Share
9:52:00 PM

Andai Diary Bisa Bercerita

            Samar-samar terdengar suara isak tangis dari balik dinding yang tak seberapa tinggi itu. Dinding itu adalah sebuah pagar pembatas antara tempat parkir sekolah dan area luar sekolah. Di salah satu bagian dinding itu terdapat sebuah pintu. Dibalik pintu itulah suara isak tangis itu terdengar.
            Perlahan-lahan Fandy mendekati pintu itu. Kemudian ia menempelkan telinganya pada pintu dan mulai mendengarkan suara isak itu.
            “Ri… Apa itu kamu?” tanyanya dengan suara pelan.
            “Aku tau itu kamu, Fan. Tapi kali ini kumohon jangan ganggu aku dulu. Aku pengen sendirian,” jawab si pemilik isak tangis itu.

            “Baiklah kalau itu maumu. Tapi kamu harus tahu bahwa aku akan selalu siap buat dengerin keluh kesahmu. Tamui aku kalau kamu merasa sudah tenang,” jawab Fandy. Kemudian dengan kecewa Fandy meninggalkan Riri yang masih terisak di balik pintu.
            Langkahnya makin dipercepat. Ia tak mau basah kehujanan di jalan karena tanda-tanda akan hujan telah muncul. Sore itu langit Bandung terlihat sangat gelap. Petir saling sambar-menyambar. Angin pun tak mau kalah menerbangkan daun-daun kering yang jatuh di sepanjang jalan.
            “Riri pulang… .” teriaknya ketika sampai di rumah. Ia langsung menuju ruang makan dan langsung menyantap makanan yang telah disediakan di meja makan untuknya.
            “Kamu nggak basah?” tanya neneknya yang tiba-tiba muncul dari balik tirai kamar.
            “Nggak kok, Nek. Tapi udara di luar dingin.”
            “Nenek buatkan wedang jahe dulu. Biar badanmu jadi hangat,” kata Nenek seraya pergi ke dapur untuk membuatkan wedang jahe untuk cucu kesayangannya.
            Dari kecil Riri memang tinggal bersama neneknya. Orang tua Riri telah meninggal dalam suatu kecelakaan. Sementara dia adalah anak tunggal. Dari kecil ia dibesarkan dan dirawat oleh neneknya yang telah berumur namun tetap sehat itu. Baginya Nenek adalah Ibu sekaligus Ayah.
            “Nek, Riri mau dong diceritain tetang si cantik dan buruk rupa,” pintanya ketika neneknya selesai membuatkan wedang jahe.
            “Aduh, Ri… Bukannya sudah berlaki-kali Nenek menceritakannya padamu?” keluh Neneknya.
            “Tapi Riri pengen Nenek cerita lagi,” pinta Riri dengan manja.
            Karena rasa sayangnya yang teramat sangat pada sang cucu, akhirnya Nenek menceritakan kisah itu lagi secara rinci. Ia tak tega bila harus melihat cucu kesayangannya merengek-rengek kepadanya.
            “Kenapa si cantik mau sama si buruk rupa, Nek?” tanya Riri di akhir cerita.
            “Karena si buruk rupa memiliki hati bak emas yang tak ternilai harganya.”
            “Tapi kalau misalnya yang buruk rupa itu perempuannya bagaimana, Nek?” tanya Riri dengan antusias.
            “Yang nomor satu adalah hati, Ri. Dia yang cantik dan tampan adalah dia yang berhati emas. Hati adalah perhiasan yang sesungguhnya, sementara keindahan fisik adalah perhiasan imitasi yang hanya menipu belaka,” jawab Nenek dengan senyum penuh arti.
            Tiba-tiba wajah Riri menjadi berseri-seri. Ia tersenyum-senyum sendiri. Entah apa yang membuatnya tersenyum bahagia. Neneknya yang melihatnya tersenyum bahagiapun tersugesti untuk turut tersenyum. Bagi Nenek tua itu, kebahagiaan utamanya adalah ketika ia melihat cucu kesayangannya tersenyum bahagia.
