Share
9:51:00 PM

Gadis yang Membenci Hidupnya





"Ma, Yofan…"
"Cukup Yofan! Mama nggak mau denger lagi alasan kamu nolak Diandra. Ini amanah dari papa kamu sebelum meninggal."

"Tapi Yofan nggak cinta sama Diandra, Ma."
"Diandra baik sekali, Yofan. Kamu tahu itu. Itu udah alasan yang lebih dari cukup untuk kamu mencintai dia."
"Ma, Yofan ngerti. Tapi Yofan udah anggap Diandra sebagai adik Yofan sendiri. Dari kecil kami udah sering bareng-bareng."
"Iya makanya, kalian udah saling mengenal sifat masing-masing kan?"
"Maaa…"
Akhirnya aku menyerah dengan segala argumen mama. Dari dulu aku memang tak pernah menang jika berargumen dengan mama. Apalagi untuk hal Diandra kali ini. Mama lebih ngotot dari biasanya. Sepertinya Mama mengeluarkan segala jurusnya untuk menakhlukkan argumenku. Dan aku benci ini.
Dari kecil aku memang orang yang tak suka diatur. Tapi semenjak papa meninggal, aku selalu menuruti kehendak mama. Salah satu pesan papa sebelum meninggal adalah untuk nurut sama mama.
"Yofan, kamu tahu? Dari dulu Papa selalu mencintai mamamu. Kamu tahu, bagi Papa, mamamu adalah anugrah terindah. Papa selalu berusaha menjaga dia dan menyayangi dia. Tak pernah sedikit pun ada niat di hati Papa untuk menyakiti perasaannya. Karenanya kamu ada. Papa pesan sama kamu, jangan pernah kecewakan wanita yang paling Papa sayangi. Kamu bisa berjanji?"
Pesan itu seolah selalu menempel pada ingatanku. Karena janji itu, aku jadi mengesampingkan segala keinginanku yang bertolak-belakang dengan keinginan mama. Tapi kali ini, untuk masalah Diandra, aku nggak bisa nurutin mama.
"Ma, Mama cinta sama papa, kan?"
"Mama sangat mencintai papamu, kamu tahu itu."
"Mama bahagia hidup sama papa?"
"Mama sangat bahagia, Yofan."
"Ma, bagaimana aku nanti bisa bahagia bersama Diandra jika aku sama sekali tak mencintai Diandra?" jurus terakhirku pun akhirnya keluar.
"Kamu inget Yofan, kamu pernah janji sama Diandra kalau kamu akan jagain dia?"
"Ma, aku ingat. Tapi bukan berarti aku harus menikah sama Diandra, kan?"
"Yofan, Mama capek." Ucapan itu seolah jadi kata penutup dari argumen mama yang membuatku tersayat. Aku merasa bahwa aku tak berbakti. Kata itu… Itu artinya mama kecewa denganku.
Aku berlalu meninggalkan mama. Aku tak tahu kenapa mama begitu terobsesi untuk menjodohkanku dengan Diandra.
Aku mengendarai motorku keluar dari kompleks rumahku menuju jalan raya. Dalam pikiranku berkecamuk berbagai masalah. Janjiku pada Diandra waktu kecil, janjiku pada papa, permintaan mama dan keinginan hatiku sendiri.
Sampai di sebuah jalan, aku meminggirkan motorku di sebuah kedai bakso. Aku memang penggemar berat bakso. Seperti mamaku. Sial! Aku jadi teringat permintaan mama.
Setelah memesan satu porsi bakso, aku memilih tempat duduk di bagian yang pojok, jauh dari keramaian pengunjung lainnya.
Aku baru saja akan duduk, seseorang telah menabrak motorku yang terparkir di tepi jalan. Nampaknya, dia juga ingin parkir di sini. Aku pun menghampirinya yang dimarahi orang-orang yang sedang nongkrong di kedai kopi sebelah.
Aku membantunya yang kelihatan keberatan mengangkat motorku.
"Makasih Mas. Saya bisa sendiri kok."
"Udah deh, nggak usah gengsi. Gue tau kok motor ini berat."
"Iya tapi gue bisa!"
"Udah," kataku sambil memeriksa motorku.
"Udah gue bilang, gue bisa," gerutunya.
"Untung nggak ada yang lecet."
"Ini motor lo?" tanyanya terkejut.
"Menurut lo?"
"Maafin gue ya? Gue nggak sengaja, sumpah. Lagian nggak ada yang lecet kan? Nggak perlu ganti rugi dong."
"Takut banget lo gue suruh ganti rugi," ledekku.
"Nggak gitu, tapi di dompet gue  cuma ada duit biruan selembar doang. Kan nggak cukup buat ganti rugi."
"Yaudah kalo gitu gue yang traktir lo?"
"Lho? Kok?"
"Biar duit lo utuh. Jaga-jaga kalo lo nanti nabrak orang lain lagi, kan biar buat ganti rugi."
"Sialan! Lo doain gue nabrak orang lagi?" Gadis yang tak kutahu namanya ini memasang muka cemberutnya yang menurutku sangat imut.
"Nggak lah. Bercanda gue."
"Gue tau weee," ejeknya sambil menjulurkan lidahnya.
Akhirnya aku, dengan gadis yang tak kutahu namanya menuju meja yang tadi sudah kupilih.
