku menyayanginya
sebagai sahabat. Aku tak mungkin bisa menikah dengannya.
"Yofan,
kamu baru bangun?" tanya Diandra yang sedang mengobrol dengan mama ketika
melihatku keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan dan celana kolor dan
telanjang dada.
"Iya.
Tadi malem habis nongkrong sama temen-temen. Tumben pagi-pagi ke sini,
Din?"
"Mau
nganterin undangan ulang tahun adikku. Datang ya, besok malam."
"Iya,
pasti. Gue mandi dulu ya Din."
Hari ulang
tahun adik Diandra pun datang. Malam itu
Diandra menjempuku dan Mama karena mobilku sedang di bengkel. Sampai di depan
rumah Diandra, nuansa party sudah
sangat terasa. Begitu turun dari mobil Diandra, aku melihat Bella sedang
mengantar seorang anak laki-laki. Mungkin itu adiknya.
"Hai,
Bell!" kataku seraya menghampirinya.
"Hai
Yof, kok lo di sini?"
"Jadi
orang tua yang lagi ulang tahun itu temennya mama gue. Jadi gue diundang."
"Siapa
Yof?" tanya Diandra yang tiba-tiba menghampiriku dan Bella kemudian
menggandeng tanganku.
"Oh,
ini Bella. Temen gue, Din. Bel, kenalin ini Diandra, kakak dari yang lagi ulang tahun."
"Bella."
Bella memperkenalkan diri.
"Diandra,
tunangannya Yofan," Diandra memperkenalkan diri.
Aku terkejut
Diandra mengaku bahwa ia adalah tunanganku.
"Oh ya
Bell, lo ke sini nganterin siapa?"
"Nganterin
adik gue Yof."
"Ngobrol
dulu yuk," ajakku pada Bella.
"Tapi
acaranya…" Diandra menyela.
"Nanti
kalo udah mau potong kue gue bakal nyusul kok, Din."
Akhirnya Diandra
meninggalkan aku dan Bella berdua. Bella kembali mengeluarkan sebatang rokok
dan menyulutnya. Ia menghisap rokok itu dengan nikmatnya. Wajahnya tersenyum
memandang langit malam. Senyumnya itu, aku menemukan kedamainan. Tapi setiap
aku malihat matanya, yang dapat kutangkap hanya kesedihan dan ketakukan.
"Jadi
lo udah tunangan ya Yof? Lo kok nggak pernah cerita?" tanyanya sambil
tersenyum padaku.
"Gue
terpaksa Bell."
"Kalo
terpaksa kenapa sampai tunangan?"
"Mama
gue yang ngatur."
"Terus
lo nurut aja gitu?"
"Gue
udah janji sama papa gue sebelum beliau meninggal. Gue janji nggak bakal
ngecewain mama gue."
"Haha… Pengecut
lo."
Aku kembali
terkejut. Aku menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
"Gue
nggak mungkin ngecewain mama gue, Bell."
" Terus
lo bohongin diri lo sendiri, lo bohongin mama lo, lo bohongin Diandra.
Pengecut! Lo nggak mikir gimana kalo kalian udah nikah, kalian punya anak. Dan
anak kalian tau bahwa papa dan mamanya nggak pernah saling mencintai. Lo mikir
dong gimana rasanya jadi anak lo. Terus lo cerai, lo nyakitik Diandra, anak lo,
mama lo, orang tua Diandra dan lo nyakitik diri lo sendiri. Lo sadar dong."
"Gue
sayang sama mama gue."
"Tapi
lo bukan boneka mama lo! Lo punya otak, lo punya nyawa. Ini kehidupan lo,
Yofan."
"Lo
nggak pernah sayang sama mama lo ya? Makanya lo seenaknya ngomong gitu,"
kataku dengan emosi.
Bella
membuang rokok dan menginjaknya. Kemudian ia kembali menyulut rokok yang masih
utuh. Menghisap dengan penuh kenikmatan.
"Kalo
mama gue nggak pernah suka sama keberadaan gue, ngapain gue musti sayang sama
dia?" tanyanya dengan nada santai.