            Tak ada barang mewah yang bisa ia berikan pada cucunya, karena ia bukan orang berada. Hanya kasih dan sayang yang tulus dari hatinya yang mampu ia curahkan pada cucunya. Namun kasih dan sayangnya itu justru melebihi dari barang mewah apapun yang pernah diberikan orang tua pada anaknya di dunia.
            Malam itu Riri termenung di kamarnya. Wajahnya terlihat begitu gelisah. Ia melepas kaca matanya kemudian mengelapnya. Setelah dirasa bersih, ia meletakkan kaca mata itu di meja kemudian ia membaringkna tubuhnya di ranjang. Ia menarik nafas panjang. Namun kegelisahan masih tercetak jelas di raut wajahnya.
            Tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu. Ia bangkit dan mencari sesuatu di laci mejanya. Kemudian ia mengangkat sebuah buku. Ya, tepatnya buku harian atau diary. Diary itu yang telah lama menjadi teman berbagi setiap masalah yang ia hadapi. Keluhan, jeritan, tangisan, tawa dan bahagi serta segalanya terpendam di sana. Ia merasa tenang setelah menuliskan apa yang ia rasakan dimana tak seorangpun yang mengetahui itu.
            Ia mulai membuka buku itu dan menulis…
            Dear diary…
            Aku tak tahu kenapa semua ini bisa terjadi. Rahasia yang lama kupendam dan tak seorangpun yang tahu tentang itu kini telah diketahui oleh Dina. Ia mencaciku, mentertawakanku dan menghinaku seolah aku ini makhluk paling hina di jagat raya ini. Dia bilang “Lo nggak pantes dapet hatinya Fandy. Eh… bukan, bahkan lo nggak pantes suka sama Fandy. Lo tahu diri dong. Cewek cupu kayak lo tuh pantesnya sama orang yang sama-sama cupu. Noh, lihat si Adil.” Itu yang membuatku sangat sakit hati.
            Aku tahu, mungkin aku memang tak pantas untuk mencintai Fandy. Namun perasaan ini juga tak pernah aku inginkan. Semua terjadi begitu saja. Lantas siapa yang patut disalahkan atas perasaan ini? Tuhan? Fandy? Atau Nenek yang tak pernah mengajariku untuk jatuh cinta pada orang yang tepat? Bukan! Ini bukan salah mereka.
            Itulah yang ia tulis di diarynya malam itu. Setelah ia menutup bukunya, ia menangis terisak. Mata dan pipinya basah. Basah oleh air matanya. Tak ada suara, namun terlihat begitu mengiris hati. Ia sengaja tak ingin didengar oleh siapapun bahwa ia menangis.
            Pagi itu, Fandy datang ke rumah Riri. Ia merasa khawatir pada Riri, karena akhir-akhir ini Riri sering menjauhi dia. Apalagi kemarin Riri menangis seperti sedang ada masalah besar. Namun Riri tak mau menceritakan apapun pada Fandy.
            Memang sudah lama Fandy dan Riri bersahabat. Namun banyak anak-anak di sekolah yang tak suka dengan persahabatan mereka. Dengan dalih bahwa Riri yang super cupu tak pantas berteman dengan Fandy yang super ganteng. Namun Fandy tak pernah mempedulikan kata mereka.
            Istirahat telah tiba. Dina bergegas keluar kelas dan menemui Riri yang sedang duduk di bangku depan kelas. Kini ia tepat berada di depan Riri.
            “Eh, lo udah gue bilangin kan? Jangan deket-deket sama Fandy. Punya kuping nggak sih? Harus berapa kali gue bilang ke elo?” Riri hanya terdiam dan menunduk. Ia merasa sangat takut dan bersalah.
            “Apa-apaan ini? Dina, kenapa lo bentak-bentak Riri? Dia punya salah apa sama lo?” tanya Fandy yang tiba-tiba datang.
            “Ri, lo inget ya kata-kata gue. Kalau nggak, lo bakal nyesel. Dan lo Fandy, kalau lo tahu semuanya, lo akan nyesel udah berteman sama si cupu tengil ini,” kata Dina sambil jarinya menunjuk ke wajah Riri. Kemudian ia pergi.