"Kok milih di pojok sih? Suka mojok ya lo?" candanya.
"Nggak lah. Gue nggak suka keramaian."
"Kok lo ngajakin gue kalo lo nggak suka ramai?"
"Kadang gue bosen kesendirian."
"Bilang aja lo pengen gue temenin."
"Ih, enggak. Btw, nama lo siapa?"
"Gue Bella."
"Cantik banget nama lo. Beda sama orangnya,"ejekku.  Sebenarnya gadis ini sangat manis. Tapi penampilannya sedikit berantakan. Ia memakai celana jeans ketat dengan kaos oblong yang sedikit kebesaran di tubuhnya yang mungil. Rambutnya yang panjangnya sebahu dan tak terlalu lebat berwarna hitam kecoklatan dikuncir seadanya. Tapi ia manis. Kesan pertamaku padanya, aku tertarik dengan gadis ini.
"Bokap gue bilang gue manis weee." Lidahnya kembali terjulur. Sungguh, dia sangat manis dengan penampilannya yang seadanya dan sikapnya yang tak dibuat-buat.
"Kan biar lo seneng. Oh ya, kenalin gue Yofan."
"Dan lo nggak pengen nyenengin gue gitu?"
"Ogah." Jujur aku pengen banget bahagiain dia, gadis unik yang baru kutemui tadi.
Aku dan Bella semakin akrab. Kami juga sempat bertukar pin BBM. Kesan pertamaku padanya adalah, aku kagum padanya. Gadis yang penampilannya sedikit berantakan, aku suka celetukkannya.
"Lo mau  langsung pulang, Bell?" tanyaku setelah kami selesai menghabiskan bakso.
"Gue biasanya jalan-jalan dulu."
"Emang nggak dicariin orang tua lo? Lo kan cewek."
"Mereka nggak bakal nyariin gue kok."
"Lo kan nggak tau kalo mereka khawatir sama lo."
"Lo udah mirip tante gue ya. Ngomongnya selalu gitu."
"Ya gue cuma nggak mau lo bikin orag tua lo khawatir."
"Mereka nggak bakal nyariin gue sampai mereka denger gue udah mati," ujarnya santai sambil menyulut rokok. Seperti ada emosi yang tertahan ketika dia mengatakannya.
"Bell, lo rokok?" Aku terkejut melihatnya merokok. Gadis seimut dia, periang. Seperti mimpi saja.
"Mau?" tawarnya.
"Gue nggak pernah rokok."
"Maaf."
Ia menikmati rokoknya, sementara aku hanya melihatnya dengan prihatin. Kutatap matanya yang seolah-olah menghindari tatapan mataku. Aku menyayangkan, gadis imut yang memberikan kesan pertama yang membuatku tertarik, kini dengan tanpa malu merokok di depan umum.
Tapi setiap aku menilik ke dalam matanya. Ada keresahan, kebencian, dan ketakutan yang aku tangkap. Aku penasaran dengan kehidupan gadis ini. Tapi aku baru saja mengenalnya. Tak mungkin aku bertanya-tanya tentang kehidupannya.
Hari demi hari aku dan Bella semakin akrab. Aku semakin penasaran dengan kehidupannya. Kini aku tahu bahwa ia tak tinggal lagi dengan orang tuanya. Katanya orang tuanya tinggal di Semarang. Sementara ia di Jakarta tinggal di tempat kos. Ia juga masih kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta.
Tak bisa kupungkiri bahwa aku merindukannya. Rindu penampilannya yang berantakan. Rindu wajahnya yang imut. Rindu celetukkannya. Dan matanya yang sayu yang tersimpan sejuta kisah yang tak bisa kubongkar.
Hari ini aku ada janji dengan Bella di sebuah kedai es krim. Tak ada yang kuistimewakan dari penampilanku. Aku tahu dia menyukai orang yang berpenampilan sederhana.
Sesampainya di tempat yang kami janjikan, aku belum melihat wajahnya di segala sudut kedai es krim itu. Aku pun memilih tempat duduk yang lagi-lagi jauh dari keramaian.
Tak berapa lama, kulihat juga gadis yang penampilannya tak jauh beda dari yang kutemui sebelumnya. Ia berlari kearahku dengan wajah yang dipenuhi peluh keringan.
"Maaf, gue telat." Napasnya masih terburu-buru.
"Lo nggak bawa motor?"
"Lagi dibawa adik gue."
"Cie, kakak yang baik. Duduk dulu"
"Oke. Udah lama nungguin?"
"Nggak sih."
Napasnya masih terburu-buru. Aku kasihan melihatnya.
"Makanya nggak usah rokok. Akibatnya napas lo jadi pendek gini kan?"
Ia menatapku dengan tatapan yang membuatku takut.
"Kalo lo ngajak gue ke sini cuma mau nasihatin gue supaya gue berhenti rokok, mending gue nggak usah datang kesini." Kali ini kata-katanya serius. Ia memang marah.
"Lo jangan salah paham. Kalo lo nggak suka gue bilang gitu, yaudah gue minta maaf."
"Ini nggak masalah paham atau nggak. Gue nggak suka orang lain nyampurin kehidupan gue dan ngomentarin hidup gue seenaknya."
"Iya, Bell. Gue minta maaf."
"Yaudah, jangan kayak gitu lagi."