"Nggak
ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya. Apalagi ibu yang ngelahirin lo,
Bell." Nadaku kembali pelan. Aku tak tega membentak gadis yang kini ada di
hadapanku.
"Dia
nggak ngelahirin gue. Ibu kandung gue udah meninggal." Sesaat dia
memangdangku. Kemudian ia menghisap lagi rokoknya dan menghembuskannya dengan
hembusan putus asa. Matanya memandang ribuan bintang yang berlomba-lomba
memancarkan cahayanya.
Aku tak
menyangka. Gadis yang kukagumi karena sikapnya yang periang, ternyata mempunyai
kehidupan yang pedih. Kini aku tahu, setiap aku menatap matanya, kesedihan yang
kulihat itu kini sudah kuketahui alasannya. Tapi ketakutan yang kutangkap itu,
aku masih penasaran.
"Yofan,
acara potong kuenya udah mau mulai." Mama tia-tiba muncul di sampingku.
"Iya
Ma. Bell, pulangnya hati-hati ya," ucapku.
"Siapa
Yof?" tanya mama.
"Ini
Bella Ma, temennya Yofan."
"Halo
Tante, saya Bella." Bella membuang rokoknya dan mengulurkan tangan pada
mama.
"Maaf,
saya nggak pengen tangan saya jadi bau rokok," jawab mama tanpa menyambut
uluran tangan Bella.
"Oh,
maaf Tante, saya nggak bermaksud seperti itu," katanya sambil tersenyum
ramah dan menurunkan tangannya.
"Yofan,
kalo nyari temen itu yang baik. Cewek baik-baik nggak mungkin rokok," ujar
mama seraya masuk ke dalam
"Bell,
maafin mama gue ya. Dia memang nggak suka perokok."
"Iya,
gue ngerti kok. Gue pulang dulu ya"
"Hati-hati
ya. Maaf buat yang tadi."
"Nggak
masalah kok."
Semakin hari
aku makin yakin bahwa perasaanku ke Bella bukan lagi perasaan kagum ataupun
tertarik. Kurasa, aku jatuh cinta padanya. Berhari-hari aku bimbang antara
menyatakan perasaanku pada Bella, tak peduli apakah Bella senang atau tidak.
Atau membiarkan perasaan ini terpendam dan menyiksa batinku, membohongi Bella,
mama, Diandra, dan diriku sendiri.
Akhirnya,
kuputuskan bahwa aku akan menyatakan perasaanku padanya apapun hasilnya. Kami
pun membuat janji di sebuah restoran. Bella sudah menunggu di sana.
"Hai
Bell."
"Eh,
Yof. Aku nggak telat kan?"
"Nggak
kok."
"Lo
ngapain ngajakin gue ke sini?"
"Nggak
papa. Gue laper, pengen makan di sini. (Gue gugup Bell)"
"Yaelah.
Gitu doang?"
"Iya.
Weeee (Nggak Bell, ada yang mau gue omongin)"
Aku masih
dilanda rasa gugup. Aku janji setelah hidangan habis, aku akan mengatakan
perasaanku yang sebenarnya pada Bella.
"Mutia."
Tiba-tiba datang seorang laki-laki paruh baya menghampiri kami dan menyebut
Bella dengan panggilan Mutia.
"Papa"
Bella sangat terkejut melihat laki-laki yang dihadapannya.
"Mutia?"
tanyaku kebingungan.
"Nanti
gue jelasin Yof."
"Papa
kok di sini?"
"Iya,
mamamu minta dibeliin makanan di sini."
"Kok
mama nggak ikut?"
"Duduk
dulu om," sahutku.
"Iya
makasih, Nak.."
"Saya
Yofan, Om."
"Saya
Renaldi, papanya Mutia."
"Jadi
Bella itu?" tanyaku kebingungan.
"Jadi
nama gue Mutiabella Putri Renaldi," sahut Bella dengan senyum manisnya.
"Rese
ya lu Mut," kataku sambil menarik rambut Bella.
"Gue
kan juga Bella. Weeee," katanya sambil menjulurkan lidahnya. Manisnya…
"Ardi
mana?" tanya papa Bella.
"Lagi
di rumah kok ,Pa. Dia baik-baik aja. Jadi mama kemana?"
"Lagi
di rumah."
"Papa
kenapa masih mau sih di suruh-suruh kayak gitu?"
"Papa
cuma menjalankan kewajiban sebagai seorang suami."
"Pa,
itu bukan tugas suami. Papa itu udah dijadiin bonekanya mama."
"Selama
Papa baik-baik aja nggak masalah kok Mut."
"Pa,
Mutia nggak mau mama ngelakuin seenaknya ke papa."
"Papa
tahu Mut. Tapi Papa bisa tanganin mama kamu kok. Kamu pulang ya."
"Mutia
nggak mau pulang."
"Kamu
nggak kangen Papa?"
"Pa…"
Setetes air mata menetes dari pipi gadis imut itu. Disusul dengan tetesan
berikutnya. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Rasanya aku tak sanggup
melihat gadis yang kucintai menangis.
"Kalo
nggak kangen Papa, nggak masalah kok. Tapi kalo kangen rumah, pulang ya.
Yaudah, kalo kamu dan Ardi baik-baik aja. Papa pulang dulu."
"Pa,
Mutia kangen sama Papa. Tapi Mutia nggak bisa pulang selama mama masih ada di
rumah." Gadis itu memeluk papanya dengan erat.
"Baik-baik
ya… Papa pasti selalu nunggu kamu."
Akhirnya aku
mengurungkan niatku untuk menyatakan perasaanku pada Bella. Aku rasa, waktunya
kurang tepat. Aku takut merusak suasana hati Bella. Akhirnya aku mengajaknya
jalan-jalan menyusuri jalan kota. Kami berhenti di sebuah jalan layang. Melihat
berbagai kendaraan berlalu-lalang.
"Bell…"
"Yof,
maaf ya, gue udah banyak bohongin lo."
"Nggak
papa kok Bell."
"Bell,
gue boleh tahu nggak kenapa lo benci banget sama mama tiri lo?"
Bella
menghelai napas dan menghembuskannya. Kemudian ia kembali menyulut batang rokok
yang masih utuh.
"Sebelas
tahun yang lalu mama gue meninggal. Pas banget setelah ngelahirin adik gue. Gue
sempet benci dan nggak bisa nerima keberadaan adik gue. Gue pikir, mama gue
meninggal gara-gara adik gue. Tapi gue salah. Ada kejadian dimana gue sadar
bahwa bukan adik gue yang harus dipersalahkan atas meninggalnya mama gue.
Kejadiannya tiga tahun yang lalu. Adik gue nangis dipelukan gue gara-gara pas
itu kita lagi nonton acara talk show.
Di acara itu bintang tamunya ngukapin perasaannya ke mamanya. Tiba-tiba adik
gue meluk gue sambil bilang makasih karena udah jadi sosok pengganti ibu buat
dia. Gue trenyuh. Dia yang gue persalahin atas meninggalnya mama gue bilang
seperti itu." Ia berhenti sejenak. Menghisap batang rokoknya. Dan
mengembuskannya dengan santai.
"Terus
papa lo langsung nikah?"
"Enggak.
Papa gue duda selama sembilan tahun. Papa nggak peduli lagi dengan wanita. Yang
dia peduliin cuma gue dan Ardi. Gue rasa memang nggak ada yang bisa gantiin
posisi mama gue di hatinya papa."
Bella
membuang rokoknya yang habis.
"Bell,
lo doyan alkohol nggak?"
"Gue
nggak suka bau alkohol."
"Lo
kenapa suka rokok?
"Papa
gue pernah bilang. Kalo pikirannya lagi panas, biasanya bisa berkurang dengan
merokok."
"Papa
lo tau kalo lo rokok?"
"Enggak.
Papa gue bukan perokok berat. Cuma rokok kalo pikirannya lagi panas."
"Lo
nggak takut ngerusak organ pernapasan lo? Lo kan tau?"
"Justru
itu yang gue pengen. Organ pernapasan
gue rusak, gue sakit dan gue nyusul mama."
"Lo
gila?" Tak sengaja kubentak Bella.
"Lo
cuma nggak tau rasanya jadi gue."
"Kalo
lo pengen nyusul mama lo kenapa lo nggak bunuh diri aja?"
"Gue
nggak bego. Gue tahu orang yang mati bunuh diri nggak bakal masuk surga."
"Emang
lo pikir dengan lo rokok dan organ pernapasan lo rusak sampe lo mati, lo bisa
masuk surga? Nggak Bell!"
"Lo
cuma nggak tau kehidupan gue Yof." Ia memukul dadaku, menarik kaosku dan
tertunduk. Air matanya membasahi bajuku.
Kupegang
kedua pipinya dengan tanganku. Kuangkat wajahnya sehingga mata kami saling
bertemu. Kuhapus air matanya.
"Gue
emang nggak tau gimana kehidupan lo. Jadi cerita ke gue biar gue tau."
Kupeluk tubuh mungilnya. Kubelai rambutnya. Ya Tuhan, aku sangat menyayangi
gadis ini.
"Gue
benci hidup gue Yof."
"Gue
ngerti Bell. (Bahkah setelah ada gue di sini yang lagi meluk lo, Bell. Lo masih
benci hidup lo?)"
"Mama
tiri gue selalu bilang kalo gue ini manja, nggak berguna, nggak tau rasa terima
kasih, gue pokoknya jelek banget di mata mama tiri gue. Gue selalu dibandingin
sama anak kandungnya. Di matanya seolah-olah gue ini manusia paling rendah dan
nggak layak ada. Gue nyesel gue lahir Yofan."
"Gue
tau lo jauh lebih dari yang mama tiri lo tau. (Gue tau lo istimewa dan gue
jatuh cinta sama lo, Bell)"
"Gue
pengen pulang Yof. Tapi gue nggak pengen lihat mama gue."
"Gue
yakin suatu saat lo bakal pulang, Bell. (Lo udah pulang, Bell. Gue tempat hati
lo pulang)"
"Tapi
kapan, Yof?"
"Kapan
pun kalo lo mau."
"Lo mau
temenin gue pulang?"
"Apapun
yang lo mau."
"Makasih
Yof."
"Gue
sayang lo, Bell. Gue jatuh cinta sama lo, Bell."
"Yof?"
"Gue
sayang lo."
Aku peluk
Bella dengan erat sebelum ia sempat berkata apapun.
"Jangan
dijawab. Jangan nolak kalo gue peluk. Gue nyaman meluk lo kayak gini,
Bell."
"Besok
anterin gue pulang ya?"
"Oke."
***
Suatu hari
Diandra mengajakku ketemuan di sebuah restoran. Katanya ada suatu hal yang mau
dia omongkan denganku.
"Din,
lo ngapain ngajak gue ke sini? Kalo mau ngomong kan bisa di rumah."
"Ada
hal yang pengen aku omongin ke kamu dan mama kamu jangan sampai tau."
"Apa,
Din?"
"Kamu
cinta sama gadis yang kemarin di ulang tahun adikku, kan?"
"Bella
maksud lo?"
"Iya."
"Kok lo
bisa mikir gitu?"
"Aku
tau dari cara kamu natap dia."
"Iya,
gue cinta sama Bella."
"Yof,
sebenernya aku kurang apa sih buat kamu?"
"Lo
udah lebih dari cukup, Din. Tapi gue nggak cinta sama lo. Walaupun di mata
orang lain Bella itu gadis yang hidupnya berantakan, tapi dia istimewa. Ada
banyak hal yang gue cinta dari dia. Gue pengen slalu lindungin dia, Din."
"Aku
cinta sama kamu, Yof."
"Gue
tau, Din. Tapi gue nggak ada rasa apa-apa sama lo?"
"Yof,
tatap mataku. Bilang! Apa istimewanya gadis perokok itu?"
"Gue
cinta sama Bella dan lo nggak bakal ngerti karena lo sama sekali nggak ngerti
artinya cinta."
Aku berlalu
meninggalkan Diandra. Kurasa urusanku dengannya sudah selesai.
"Oke
kalo kamu nggak cinta sama aku. Tapi asal kamu tau aja, cintaku ke kamu nggak
kalah besar dengan cintamu ke Bella."