            Riri hanya berusaha tegar dan tak menangis di depan Fandy. Namun, Fandy juga tahu kalau Riri tak mau diganggu. Percuma saja jika menanyakan ada masalah apa antara Dina dan Riri, karena Riri pasti tak akan menjawabnya. Kemudian ia menepuk pundak Riri dan meninggalkannya dengan tatapan prihatin.
            Malamnya, Riri mengambil diarynya dan mulai menulis apa yang telah ia alami hari itu.
            Dear diary
            Cinta itu nggak pernah salah. Tapi yang salah adalah kepada siapa aku jatuh cinta.
Nenek slalu mengajariku bagaimana melangkah dengan gagah saat badai mencoba menerbangkanku. Nenek mengajariku bagaimana menjadi wanita sesungguhnya. Namun Nenek tak pernah mengajariku jatuh cinta pada orang yang tepat. Sehingga kini aku salah telah jatuh cinta.
            Andai Tuhan memberiku pilihan untuk jatuh cinta atau tidak, aku akan memilih untuk tidak jatuh cinta. Karena aku tahu cintaku hanya sia-sia. Tapi aku bisa berbuat apa? Jangankan untuk mendapatkan balasan cinta darinya, untuk berdiri di sampingnya saja aku tak cukup pantas.
Dari kecil yang kutahu hanya cinta kepada Tuhan dan Nenek. Tapi aku tak pernah merasa tidak pantas untuk mencintai mereka. Tapi saat ini semuanya begitu rumit.
            Kemudian ia menutup harinya dengan doa sebelum tidur. Ia terlihat sangat pulas. Wajah yang biasanya tenang namun kini terlihat seolah sedang memikirkan masalah yang sangat berat.
            “Badanmu kok panas ya Ri,” kata Nenek yang sudah berada di kamar Riri ketika ia terbangun.
            “Riri nggak papa kok Nek. Paling hanya demam biasa.”
            “Kamu nggak usah masuk sekolah dulu ya, Ri. Nenek khawatir sama kamu,” katanya. Kemudian ia menutup tubuh Riri dengan selimut.
            Hari itu Riri hanya berbaring di tempat tidur. Guling kanan, guling kiri dan guling-guling. Lama kelamaan punggungnya terasa sangat pegal. Kemudian ia bangun, dan kemudian tidur lagi. Ia merasa sangat bosan tanpa melakukan apa.
            Ia kembali mengambil buku diary itu. Kemudian menuliskan sesuatu di dalamnya.
            Dear diary
            Semakin hari rasanya aku semakin tersiksa dengan perasaan ini.Fandy, Dina dan perasaan ini begitu membuatku tersiksa. Aku mulai lelah dan ingin mengeluh. Kenapa cinta begitu rumit? Tuhan, kalau saja aku ini cantik, aku kaya dan aku nyaris sempurna, mungkin tak begitu salah jika aku jatuh cinta pada Fandy. Semua ini karenaku yang membuat rumit perasaanku sendiri.
            Aku benar-benar takut jika nanti Fandy akan tahu apa yang aku rasakan padanya. Jelas dia akan sangat marah padaku. Dia akan benar-benar malu karena telah dicintai oleh perempuan sepertiku. Tak apa jika aku harus terus bersahabat dengannya. Itu lebih dari cukup. Aku memang mencintainya, namun aku sadar diri. Siapa aku, siapa Fandy. Aku sadar itu. Semoga cinta tak membuatku lupa siapa aku.
            Terdengan pintu diketuk beberapa kali. Dengan segera Riri berjalan menghampiri pintu dan membukannya. Tak disangka olehnya bahwa yang datang adalah Fandy. Fandy yang tadi mengetuk pintu. Seketika tubuh Riri terasa tak bisa digerakkan. Dia terbengong.
            “Hai! Kok bengong. Aku nggak disuruh masuk nih?” kata Fandy yang seketika memecahkan lamunan Riri.
            “Oh iya, masuk Fan.”
            Riri tak sadar bahwa buku diarynya berada di atas meja, tak jauh dari tempat mereka duduk.
            “Mau minum apa Fan?” tanya Riri.