Suasana kembali cair. Satu hal lagi yang kukagumi dari Bella. Ia orang yang mudah memaafkan dan tidak larut dalam amarah. Aku semakin kagum pada gadis yang mengkonsumsi barang yang tidak kusuka.
***
Hari itu Diandra datang ke rumahku. Gadis cantik nan anggun ini, aku menyayanginya sebagai sahabat. Aku tak mungkin bisa menikah dengannya.
"Yofan, kamu baru bangun?" tanya Diandra yang sedang mengobrol dengan mama ketika melihatku keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan dan celana kolor dan telanjang dada.
"Iya. Tadi malem habis nongkrong sama temen-temen. Tumben pagi-pagi ke sini, Din?"
"Mau nganterin undangan ulang tahun adikku. Datang ya, besok malam."
"Iya, pasti. Gue mandi dulu ya Din."
Hari ulang tahun adik Diandra pun datang.  Malam itu Diandra menjempuku dan Mama karena mobilku sedang di bengkel. Sampai di depan rumah Diandra, nuansa party sudah sangat terasa. Begitu turun dari mobil Diandra, aku melihat Bella sedang mengantar seorang anak laki-laki. Mungkin itu adiknya.
"Hai, Bell!" kataku seraya menghampirinya.
"Hai Yof, kok lo di sini?"
"Jadi orang tua yang lagi ulang tahun itu temennya mama gue. Jadi gue diundang."
"Siapa Yof?" tanya Diandra yang tiba-tiba menghampiriku dan Bella kemudian menggandeng tanganku.
"Oh, ini Bella. Temen gue, Din. Bel, kenalin ini Diandra, kakak dari  yang lagi ulang tahun."
"Bella." Bella memperkenalkan diri.
"Diandra, tunangannya Yofan," Diandra memperkenalkan diri.
Aku terkejut Diandra mengaku bahwa ia adalah tunanganku.
"Oh ya Bell, lo ke sini nganterin siapa?"
"Nganterin adik gue Yof."
"Ngobrol dulu yuk," ajakku pada Bella.
"Tapi acaranya…" Diandra menyela.
"Nanti kalo udah mau potong kue gue bakal nyusul kok, Din."
Akhirnya Diandra meninggalkan aku dan Bella berdua. Bella kembali mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Ia menghisap rokok itu dengan nikmatnya. Wajahnya tersenyum memandang langit malam. Senyumnya itu, aku menemukan kedamainan. Tapi setiap aku malihat matanya, yang dapat kutangkap hanya kesedihan dan ketakukan.
"Jadi lo udah tunangan ya Yof? Lo kok nggak pernah cerita?" tanyanya sambil tersenyum padaku.
"Gue terpaksa Bell."
"Kalo terpaksa kenapa sampai tunangan?"
"Mama gue yang ngatur."
"Terus lo nurut aja gitu?"
"Gue udah janji sama papa gue sebelum beliau meninggal. Gue janji nggak bakal ngecewain mama gue."
"Haha… Pengecut lo."
Aku kembali terkejut. Aku menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
"Gue nggak mungkin ngecewain mama gue, Bell."
" Terus lo bohongin diri lo sendiri, lo bohongin mama lo, lo bohongin Diandra. Pengecut! Lo nggak mikir gimana kalo kalian udah nikah, kalian punya anak. Dan anak kalian tau bahwa papa dan mamanya nggak pernah saling mencintai. Lo mikir dong gimana rasanya jadi anak lo. Terus lo cerai, lo nyakitik Diandra, anak lo, mama lo, orang tua Diandra dan lo nyakitik diri lo sendiri. Lo sadar dong."
"Gue sayang sama mama gue."
"Tapi lo bukan boneka mama lo! Lo punya otak, lo punya nyawa. Ini kehidupan lo, Yofan."
"Lo nggak pernah sayang sama mama lo ya? Makanya lo seenaknya ngomong gitu," kataku dengan emosi.
Bella membuang rokok dan menginjaknya. Kemudian ia kembali menyulut rokok yang masih utuh. Menghisap dengan penuh kenikmatan.
"Kalo mama gue nggak pernah suka sama keberadaan gue, ngapain gue musti sayang sama dia?" tanyanya dengan nada santai.
"Nggak ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya. Apalagi ibu yang ngelahirin lo, Bell." Nadaku kembali pelan. Aku tak tega membentak gadis yang kini ada di hadapanku.
"Dia nggak ngelahirin gue. Ibu kandung gue udah meninggal." Sesaat dia memangdangku. Kemudian ia menghisap lagi rokoknya dan menghembuskannya dengan hembusan putus asa. Matanya memandang ribuan bintang yang berlomba-lomba memancarkan cahayanya.
Aku tak menyangka. Gadis yang kukagumi karena sikapnya yang periang, ternyata mempunyai kehidupan yang pedih. Kini aku tahu, setiap aku menatap matanya, kesedihan yang kulihat itu kini sudah kuketahui alasannya. Tapi ketakutan yang kutangkap itu, aku masih penasaran.
"Yofan, acara potong kuenya udah mau mulai." Mama tia-tiba muncul di sampingku.
"Iya Ma. Bell, pulangnya hati-hati ya," ucapku.
"Siapa Yof?" tanya mama.
"Ini Bella Ma, temennya Yofan."
"Halo Tante, saya Bella." Bella membuang rokoknya dan mengulurkan tangan pada mama.