Aku tahu
Diandra terluka. Tapi setidaknya seperti kata Bella, aku tak membohongi diriku
sendiri, Diandra, mama, orang tua Diandra dan Bella.
Bella
akhirnya memintaku untuk mengantarnya pulang ke rumah. Bukan. Bukan pulang.
Tapi hanya berkunjung.
"Yof,
menurut lo gimana ekspresi mama tiri gue pas lihat gue pulang?"
"Mama
lo mesti kaget lihat anak tirinya makin manis. Pulang-pulang bawa calon mantu
lagi."
"Apalagi
mantunya ganteng."
"Apa?
gue nggak denger," goda.
"Nih,
mau gue tonjok?"
"Ampun
neng."
"Yof,
gue mau berhenti rokok."
"Bagus
dong."
"Gue
mau hidup lebih lama sama lo."
"Gue
sayang lo Bell. Jangan pernah pergi ya."
"Kalo
lo nyari gue. Gue akan slalu di sini, Yof," ujarnya seraya menunjuk
dadaku.
Akhirnya
kami sampai di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Namun rumah itu terlihat
begitu sepi.
Kami
melangkah mendekati pintu.
"Lo mau
masuk?" tanyaku pada Bella yang langsung masuk tanpa mengetuk pintu.
"Ya
kenapa? Ini rumah gue, Yof."
Pelan namun
pasti terdengar suara ribut dari dalam rumah.
"Bapak
sama anak sama aja nggak bisa diatur. Keluarga macam apa? Nyesel aku udah nikah
sama kamu."
"Kamu
pikir aku bahagia? Nggak. Aku lebih bahagia hidup bertiga dengan
anak-anakku."
"Ceraikan
aku!"
"Itu
mau kamu?"
Aku tahu itu
suara keributan antara papa dan mama Bella.
"Papaa.."
Bella berlari menghampiri papanya dan memeluk papanya.
"Mutia.."
"Urusin
anak kamu yang bandel itu. Nggak bisa diatur. Nggak tau diri."
"Ma,
selama ini Mutia diem aja kalo mama salahin, mama bentak-bentak. Itu semua
Karena Papa nggak mau Mutia jadi pemberontak. Tapi Mutia capek, Ma. Capek
nyabarin Mama."
"Jadi
ini hasil didikan ibu kandung kamu dan bapak kamu? Dididik buat jadi
pembangkang."
"Cukup
Ma! Mutia bisa diem kalo Mama salahin Mutia. Tapi Mutia nggak terima kalo mama
kandung Muti yang udah tenang di surga Mama jelek-jelekin kayak gini. Mutia
nggak terima. Mama mending pergi dari sini!"
"Berani
kamu ngusir aku? Dasar pembangkang. Anak yang udah rusak moralnya. Udah berani
bawa cowok ke rumah"
"Ini
rumah Mutia. Kamu cuma numpang di sini. Terserah Mutia mau bawa siapa aja ke
sini. Lebih baik cepat beresin barang-barang kamu."
"Ini
untuk kelancangan kamu." Mama tiri Bella, menampar pipi Bella dengan
keras.
Kemudian
mama tiri Bella pergi meninggalkan rumah Bella dengan membawa semua
barang-barangnya.
Kulihat gadis
yang kucinta itu. Pipinya merah karena tamparan mama tirinya. Aku tahu itu
menyakitkan. Bukan tamparannya. Tapi kenyataannya. Kuhampiri dia yang masih
terisak di lantai.
"Bell,
kamu nggak papa."
Belum sempat
menjawab napas Bella tiba-tiba sesak. Dan ia pingsan.
Aku
memandang wajah Bella dengan segala keprihatinan. Ia gadis yang kuat. Aku
semakin kagum padanya. Kugenggam erat tangannya yang dingin dan kubelai
rambutnya. Berharap dia cepat sadar.
Semenit, dua
menit sampai hampir setengah jam aku
menunggu Bella sadar dengan segala kerisauan yang memenuhi pikiran sehingga tak
menyisakan ruang untuk firasat yang lain.
