Share
10:00:00 PM

You're My Candle

Aku terbangun dari tidurku karena mendengar suara berisik. Ah,rasanya belum puas aku tidur. Aku mengusap-usap mataku yang sangat terasa berat untuk dibuka. Aku melihat jam dinding yang tergantung di dinding kamarku. Ternyata masih jam satu dini hari.
Telingaku sudah sering mendengar suara seperti itu. Suara cek-cok mulut yang terkadang disertai suara benda yang dibanting. Dan akupun tahu itu suara Papa dan Mamaku. Dua bulan terakhir ini mereka memang sering bertengkar. Tak jarang aku mendengar mamaku menuduh papaku berselingkuh. Sedangkan papaku tak tinggal diam saja. Papa menyebut mamaku istri durhaka.
Bahkan tak jarang aku mendengar suara tamparan. Aku tahu papa sedang menampar mama.
Seperti itulah keadaan keluargaku. Selama itu pula aku mengalami tekanan batin yang membuat aku hampir gila dan putus asa. Aku sering melampiaskan kemarahanku dengan pulang larut malam. Aku sering bolos sekolah. Aku tahu aku anak perempuan. Tak selayaknya aku seperti itu. Mungkin tak ada orang tua di dunia ini yang bangga mempunyai anak seperti aku. Namun akupun tak pernah bangga mempunyai keluarga yang selalu ditumbuhi rasa benci dan dendam.
Aku mencoba memejamkan mataku lagi. Namun saat mataku terpejam muncul bayang-bayang akan kehancuran keluargaku. Aku resah dan gelisah. Sepanjang malam aku terjaga dari tidurku. Pikiranku melayang kemana-mana. Perlahan-lahan suara yang membuatku resahpun mulai berhenti. Kini yang terdengar hanya isak tangis seorang perempuan. Aku mencoba untuk tidak mendengarkan suara itu. Aku menekan bantal di kedua telingaku. Namun suara itu rasanya kian jelas di telingaku.
Sampai pagi aku terjaga dari tidurku. Aku memutuskan untuk mandi karena jam sudah menunjukkan pukul 06.00. aku memakai seragam putih abu-abuku. Menyisir rambut dan menguncirnya. Aku berdiri di depan cermin cukup lama. Seolah aku sedang memandangi diriku. Namun sesungguhnya pikiranku sedang melayang kemana-mana.
Setelah cukup lama aku termenung di depan cermin, aku langsung keluar kamar dan menuju ke jalan raya dan ke sekolah. Saat berjalan, timbul niat untuk membolos. Kemudian aku berjalan tanpa tujuan. Akhirnya aku sampai di suatu tempat. Aku melihat sekeliling. Sepi. Aku melihat tak jauh dari tempatku berdiri ada rel kereta api. Aku memasang headset di telingaku. Kemudian aku berjalan di sepanjang rel. tujuanku tak lain adalah mengakhiri hidupku dengan membiarkan tubuh ini tertabrak kereta api. Aku mengira ini adalah jalan terbaik untuk aku keluar dari masalah yang aku hadapi saat ini.
Setelah beberapa lamanya aku berjalan di sepanjang rel dengan keadaan tak mendengar apapun aku merasakan ada seseorang mendorongku dari samping. Sehingga aku terdorong dan jatuh beberapa meter dari rel. headsetku terlepas dan suara gesekan roda kereta dengan rel cukup membuatku untuk menutup telinga erat-erat.
Setelah kereta berlalu, seorang pria menghampiriku. Mungkin pria tadi yang mendorongku. Dia memandangku yang masih terduduk di tanah dengan tatapan marah dan benci. