Samar-samar terdengar suara isak
tangis dari balik dinding yang tak seberapa tinggi itu. Dinding itu adalah
sebuah pagar pembatas antara tempat parkir sekolah dan area luar sekolah. Di
salah satu bagian dinding itu terdapat sebuah pintu. Dibalik pintu itulah suara
isak tangis itu terdengar.
Perlahan-lahan Fandy mendekati pintu
itu. Kemudian ia menempelkan telinganya pada pintu dan mulai mendengarkan suara
isak itu.
“Ri… Apa itu kamu?” tanyanya dengan
suara pelan.
“Aku tau itu kamu, Fan. Tapi kali
ini kumohon jangan ganggu aku dulu. Aku pengen sendirian,” jawab si pemilik
isak tangis itu.
“Baiklah kalau itu maumu. Tapi kamu
harus tahu bahwa aku akan selalu siap buat dengerin keluh kesahmu. Tamui aku
kalau kamu merasa sudah tenang,” jawab Fandy. Kemudian dengan kecewa Fandy
meninggalkan Riri yang masih terisak di balik pintu.
Langkahnya makin dipercepat. Ia tak
mau basah kehujanan di jalan karena tanda-tanda akan hujan telah muncul. Sore
itu langit Bandung terlihat sangat gelap. Petir saling sambar-menyambar. Angin
pun tak mau kalah menerbangkan daun-daun kering yang jatuh di sepanjang jalan.
“Riri pulang… .” teriaknya ketika
sampai di rumah. Ia langsung menuju ruang makan dan langsung menyantap makanan
yang telah disediakan di meja makan untuknya.
“Kamu nggak basah?” tanya neneknya
yang tiba-tiba muncul dari balik tirai kamar.
“Nggak kok, Nek. Tapi udara di luar
dingin.”
“Nenek buatkan wedang jahe dulu.
Biar badanmu jadi hangat,” kata Nenek seraya pergi ke dapur untuk membuatkan
wedang jahe untuk cucu kesayangannya.
Dari kecil Riri memang tinggal
bersama neneknya. Orang tua Riri telah meninggal dalam suatu kecelakaan.
Sementara dia adalah anak tunggal. Dari kecil ia dibesarkan dan dirawat oleh
neneknya yang telah berumur namun tetap sehat itu. Baginya Nenek adalah Ibu
sekaligus Ayah.
“Nek, Riri mau dong diceritain
tetang si cantik dan buruk rupa,” pintanya ketika neneknya selesai membuatkan
wedang jahe.
“Aduh, Ri… Bukannya sudah
berlaki-kali Nenek menceritakannya padamu?” keluh Neneknya.
“Tapi Riri pengen Nenek cerita
lagi,” pinta Riri dengan manja.
Karena rasa sayangnya yang teramat
sangat pada sang cucu, akhirnya Nenek menceritakan kisah itu lagi secara rinci.
Ia tak tega bila harus melihat cucu kesayangannya merengek-rengek kepadanya.
“Kenapa si cantik mau sama si buruk
rupa, Nek?” tanya Riri di akhir cerita.
“Karena si buruk rupa memiliki hati
bak emas yang tak ternilai harganya.”
“Tapi kalau misalnya yang buruk rupa
itu perempuannya bagaimana, Nek?” tanya Riri dengan antusias.
“Yang nomor satu adalah hati, Ri.
Dia yang cantik dan tampan adalah dia yang berhati emas. Hati adalah perhiasan
yang sesungguhnya, sementara keindahan fisik adalah perhiasan imitasi yang
hanya menipu belaka,” jawab Nenek dengan senyum penuh arti.
Tiba-tiba wajah Riri menjadi
berseri-seri. Ia tersenyum-senyum sendiri. Entah apa yang membuatnya tersenyum
bahagia. Neneknya yang melihatnya tersenyum bahagiapun tersugesti untuk turut
tersenyum. Bagi Nenek tua itu, kebahagiaan utamanya adalah ketika ia melihat
cucu kesayangannya tersenyum bahagia.
Tak ada barang mewah yang bisa ia
berikan pada cucunya, karena ia bukan orang berada. Hanya kasih dan sayang yang
tulus dari hatinya yang mampu ia curahkan pada cucunya. Namun kasih dan sayangnya
itu justru melebihi dari barang mewah apapun yang pernah diberikan orang tua
pada anaknya di dunia.
Malam itu Riri termenung di
kamarnya. Wajahnya terlihat begitu gelisah. Ia melepas kaca matanya kemudian
mengelapnya. Setelah dirasa bersih, ia meletakkan kaca mata itu di meja
kemudian ia membaringkna tubuhnya di ranjang. Ia menarik nafas panjang. Namun
kegelisahan masih tercetak jelas di raut wajahnya.
Tiba-tiba ia seperti teringat
sesuatu. Ia bangkit dan mencari sesuatu di laci mejanya. Kemudian ia mengangkat
sebuah buku. Ya, tepatnya buku harian atau diary. Diary itu yang telah lama
menjadi teman berbagi setiap masalah yang ia hadapi. Keluhan, jeritan,
tangisan, tawa dan bahagi serta segalanya terpendam di sana. Ia merasa tenang
setelah menuliskan apa yang ia rasakan dimana tak seorangpun yang mengetahui
itu.
Ia mulai membuka buku itu dan
menulis…
Dear
diary…
Aku
tak tahu kenapa semua ini bisa terjadi. Rahasia yang lama kupendam dan tak
seorangpun yang tahu tentang itu kini telah diketahui oleh Dina. Ia mencaciku,
mentertawakanku dan menghinaku seolah aku ini makhluk paling hina di jagat raya
ini. Dia bilang “Lo nggak pantes dapet hatinya Fandy. Eh… bukan, bahkan lo
nggak pantes suka sama Fandy. Lo tahu diri dong. Cewek cupu kayak lo tuh
pantesnya sama orang yang sama-sama cupu. Noh, lihat si Adil.” Itu yang
membuatku sangat sakit hati.
Aku
tahu, mungkin aku memang tak pantas untuk mencintai Fandy. Namun perasaan ini
juga tak pernah aku inginkan. Semua terjadi begitu saja. Lantas siapa yang
patut disalahkan atas perasaan ini? Tuhan? Fandy? Atau Nenek yang tak pernah
mengajariku untuk jatuh cinta pada orang yang tepat? Bukan! Ini bukan salah
mereka.
Itulah yang ia tulis di diarynya
malam itu. Setelah ia menutup bukunya, ia menangis terisak. Mata dan pipinya
basah. Basah oleh air matanya. Tak ada suara, namun terlihat begitu mengiris
hati. Ia sengaja tak ingin didengar oleh siapapun bahwa ia menangis.
Pagi itu, Fandy datang ke rumah
Riri. Ia merasa khawatir pada Riri, karena akhir-akhir ini Riri sering menjauhi
dia. Apalagi kemarin Riri menangis seperti sedang ada masalah besar. Namun Riri
tak mau menceritakan apapun pada Fandy.
Memang sudah lama Fandy dan Riri
bersahabat. Namun banyak anak-anak di sekolah yang tak suka dengan persahabatan
mereka. Dengan dalih bahwa Riri yang super cupu tak pantas berteman dengan
Fandy yang super ganteng. Namun Fandy tak pernah mempedulikan kata mereka.
Istirahat telah tiba. Dina bergegas
keluar kelas dan menemui Riri yang sedang duduk di bangku depan kelas. Kini ia
tepat berada di depan Riri.
“Eh, lo udah gue bilangin kan?
Jangan deket-deket sama Fandy. Punya kuping nggak sih? Harus berapa kali gue
bilang ke elo?” Riri hanya terdiam dan menunduk. Ia merasa sangat takut dan
bersalah.
“Apa-apaan ini? Dina, kenapa lo bentak-bentak
Riri? Dia punya salah apa sama lo?” tanya Fandy yang tiba-tiba datang.
“Ri, lo inget ya kata-kata gue.
Kalau nggak, lo bakal nyesel. Dan lo Fandy, kalau lo tahu semuanya, lo akan
nyesel udah berteman sama si cupu tengil ini,” kata Dina sambil jarinya
menunjuk ke wajah Riri. Kemudian ia pergi.
Riri hanya berusaha tegar dan tak
menangis di depan Fandy. Namun, Fandy juga tahu kalau Riri tak mau diganggu.
Percuma saja jika menanyakan ada masalah apa antara Dina dan Riri, karena Riri
pasti tak akan menjawabnya. Kemudian ia menepuk pundak Riri dan meninggalkannya
dengan tatapan prihatin.
Malamnya, Riri mengambil diarynya
dan mulai menulis apa yang telah ia alami hari itu.
Dear
diary
Cinta
itu nggak pernah salah. Tapi yang salah adalah kepada siapa aku jatuh cinta.
Nenek slalu mengajariku bagaimana melangkah dengan gagah saat badai mencoba menerbangkanku. Nenek mengajariku bagaimana menjadi wanita sesungguhnya. Namun Nenek tak pernah mengajariku jatuh cinta pada orang yang tepat. Sehingga kini aku salah telah jatuh cinta.
Nenek slalu mengajariku bagaimana melangkah dengan gagah saat badai mencoba menerbangkanku. Nenek mengajariku bagaimana menjadi wanita sesungguhnya. Namun Nenek tak pernah mengajariku jatuh cinta pada orang yang tepat. Sehingga kini aku salah telah jatuh cinta.
Andai
Tuhan memberiku pilihan untuk jatuh cinta atau tidak, aku akan memilih untuk
tidak jatuh cinta. Karena aku tahu cintaku hanya sia-sia. Tapi aku bisa berbuat
apa? Jangankan untuk mendapatkan balasan cinta darinya, untuk berdiri di
sampingnya saja aku tak cukup pantas.
Dari kecil yang kutahu hanya cinta kepada Tuhan dan Nenek. Tapi aku tak pernah merasa tidak pantas untuk mencintai mereka. Tapi saat ini semuanya begitu rumit.
Dari kecil yang kutahu hanya cinta kepada Tuhan dan Nenek. Tapi aku tak pernah merasa tidak pantas untuk mencintai mereka. Tapi saat ini semuanya begitu rumit.
Kemudian ia menutup harinya dengan
doa sebelum tidur. Ia terlihat sangat pulas. Wajah yang biasanya tenang namun
kini terlihat seolah sedang memikirkan masalah yang sangat berat.
“Badanmu kok panas ya Ri,” kata
Nenek yang sudah berada di kamar Riri ketika ia terbangun.
“Riri nggak papa kok Nek. Paling
hanya demam biasa.”
“Kamu nggak usah masuk sekolah dulu
ya, Ri. Nenek khawatir sama kamu,” katanya. Kemudian ia menutup tubuh Riri
dengan selimut.
Hari itu Riri hanya berbaring di
tempat tidur. Guling kanan, guling kiri dan guling-guling. Lama kelamaan punggungnya
terasa sangat pegal. Kemudian ia bangun, dan kemudian tidur lagi. Ia merasa
sangat bosan tanpa melakukan apa.
Ia kembali mengambil buku diary itu.
Kemudian menuliskan sesuatu di dalamnya.
Dear
diary
Semakin
hari rasanya aku semakin tersiksa dengan perasaan ini.Fandy, Dina dan perasaan
ini begitu membuatku tersiksa. Aku mulai lelah dan ingin mengeluh. Kenapa cinta
begitu rumit? Tuhan, kalau saja aku ini cantik, aku kaya dan aku nyaris
sempurna, mungkin tak begitu salah jika aku jatuh cinta pada Fandy. Semua ini
karenaku yang membuat rumit perasaanku sendiri.
Aku
benar-benar takut jika nanti Fandy akan tahu apa yang aku rasakan padanya.
Jelas dia akan sangat marah padaku. Dia akan benar-benar malu karena telah
dicintai oleh perempuan sepertiku. Tak apa jika aku harus terus bersahabat
dengannya. Itu lebih dari cukup. Aku memang mencintainya, namun aku sadar diri.
Siapa aku, siapa Fandy. Aku sadar itu. Semoga cinta tak membuatku lupa siapa
aku.
Terdengan pintu diketuk beberapa
kali. Dengan segera Riri berjalan menghampiri pintu dan membukannya. Tak disangka
olehnya bahwa yang datang adalah Fandy. Fandy yang tadi mengetuk pintu. Seketika
tubuh Riri terasa tak bisa digerakkan. Dia terbengong.
“Hai! Kok bengong. Aku nggak disuruh
masuk nih?” kata Fandy yang seketika memecahkan lamunan Riri.
“Oh iya, masuk Fan.”
Riri tak sadar bahwa buku diarynya
berada di atas meja, tak jauh dari tempat mereka duduk.