"Maaf, saya nggak pengen tangan saya jadi bau rokok," jawab mama tanpa menyambut uluran tangan Bella.
"Oh, maaf Tante, saya nggak bermaksud seperti itu," katanya sambil tersenyum ramah dan menurunkan tangannya.
"Yofan, kalo nyari temen itu yang baik. Cewek baik-baik nggak mungkin rokok," ujar mama seraya masuk ke dalam
"Bell, maafin mama gue ya. Dia memang nggak suka perokok."
"Iya, gue ngerti kok. Gue pulang dulu ya"
"Hati-hati ya. Maaf buat yang tadi."
"Nggak masalah kok."
Semakin hari aku makin yakin bahwa perasaanku ke Bella bukan lagi perasaan kagum ataupun tertarik. Kurasa, aku jatuh cinta padanya. Berhari-hari aku bimbang antara menyatakan perasaanku pada Bella, tak peduli apakah Bella senang atau tidak. Atau membiarkan perasaan ini terpendam dan menyiksa batinku, membohongi Bella, mama, Diandra, dan diriku sendiri.
Akhirnya, kuputuskan bahwa aku akan menyatakan perasaanku padanya apapun hasilnya. Kami pun membuat janji di sebuah restoran. Bella sudah menunggu di sana.
"Hai Bell."
"Eh, Yof. Aku nggak telat kan?"
"Nggak kok."
"Lo ngapain ngajakin gue ke sini?"
"Nggak papa. Gue laper, pengen makan di sini. (Gue gugup Bell)"
"Yaelah. Gitu doang?"
"Iya. Weeee (Nggak Bell, ada yang mau gue omongin)"
Aku masih dilanda rasa gugup. Aku janji setelah hidangan habis, aku akan mengatakan perasaanku yang sebenarnya pada Bella.
"Mutia." Tiba-tiba datang seorang laki-laki paruh baya menghampiri kami dan menyebut Bella dengan panggilan Mutia.
"Papa" Bella sangat terkejut melihat laki-laki yang dihadapannya.
"Mutia?" tanyaku kebingungan.
"Nanti gue jelasin Yof."
"Papa kok di sini?"
"Iya, mamamu minta dibeliin makanan di sini."
"Kok mama nggak ikut?"
"Duduk dulu om," sahutku.
"Iya makasih, Nak.."
"Saya Yofan, Om."
"Saya Renaldi, papanya Mutia."
"Jadi Bella itu?" tanyaku kebingungan.
"Jadi nama gue Mutiabella Putri Renaldi," sahut Bella dengan senyum manisnya.
"Rese ya lu Mut," kataku sambil menarik rambut Bella.
"Gue kan juga Bella. Weeee," katanya sambil menjulurkan lidahnya. Manisnya…
"Ardi mana?" tanya papa Bella.
"Lagi di rumah kok ,Pa. Dia baik-baik aja. Jadi mama kemana?"
"Lagi di rumah."
"Papa kenapa masih mau sih di suruh-suruh kayak gitu?"
"Papa cuma menjalankan kewajiban sebagai seorang suami."
"Pa, itu bukan tugas suami. Papa itu udah dijadiin bonekanya mama."
"Selama Papa baik-baik aja nggak masalah kok Mut."
"Pa, Mutia nggak mau mama ngelakuin seenaknya ke papa."
"Papa tahu Mut. Tapi Papa bisa tanganin mama kamu kok. Kamu pulang ya."
"Mutia nggak mau pulang."
"Kamu nggak kangen Papa?"
"Pa…" Setetes air mata menetes dari pipi gadis imut itu. Disusul dengan tetesan berikutnya. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Rasanya aku tak sanggup melihat gadis yang kucintai menangis.
"Kalo nggak kangen Papa, nggak masalah kok. Tapi kalo kangen rumah, pulang ya. Yaudah, kalo kamu dan Ardi baik-baik aja. Papa pulang dulu."
"Pa, Mutia kangen sama Papa. Tapi Mutia nggak bisa pulang selama mama masih ada di rumah." Gadis itu memeluk papanya dengan erat.
"Baik-baik ya… Papa pasti selalu nunggu kamu."
Akhirnya aku mengurungkan niatku untuk menyatakan perasaanku pada Bella. Aku rasa, waktunya kurang tepat. Aku takut merusak suasana hati Bella. Akhirnya aku mengajaknya jalan-jalan menyusuri jalan kota. Kami berhenti di sebuah jalan layang. Melihat berbagai kendaraan berlalu-lalang.
"Bell…"
"Yof, maaf ya, gue udah banyak bohongin lo."
"Nggak papa kok Bell."
"Bell, gue boleh tahu nggak kenapa lo benci banget sama mama tiri lo?"
Bella menghelai napas dan menghembuskannya. Kemudian ia kembali menyulut batang rokok yang masih utuh.
"Sebelas tahun yang lalu mama gue meninggal. Pas banget setelah ngelahirin adik gue. Gue sempet benci dan nggak bisa nerima keberadaan adik gue. Gue pikir, mama gue meninggal gara-gara adik gue. Tapi gue salah. Ada kejadian dimana gue sadar bahwa bukan adik gue yang harus dipersalahkan atas meninggalnya mama gue. Kejadiannya tiga tahun yang lalu. Adik gue nangis dipelukan gue gara-gara pas itu kita lagi nonton acara talk show. Di acara itu bintang tamunya ngukapin perasaannya ke mamanya. Tiba-tiba adik gue meluk gue sambil bilang makasih karena udah jadi sosok pengganti ibu buat dia. Gue trenyuh. Dia yang gue persalahin atas meninggalnya mama gue bilang seperti itu." Ia berhenti sejenak. Menghisap batang rokoknya. Dan mengembuskannya dengan santai.
"Terus papa lo langsung nikah?"
"Enggak. Papa gue duda selama sembilan tahun. Papa nggak peduli lagi dengan wanita. Yang dia peduliin cuma gue dan Ardi. Gue rasa memang nggak ada yang bisa gantiin posisi mama gue di hatinya papa."
Bella membuang rokoknya yang habis.
"Bell, lo doyan alkohol nggak?"
"Gue nggak suka bau alkohol."
"Lo kenapa suka rokok?
"Papa gue pernah bilang. Kalo pikirannya lagi panas, biasanya bisa berkurang dengan merokok."
"Papa lo tau kalo lo rokok?"
"Enggak. Papa gue bukan perokok berat. Cuma rokok kalo pikirannya lagi panas."
"Lo nggak takut ngerusak organ pernapasan lo? Lo kan tau?"
"Justru itu yang gue pengen. Organ pernapasan  gue rusak, gue sakit dan gue nyusul mama."
"Lo gila?" Tak sengaja kubentak Bella.
"Lo cuma nggak tau rasanya jadi gue."
"Kalo lo pengen nyusul mama lo kenapa lo nggak bunuh diri aja?"
"Gue nggak bego. Gue tahu orang yang mati bunuh diri nggak bakal masuk surga."
"Emang lo pikir dengan lo rokok dan organ pernapasan lo rusak sampe lo mati, lo bisa masuk surga? Nggak Bell!"
"Lo cuma nggak tau kehidupan gue Yof." Ia memukul dadaku, menarik kaosku dan tertunduk. Air matanya membasahi bajuku.
Kupegang kedua pipinya dengan tanganku. Kuangkat wajahnya sehingga mata kami saling bertemu. Kuhapus air matanya.
"Gue emang nggak tau gimana kehidupan lo. Jadi cerita ke gue biar gue tau." Kupeluk tubuh mungilnya. Kubelai rambutnya. Ya Tuhan, aku sangat menyayangi gadis ini.
"Gue benci hidup gue Yof."
"Gue ngerti Bell. (Bahkah setelah ada gue di sini yang lagi meluk lo, Bell. Lo masih benci hidup lo?)"
"Mama tiri gue selalu bilang kalo gue ini manja, nggak berguna, nggak tau rasa terima kasih, gue pokoknya jelek banget di mata mama tiri gue. Gue selalu dibandingin sama anak kandungnya. Di matanya seolah-olah gue ini manusia paling rendah dan nggak layak ada. Gue nyesel gue lahir Yofan."
"Gue tau lo jauh lebih dari yang mama tiri lo tau. (Gue tau lo istimewa dan gue jatuh cinta sama lo, Bell)"
"Gue pengen pulang Yof. Tapi gue nggak pengen lihat mama gue."
"Gue yakin suatu saat lo bakal pulang, Bell. (Lo udah pulang, Bell. Gue tempat hati lo pulang)"
"Tapi kapan, Yof?"
"Kapan pun kalo lo mau."
"Lo mau temenin gue pulang?"
"Apapun yang lo mau."
"Makasih Yof."
"Gue sayang lo, Bell. Gue jatuh cinta sama lo, Bell."
"Yof?"
"Gue sayang lo."
Aku peluk Bella dengan erat sebelum ia sempat berkata apapun.
"Jangan dijawab. Jangan nolak kalo gue peluk. Gue nyaman meluk lo kayak gini, Bell."
"Besok anterin gue pulang ya?"
"Oke."
***
Suatu hari Diandra mengajakku ketemuan di sebuah restoran. Katanya ada suatu hal yang mau dia omongkan denganku.
"Din, lo ngapain ngajak gue ke sini? Kalo mau ngomong kan bisa di rumah."
"Ada hal yang pengen aku omongin ke kamu dan mama kamu jangan sampai tau."
"Apa, Din?"
"Kamu cinta sama gadis yang kemarin di ulang tahun adikku, kan?"
"Bella maksud lo?"
"Iya."
"Kok lo bisa mikir gitu?"
"Aku tau dari cara kamu natap dia."
"Iya, gue cinta sama Bella."
"Yof, sebenernya aku kurang apa sih buat kamu?"
"Lo udah lebih dari cukup, Din. Tapi gue nggak cinta sama lo. Walaupun di mata orang lain Bella itu gadis yang hidupnya berantakan, tapi dia istimewa. Ada banyak hal yang gue cinta dari dia. Gue pengen slalu lindungin dia, Din."
"Aku cinta sama kamu, Yof."
"Gue tau, Din. Tapi gue nggak ada rasa apa-apa sama lo?"
"Yof, tatap mataku. Bilang! Apa istimewanya gadis perokok itu?"
"Gue cinta sama Bella dan lo nggak bakal ngerti karena lo sama sekali nggak ngerti artinya cinta."
Aku berlalu meninggalkan Diandra. Kurasa urusanku dengannya sudah selesai.