"Yofan.."
panggilnya lirih dengan suaranya yang tetap terdengar merdu walaupun kini
sedikit serak nyaris tak terdengar. Setidaknya suara serak itu mampu mengusir
segala kerisauan yang bersemanyam di pikiranku selama setengah jam terakhir
ini.
"Papa.."
panggilnya lagi. Papa Bella segera mendekat dan aku dengan segala kepekaanku
mundur member ruang untuk ayah dan anak ini.
"Pa,
maafin Mutia."
"Mutia
nggak salah. Papa yang salah. Papa udah tergila-gila dengan mama tirimu. Maafin
Papa. Papa udah salah milihin sosok pengganti mama buat kamu."
"Papa
nggak salah."
Aku
melihatnya sedikit terharu. Sekuat-kuatnya aku untuk berpura-pura bahwa aku tak
peduli dengan apa yang telah aku hadapi, tapi kerinduan pada Almarhum papaku
terkadang datang tiba-tiba. Menyerangku tanpa ampun. Membuatku meringkuh lemah
terpojokkan oleh kerinduan itu.
***
"Yof,
gue udah nggak kuat. Berhenti dulu dong," pinta Bella padaku di suatu pagi
yang cerah ketika kami sedang lari pagi.
"Ya
Bell, lo musti kuat dong."
"Dada
gue sesek, Yof."
"Lo
nggak papa?" Kami berhenti. Aku mengajak Bella duduk di bangku pinggir
jalan yang kami lalui.
"Akhir-akhir
ini dada gue sering sakit."
"Yaudah
minum dulu." Aku memberikan sebotol air mineral untuk Bella. Setelah
beristirahat, napasnya kembali normal. Tapi tak senormal biasanya.
"Yof,
kapan lo nikahin gue?"
"Nikah?"
tanyaku terkejut.
"Gue
nggak mau lama-lama pacaran."
"Ya
tapi kita kan masih muda, Bell."
"Justru
itu…"
"Gue
nggak bisa."
"Nggak
bisa nikahin gue?"
"Bukan.
Gue nggak bisa nikahin lo secepet itu."
"Kenapa
enggak?"
"Kita
masih muda, Bell."
"Terus
kalau kita masih muda, apa salahnya nikah muda?"
"Gue
belum siap."
"Gue
nggak bisa nunggu lama sampai lo siap, Yof."
"Apa
maksudnya? Lo hamil?"
"Yof!!!"
"Apa?"
Setetes air
mata menetes di pipi Bella. Entah karena lelah atau apa hingga akhirnya ego
kami saling memuncak dan pertengkaran pun tak terhindarkan.
Bella lantas
pergi tanpa sepatah katapun dengan air mata yang mengalir semakin deras. Aku
tak mengejarnya. Karena jujur dalam hati aku masih tak mengerti kemauan Bella.
***
Sudah hampir
seminggu tiada kabar dari Bella. Terakhir kami bertemu adalah saat kami lari
bersama dan terjadi pertengkaran karena ego kami yang tinggi. Meskipun kucoba
untuk menghubunginya berkali-kali tapi tak ada jawaban darinya.
Akhirnya
kuputuskan untuk mengunjungi rumahnya, rumah papanya. Karena setelah kepergian
mama tirinya Bella dan Ardi kembali ke rumah papanya.
Sampai di
depan pintu, kuketuk pintu perlahan. Derap langkah kaki mendekati pintu dan
pintu pun terbuka.
"Ardi.."
"Mas
Yofan.."
"Mutia
mana?"
"Emmm.,
Kakak.."
"Siapa,
Di?" Suara laki-laki terdengar dari dalam rumah dan muncullah papa Bella.
"Om.."
kataku.
"Temannya
Mutia? Di, kamu masuk." Ardi pun meninggalkan aku berdua dengan papanya.
"Om,
Mutia kemana? Kenapa ponselnya tidak aktif?"
"Mutia
anak yang baik. Dia manis dan periang. Tak seorang pun bisa menebak isi
hatinya. Karena ia begitu handal menyembunyikan perasaannya. Dia memendam
apapun sendiri bahkan penyakitnya."
"Mutia
sakit apa, Om?"