“Mau minum apa Fan?” tanya Riri.
“Aduh, nggak usah repot-repot, Ri. Kan
kamu lagi sakit.”
“Ah, tak apa. Aku udah sehat kok.” Riri
kemudian pergi ke dapur.
Sambil menunggu Riri, Fandy iseng
melihat foto-foto Riri waktu kecil. Ia tersenyum melihat lucunya wajah Riri
saat itu. Tanpa sengaja ia melihat buku diary Riri. Awalnya ia ragu untuk
membukanya. Namun ia merasa penasaran pada buku itu.
Akhirnya ia membaca buku itu. Lembar
demi lembar ia membaca buku itu. Ia terkejut tatkala membaca namanya di diary
itu.
“Fandy..” panggil Riri. Ia terkejut
melihat Fandy membaca diarynya.
“Ri, apa maksud dari semua ini?”
wajah Fandy memerah. Ia terlihat sangat marah. Namun Riri hanya menunduk dan
tidak menjawab pertanyaannya.
“Riri! Jawab pertanyaanku. Apa maksud
dari semua ini?” nadanya mulai tinggi dan setengah membentak Riri.
“Aku yakin kamu pasti tahu
maksudnya. Jadi untuk apa aku menjelaskannya lagi kepadamu? Diary itu cukup
jelas berbicara tentang apa yang aku rasakan ke kamu. Dan sekarang kamu tahu. Maaf,
Fan.” Kepalanya hanya tertunduk. Air matanya tak dapaat terbendung lagi.
“Aku kecewa sama kamu Ri.” Fandy
bergegas meninggalkan Riri yang masih menunduk menyembunyikan air matanya.
Dear
diary
Harusnya
aku sadar. Cepat atau lambat Fandy pasti akan mengetahui perasaanku padanya. Sehingga
aku lebih siap menghadapi hal itu jika benar terjadi. Namun aku seolah tidur. Aku
tak sadar. Dari dulu memang aku tak pernah sadar. Mulai dari ketika berteman
dengan Fandy. Saat itu aku tak sadar diri siapa aku. Dan berlanjut ketika aku
mencintai Fandy. Dan akhirnya sekarang aku membuat Fandy kecewa dan marah. Sungguh
aku manusia yang paling tak sadar diri.
Sekarang
terlambat untuk sadar. Semua telah terjadi. Aku telah membuat Fandy marah dan
kecewa. Aku telah merusak persahabatan kami. Bodohnya aku! Jahatnya aku! Egoisnya
aku! Aku tahu pasti Fandy sangat marah padaku. Mungkin ini adalah akhir dari
cerita kita. Fandy? Bahkan aku saja marah pada diriku yang tolol ini. Kamu sungguh
tolol, Ri!
Berminggu-minggu Fandy dan Riri
saling menjauh. Jika mereka bertemu tak ada sapa yang terlontar. Benar-benar
seperti saling tidak mengenal. Jangankan untuk bersapa, saling melirikpun
tidak.
Namun tiba-tiba Fandy menemui Riri
di kelasnya. Ia merasa sangat bersalah atas sikap yang berlebihan saat itu. Ia ingin
meminta maaf pada Riri.
“Ri..” panggilnya lirih ketika Riri
sedang duduk di bangku depan kelas.
“Fandy..” katanya dengan wajah
terkejut.
“Aku minta maaf Ri. Aku terlalu
berlebihan saat itu. Aku bener-bener nggak pantas bersikap seperti kemarin. Aku
khilaf.”
“Aku yang harusnya minta maa, Fan. Aku
yang lancang telah mencintaimu. Aku tak tahu diri. Maaf..” kata Riri sambil
melepas kaca matanya kemudian mengelap dan memakainya lagi.
“Kamu nggak salah. Siapa saja boleh
jatuh cinta. Hanya saja aku yang tak mengerti perasaanmu. Walaupun aku nggak
bisa balas rasa kamu, tapi aku hargai perasaan kamu. Kita tetap bersahabat kan?”
“iya, kita bersahabat.”
Riri dan Fandy bersahabat kembali. Lebih
akrab dari yang sebelumnya. Walaupun cintanya tak terbalas, namun ia sangat
bahagia bisa bersahabat dengan Fandy. Ia bersyukur memiliki sahabat sebaik
Fandy.
0 komentar:
Posting Komentar