            “Aduh, nggak usah repot-repot, Ri. Kan kamu lagi sakit.”
            “Ah, tak apa. Aku udah sehat kok.” Riri kemudian pergi ke dapur.
            Sambil menunggu Riri, Fandy iseng melihat foto-foto Riri waktu kecil. Ia tersenyum melihat lucunya wajah Riri saat itu. Tanpa sengaja ia melihat buku diary Riri. Awalnya ia ragu untuk membukanya. Namun ia merasa penasaran pada buku itu.
            Akhirnya ia membaca buku itu. Lembar demi lembar ia membaca buku itu. Ia terkejut tatkala membaca namanya di diary itu.
            “Fandy..” panggil Riri. Ia terkejut melihat Fandy membaca diarynya.
            “Ri, apa maksud dari semua ini?” wajah Fandy memerah. Ia terlihat sangat marah. Namun Riri hanya menunduk dan tidak menjawab pertanyaannya.
            “Riri! Jawab pertanyaanku. Apa maksud dari semua ini?” nadanya mulai tinggi dan setengah membentak Riri.
            “Aku yakin kamu pasti tahu maksudnya. Jadi untuk apa aku menjelaskannya lagi kepadamu? Diary itu cukup jelas berbicara tentang apa yang aku rasakan ke kamu. Dan sekarang kamu tahu. Maaf, Fan.” Kepalanya hanya tertunduk. Air matanya tak dapaat terbendung lagi.
            “Aku kecewa sama kamu Ri.” Fandy bergegas meninggalkan Riri yang masih menunduk menyembunyikan air matanya.
            Dear diary
            Harusnya aku sadar. Cepat atau lambat Fandy pasti akan mengetahui perasaanku padanya. Sehingga aku lebih siap menghadapi hal itu jika benar terjadi. Namun aku seolah tidur. Aku tak sadar. Dari dulu memang aku tak pernah sadar. Mulai dari ketika berteman dengan Fandy. Saat itu aku tak sadar diri siapa aku. Dan berlanjut ketika aku mencintai Fandy. Dan akhirnya sekarang aku membuat Fandy kecewa dan marah. Sungguh aku manusia yang paling tak sadar diri.
            Sekarang terlambat untuk sadar. Semua telah terjadi. Aku telah membuat Fandy marah dan kecewa. Aku telah merusak persahabatan kami. Bodohnya aku! Jahatnya aku! Egoisnya aku! Aku tahu pasti Fandy sangat marah padaku. Mungkin ini adalah akhir dari cerita kita. Fandy? Bahkan aku saja marah pada diriku yang tolol ini. Kamu sungguh tolol, Ri!
            Berminggu-minggu Fandy dan Riri saling menjauh. Jika mereka bertemu tak ada sapa yang terlontar. Benar-benar seperti saling tidak mengenal. Jangankan untuk bersapa, saling melirikpun tidak.
            Namun tiba-tiba Fandy menemui Riri di kelasnya. Ia merasa sangat bersalah atas sikap yang berlebihan saat itu. Ia ingin meminta maaf pada Riri.
            “Ri..” panggilnya lirih ketika Riri sedang duduk di bangku depan kelas.
            “Fandy..” katanya dengan wajah terkejut.
            “Aku minta maaf Ri. Aku terlalu berlebihan saat itu. Aku bener-bener nggak pantas bersikap seperti kemarin. Aku khilaf.”
            “Aku yang harusnya minta maa, Fan. Aku yang lancang telah mencintaimu. Aku tak tahu diri. Maaf..” kata Riri sambil melepas kaca matanya kemudian mengelap dan memakainya lagi.
            “Kamu nggak salah. Siapa saja boleh jatuh cinta. Hanya saja aku yang tak mengerti perasaanmu. Walaupun aku nggak bisa balas rasa kamu, tapi aku hargai perasaan kamu. Kita tetap bersahabat kan?”
            “iya, kita bersahabat.”

            Riri dan Fandy bersahabat kembali. Lebih akrab dari yang sebelumnya. Walaupun cintanya tak terbalas, namun ia sangat bahagia bisa bersahabat dengan Fandy. Ia bersyukur memiliki sahabat sebaik Fandy.

0 komentar:

Posting Komentar

Share on :