"Oke kalo kamu nggak cinta sama aku. Tapi asal kamu tau aja, cintaku ke kamu nggak kalah besar dengan cintamu ke Bella."
Aku tahu Diandra terluka. Tapi setidaknya seperti kata Bella, aku tak membohongi diriku sendiri, Diandra, mama, orang tua Diandra dan Bella.
Bella akhirnya memintaku untuk mengantarnya pulang ke rumah. Bukan. Bukan pulang. Tapi hanya berkunjung.
"Yof, menurut lo gimana ekspresi mama tiri gue pas lihat gue pulang?"
"Mama lo mesti kaget lihat anak tirinya makin manis. Pulang-pulang bawa calon mantu lagi."
"Apalagi mantunya ganteng."
"Apa? gue nggak denger," goda.
"Nih, mau gue tonjok?"
"Ampun neng."
"Yof, gue mau berhenti rokok."
"Bagus dong."
"Gue mau hidup lebih lama sama lo."
"Gue sayang lo Bell. Jangan pernah pergi ya."
"Kalo lo nyari gue. Gue akan slalu di sini, Yof," ujarnya seraya menunjuk dadaku.
Akhirnya kami sampai di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Namun rumah itu terlihat begitu sepi.
Kami melangkah mendekati pintu.
"Lo mau masuk?" tanyaku pada Bella yang langsung masuk tanpa mengetuk pintu.
"Ya kenapa? Ini rumah gue, Yof."
Pelan namun pasti terdengar suara ribut dari dalam rumah.
"Bapak sama anak sama aja nggak bisa diatur. Keluarga macam apa? Nyesel aku udah nikah sama kamu."
"Kamu pikir aku bahagia? Nggak. Aku lebih bahagia hidup bertiga dengan anak-anakku."
"Ceraikan aku!"
"Itu mau kamu?"
Aku tahu itu suara keributan antara papa dan mama Bella.
"Papaa.." Bella berlari menghampiri papanya dan memeluk papanya.
"Mutia.."
"Urusin anak kamu yang bandel itu. Nggak bisa diatur. Nggak tau diri."
"Ma, selama ini Mutia diem aja kalo mama salahin, mama bentak-bentak. Itu semua Karena Papa nggak mau Mutia jadi pemberontak. Tapi Mutia capek, Ma. Capek nyabarin Mama."
"Jadi ini hasil didikan ibu kandung kamu dan bapak kamu? Dididik buat jadi pembangkang."
"Cukup Ma! Mutia bisa diem kalo Mama salahin Mutia. Tapi Mutia nggak terima kalo mama kandung Muti yang udah tenang di surga Mama jelek-jelekin kayak gini. Mutia nggak terima. Mama mending pergi dari sini!"
"Berani kamu ngusir aku? Dasar pembangkang. Anak yang udah rusak moralnya. Udah berani bawa cowok ke rumah"
"Ini rumah Mutia. Kamu cuma numpang di sini. Terserah Mutia mau bawa siapa aja ke sini. Lebih baik cepat beresin barang-barang kamu."
"Ini untuk kelancangan kamu." Mama tiri Bella, menampar pipi Bella dengan keras.
Kemudian mama tiri Bella pergi meninggalkan rumah Bella dengan membawa semua barang-barangnya.
Kulihat gadis yang kucinta itu. Pipinya merah karena tamparan mama tirinya. Aku tahu itu menyakitkan. Bukan tamparannya. Tapi kenyataannya. Kuhampiri dia yang masih terisak di lantai.
"Bell, kamu nggak papa."
Belum sempat menjawab napas Bella tiba-tiba sesak. Dan ia pingsan.
Aku memandang wajah Bella dengan segala keprihatinan. Ia gadis yang kuat. Aku semakin kagum padanya. Kugenggam erat tangannya yang dingin dan kubelai rambutnya. Berharap dia cepat sadar.
Semenit, dua menit sampai  hampir setengah jam aku menunggu Bella sadar dengan segala kerisauan yang memenuhi pikiran sehingga tak menyisakan ruang untuk firasat yang lain.
"Yofan.." panggilnya lirih dengan suaranya yang tetap terdengar merdu walaupun kini sedikit serak nyaris tak terdengar. Setidaknya suara serak itu mampu mengusir segala kerisauan yang bersemanyam di pikiranku selama setengah jam terakhir ini.
"Papa.." panggilnya lagi. Papa Bella segera mendekat dan aku dengan segala kepekaanku mundur member ruang untuk ayah dan anak ini.
"Pa, maafin Mutia."
"Mutia nggak salah. Papa yang salah. Papa udah tergila-gila dengan mama tirimu. Maafin Papa. Papa udah salah milihin sosok pengganti mama buat kamu."
"Papa nggak salah."
Aku melihatnya sedikit terharu. Sekuat-kuatnya aku untuk berpura-pura bahwa aku tak peduli dengan apa yang telah aku hadapi, tapi kerinduan pada Almarhum papaku terkadang datang tiba-tiba. Menyerangku tanpa ampun. Membuatku meringkuh lemah terpojokkan oleh kerinduan itu.
***
"Yof, gue udah nggak kuat. Berhenti dulu dong," pinta Bella padaku di suatu pagi yang cerah ketika kami sedang lari pagi.
"Ya Bell, lo musti kuat dong."