"Dia
terkena kanker paru-paru karena kebiasaannya merokok. Seandainya saya bisa
menjadi papa yang baik. Seandaina saya tak pernah bilang bahwa merokok itu
dapat menenangkan pikiran."
"Sekarang
Mutia dimana, Om?"
"Ayo
ikut saya."
Aku dibawa
papa Bella ke sebuah rumah sakit tak jauh dari rumah Bella. Sesampainya di
rumah sakit, kami melewati berbagai macam ruangan. Kulihat wanita-wanita
berpakaian putih mendorong seorang jenazah yang ditutup kain putih. Sungguhpun
kematian sangat dekat dengan kita.
Kami
memasuki sebuah ruangan. Seorang gadis terbaring di sana, di sebuah ranjang
rumah sakit. Di atas perutnya ada sebuah foto. Kudekati dengan langkah gontai.
Kugenggam tangannya. Kuambil dan kulihat foto yang tadi di perutnya. Seorang
laki-laki tersenyum di foto itu. Itu adalah fotoku.
"Bella.."
Gadis itu
terbangun oleh suaraku. Padahal volume suaraku kucoba untuk seminim mungkin.
Bella
tersenyum melihatku. Di tangannya melekat selang infus sementara di hidung dan
mulutnya melekat pula masker oksigen. Ada sebuah komputer yang menunjukkan
aktivitas jantungnya. Aku tak mengerti soal semua itu. Yang kutahu, gadis yang
kucinta kini terbaring lemah, tersenyum menatapku. Dan setetes air mata
mengalir dari sudut matanya.
Ada sebuah
surat di tangannya yang sengaja ia siapkan di samping tubuhnya. Ia memberikan
surat itu. Sodoran lemah dari tangannya itu membuatku semakin tersiksa hanya
dengan melihatnya. Aku tahu dia kesakitan.
Kuterima surat
itu dan kubaca.
Yofan yang kusayang,
Maaf lagi karena aku menyembunyikan
ini semua dari kamu. Sungguhpun tak ada yang ingin kusembunyikan darimu. Aku
hanya tak sanggup berkata jujur padamu. Aku takut mengecewakanmu. Aku takut kau
meninggalkanku. Tapi ada hal yang lebih kutakutkan. Aku takut kau terlalu
mengkhawatirkanku.
Sayang,
Aku tahu cepat atau lambat kebenaran
akan terungkap. Oleh karena itu, telah kusiapkan surat ini jauh-jauh hari
dimana saat itu tanganku masih kuat untuk menulis tulisan yang layak kau baca.
Aku hanya tak ingin kau kesusahan membaca suratku karena tulisanku jelek. Aku
beruntung karena sehari setelah aku menulis surat ini tanganku lumpuh.
Yofan,
Jujur akumasih sakit hati di hari
terakhir kita bertemu. Kau ingat aku meminta kau menikahiku? Kubilang bahwa aku
tak bisa menunggu sampai kau siap. Dan kau tuduh bahwa aku hamil. Aku tak habis
pikir bahwa kau akan setega itu menuduhku. Kau tahu alasanku memintamu untuk
cepat-cepat menikahiku? Itu karena mungkin umurku tak mau menunggu lama lagi. Tapi
jika permintaanku terlalu berlebihan, tak masalah jika kau menolak. Maafkan aku
yang berani memintamu untuk melakukan ini.
Sayang,
Aku dulu memang membenci hidupku.
Tapi setelah bertemu denganmu, aku jatuh cinta kepadamu. Hal ini juga membuatku
jatuh cinta pada hidupku. Namun saat aku mulai mencintai hidupku, agaknya Tuhan
tak menginginkan aku banyak merepotkanmu dengan adanya aku di sisimu. Hingga
akhirnya aku sadar aku mulai lemah dan sebentar lagi aku akan benar-benar
pulang. Akan kuminta pada Tuhan agar senantiasa menjagamu dan orang-orang yang
kusayangi.