"Dada gue sesek, Yof."
"Lo nggak papa?" Kami berhenti. Aku mengajak Bella duduk di bangku pinggir jalan yang kami lalui.
"Akhir-akhir ini dada gue sering sakit."
"Yaudah minum dulu." Aku memberikan sebotol air mineral untuk Bella. Setelah beristirahat, napasnya kembali normal. Tapi tak senormal biasanya.
"Yof, kapan lo nikahin gue?"
"Nikah?" tanyaku terkejut.
"Gue nggak mau lama-lama pacaran."
"Ya tapi kita kan masih muda, Bell."
"Justru itu…"
"Gue nggak bisa."
"Nggak bisa nikahin gue?"
"Bukan. Gue nggak bisa nikahin lo secepet itu."
"Kenapa enggak?"
"Kita masih muda, Bell."
"Terus kalau kita masih muda, apa salahnya nikah muda?"
"Gue belum siap."
"Gue nggak bisa nunggu lama sampai lo siap, Yof."
"Apa maksudnya? Lo hamil?"
"Yof!!!"
"Apa?"
Setetes air mata menetes di pipi Bella. Entah karena lelah atau apa hingga akhirnya ego kami saling memuncak dan pertengkaran pun tak terhindarkan.
Bella lantas pergi tanpa sepatah katapun dengan air mata yang mengalir semakin deras. Aku tak mengejarnya. Karena jujur dalam hati aku masih tak mengerti kemauan Bella.
***
Sudah hampir seminggu tiada kabar dari Bella. Terakhir kami bertemu adalah saat kami lari bersama dan terjadi pertengkaran karena ego kami yang tinggi. Meskipun kucoba untuk menghubunginya berkali-kali tapi tak ada jawaban darinya.
Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi rumahnya, rumah papanya. Karena setelah kepergian mama tirinya Bella dan Ardi kembali ke rumah papanya.
Sampai di depan pintu, kuketuk pintu perlahan. Derap langkah kaki mendekati pintu dan pintu pun terbuka.
"Ardi.."
"Mas Yofan.."
"Mutia mana?"
"Emmm., Kakak.."
"Siapa, Di?" Suara laki-laki terdengar dari dalam rumah dan muncullah papa Bella.
"Om.." kataku.
"Temannya Mutia? Di, kamu masuk." Ardi pun meninggalkan aku berdua dengan papanya.
"Om, Mutia kemana? Kenapa ponselnya tidak aktif?"
"Mutia anak yang baik. Dia manis dan periang. Tak seorang pun bisa menebak isi hatinya. Karena ia begitu handal menyembunyikan perasaannya. Dia memendam apapun sendiri bahkan penyakitnya."
"Mutia sakit apa, Om?"
"Dia terkena kanker paru-paru karena kebiasaannya merokok. Seandainya saya bisa menjadi papa yang baik. Seandaina saya tak pernah bilang bahwa merokok itu dapat menenangkan pikiran."
"Sekarang Mutia dimana, Om?"
"Ayo ikut saya."
Aku dibawa papa Bella ke sebuah rumah sakit tak jauh dari rumah Bella. Sesampainya di rumah sakit, kami melewati berbagai macam ruangan. Kulihat wanita-wanita berpakaian putih mendorong seorang jenazah yang ditutup kain putih. Sungguhpun kematian sangat dekat dengan kita.
Kami memasuki sebuah ruangan. Seorang gadis terbaring di sana, di sebuah ranjang rumah sakit. Di atas perutnya ada sebuah foto. Kudekati dengan langkah gontai. Kugenggam tangannya. Kuambil dan kulihat foto yang tadi di perutnya. Seorang laki-laki tersenyum di foto itu. Itu adalah fotoku.
"Bella.."
Gadis itu terbangun oleh suaraku. Padahal volume suaraku kucoba untuk seminim mungkin.
Bella tersenyum melihatku. Di tangannya melekat selang infus sementara di hidung dan mulutnya melekat pula masker oksigen. Ada sebuah komputer yang menunjukkan aktivitas jantungnya. Aku tak mengerti soal semua itu. Yang kutahu, gadis yang kucinta kini terbaring lemah, tersenyum menatapku. Dan setetes air mata mengalir dari sudut matanya.
Ada sebuah surat di tangannya yang sengaja ia siapkan di samping tubuhnya. Ia memberikan surat itu. Sodoran lemah dari tangannya itu membuatku semakin tersiksa hanya dengan melihatnya. Aku tahu dia kesakitan.
Kuterima surat itu dan kubaca.

Yofan yang kusayang,
Maaf lagi karena aku menyembunyikan ini semua dari kamu. Sungguhpun tak ada yang ingin kusembunyikan darimu. Aku hanya tak sanggup berkata jujur padamu. Aku takut mengecewakanmu. Aku takut kau meninggalkanku. Tapi ada hal yang lebih kutakutkan. Aku takut kau terlalu mengkhawatirkanku.
Sayang,
Aku tahu cepat atau lambat kebenaran akan terungkap. Oleh karena itu, telah kusiapkan surat ini jauh-jauh hari dimana saat itu tanganku masih kuat untuk menulis tulisan yang layak kau baca. Aku hanya tak ingin kau kesusahan membaca suratku karena tulisanku jelek. Aku beruntung karena sehari setelah aku menulis surat ini tanganku lumpuh.
Yofan,
Jujur akumasih sakit hati di hari terakhir kita bertemu. Kau ingat aku meminta kau menikahiku? Kubilang bahwa aku tak bisa menunggu sampai kau siap. Dan kau tuduh bahwa aku hamil. Aku tak habis pikir bahwa kau akan setega itu menuduhku. Kau tahu alasanku memintamu untuk cepat-cepat menikahiku? Itu karena mungkin umurku tak mau menunggu lama lagi. Tapi jika permintaanku terlalu berlebihan, tak masalah jika kau menolak. Maafkan aku yang berani memintamu untuk melakukan ini.
Sayang,
Aku dulu memang membenci hidupku. Tapi setelah bertemu denganmu, aku jatuh cinta kepadamu. Hal ini juga membuatku jatuh cinta pada hidupku. Namun saat aku mulai mencintai hidupku, agaknya Tuhan tak menginginkan aku banyak merepotkanmu dengan adanya aku di sisimu. Hingga akhirnya aku sadar aku mulai lemah dan sebentar lagi aku akan benar-benar pulang. Akan kuminta pada Tuhan agar senantiasa menjagamu dan orang-orang yang kusayangi.
Maafkan aku terlalu banyak menulis dan membuatmu terlalu lama membaca suratku yang menurutku pendek tapi mungkin orang lain menilainya panjang. Itu semua karena ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu. Segalanya, mulai dari rahasiaku yang malas mandi hingga rahasia-rahasia kecil dan besar yang aku punya dan belum kau ketahui. Tapi sayang, waktuku tak cukup banyak untuk membagi semua itu padamu.
Berjanjilah untuk tetap mengingatku saat aku tiada nanti. Berjanjilah untuk menjauhi hal-hal yang tak kausukai.
Sayang,
Aku pernah bermimpi untuk menjadi istrimu, Ny. Yofan, mendidik anak-anak kita. Tapi sayang, aku sadar mungkin aku terlalu banyak meminta dan aku yakin permintaanku ini tak akan Tuhan penuhi. Mungkin stok permintaanku yang harus Tuhan penuhi telah habis. Hingga apapun doaku terasa mustahil untuk terwujud. Bukan aku meremehkan kekuatan Tuhan. Tapi mungkin karena aku sudah tak layak lagi untuk meminta lebih.
Ketahuilah aku sangat mencintaimu. Aku ingin hidup bersamamu dan tumbuh tua dalam pelukanmu.you're my endless love.
A girl who want to be your wife,
Mutiabella Putri Renaldi.
Surat yang ditulis Bella itu semakin membuatku tersiksa. Setelah kuketahui bahwa gadis yang kucintai menahan rasa sakit, kini kuketahui juga bahwa mimpinya hanya akan jadi permintaan yang mustahil kepada Tuhan.
Aku tak lagi mempedulikan bagaimana hancurnya hatiku. Tapi yang kutahu dan yang kupedulikan hanya perasaan Bella yang mungkin berjuta kali lipat lebih hancur dari pada perasaanku. Aku ingin memeluknya, merengkuhnya dan membawanya ke dunia dimana kami dapat hidup abadi di dalamnya.
"Aku berjanji besok akan mendatangkan penghulu. Tak perlu gaun dan make up, kau akan tetap jadi the most beautiful queen I ever seen."
***
Semua persiapan pernikahan telah siap. Tak ada yang istimewa. Aku pun tak memakai jas seperti yang biasa dikenakan mempelai pria. Dengan segala kerendahan hati kuminta mamaku untuk merestui pernikahanku ini. akhirnya mama tak mempunyai pilihan lain selain merestuiku.
Diperjalanan tak ada halangan apapun. Sejauh ini masih baik-baik saja. Aku tak sabar sebentar lagi akan menikahi gadis yang kucintai. Gadis yang selalu ingin kulindungi. Aku berjanji akan menjadi yang terkuat untuknya walaupun aku tak cukup  kuat.
Tiba di depan pintu ruangan tempat Bella dirawat kudengan suara papa Bella sedang menangis. Tanpa berpikir panjang segera kuhampiri Bella yang terbaring dengan alat-alat medis yang sudah dilepas dari tubuhnya. Ada beberapa suster dan seorang dokter di sana.
"Apa yang terjadi, Om?" tanyaku pada papa Bella. Tapi tak ada jawaban.
"Dok, apa yang terjadi?" tanyaku pada dokter. Aku semakin panik karena doketr menundukkan kepalanya.
"Mutia telah tiada."
Seketika dadaku sesak. Sama sesaknya saat kudengar bahwa papaku meninggal dulu. Terasa seperti langit runtuh menimpaku dan tak memberiku kesempatan untuk bernapas.
Saat detik dimana seharusnya Bella resmi kupinang. Tapi dia harus pulang disaat itu juga. Meninggalkan segala kepedihan karena kenyataannya aku harus kehilangan wanita yang ingin selalu kulindungi. Mata yang indah yang biasanya aku kagumi kini tertutup rapat. Apa yang bisa kuperbuat?
Kadang hidup memang seperti tak adil. Sepedih apapun itu, Tuhan punya rencana yang lebih baik. Aku mencintai gadis yang membenci hidupnya. Kemudian merubahnya menjadi cinta kepada hidupnya. Dia mencintai hidupnya disaat hidupnya tak lama lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Share on :