Maafkan aku terlalu banyak menulis
dan membuatmu terlalu lama membaca suratku yang menurutku pendek tapi mungkin
orang lain menilainya panjang. Itu semua karena ada banyak hal yang ingin aku
ceritakan padamu. Segalanya, mulai dari rahasiaku yang malas mandi hingga
rahasia-rahasia kecil dan besar yang aku punya dan belum kau ketahui. Tapi
sayang, waktuku tak cukup banyak untuk membagi semua itu padamu.
Berjanjilah untuk tetap mengingatku
saat aku tiada nanti. Berjanjilah untuk menjauhi hal-hal yang tak kausukai.
Sayang,
Aku pernah bermimpi untuk menjadi
istrimu, Ny. Yofan, mendidik anak-anak kita. Tapi sayang, aku sadar mungkin aku
terlalu banyak meminta dan aku yakin permintaanku ini tak akan Tuhan penuhi.
Mungkin stok permintaanku yang harus Tuhan penuhi telah habis. Hingga apapun
doaku terasa mustahil untuk terwujud. Bukan aku meremehkan kekuatan Tuhan. Tapi
mungkin karena aku sudah tak layak lagi untuk meminta lebih.
Ketahuilah aku sangat mencintaimu.
Aku ingin hidup bersamamu dan tumbuh tua dalam pelukanmu.you're my endless
love.
A girl who want to be your wife,
Mutiabella Putri Renaldi.
Surat yang
ditulis Bella itu semakin membuatku tersiksa. Setelah kuketahui bahwa gadis
yang kucintai menahan rasa sakit, kini kuketahui juga bahwa mimpinya hanya akan
jadi permintaan yang mustahil kepada Tuhan.
Aku tak lagi
mempedulikan bagaimana hancurnya hatiku. Tapi yang kutahu dan yang kupedulikan
hanya perasaan Bella yang mungkin berjuta kali lipat lebih hancur dari pada
perasaanku. Aku ingin memeluknya, merengkuhnya dan membawanya ke dunia dimana
kami dapat hidup abadi di dalamnya.
"Aku
berjanji besok akan mendatangkan penghulu. Tak perlu gaun dan make up, kau akan tetap jadi the most beautiful queen I ever seen."
***
Semua
persiapan pernikahan telah siap. Tak ada yang istimewa. Aku pun tak memakai jas
seperti yang biasa dikenakan mempelai pria. Dengan segala kerendahan hati
kuminta mamaku untuk merestui pernikahanku ini. akhirnya mama tak mempunyai pilihan
lain selain merestuiku.
Diperjalanan
tak ada halangan apapun. Sejauh ini masih baik-baik saja. Aku tak sabar
sebentar lagi akan menikahi gadis yang kucintai. Gadis yang selalu ingin
kulindungi. Aku berjanji akan menjadi yang terkuat untuknya walaupun aku tak
cukup kuat.
Tiba di
depan pintu ruangan tempat Bella dirawat kudengan suara papa Bella sedang
menangis. Tanpa berpikir panjang segera kuhampiri Bella yang terbaring dengan
alat-alat medis yang sudah dilepas dari tubuhnya. Ada beberapa suster dan
seorang dokter di sana.
"Apa
yang terjadi, Om?" tanyaku pada papa Bella. Tapi tak ada jawaban.
"Dok,
apa yang terjadi?" tanyaku pada dokter. Aku semakin panik karena doketr
menundukkan kepalanya.
"Mutia
telah tiada."
Seketika
dadaku sesak. Sama sesaknya saat kudengar bahwa papaku meninggal dulu. Terasa
seperti langit runtuh menimpaku dan tak memberiku kesempatan untuk bernapas.
Saat detik
dimana seharusnya Bella resmi kupinang. Tapi dia harus pulang disaat itu juga.
Meninggalkan segala kepedihan karena kenyataannya aku harus kehilangan wanita
yang ingin selalu kulindungi. Mata yang indah yang biasanya aku kagumi kini
tertutup rapat. Apa yang bisa kuperbuat?
Kadang hidup
memang seperti tak adil. Sepedih apapun itu, Tuhan punya rencana yang lebih
baik. Aku mencintai gadis yang membenci hidupnya. Kemudian merubahnya menjadi
cinta kepada hidupnya. Dia mencintai hidupnya disaat hidupnya tak lama lagi.
0 komentar:
Posting Komentar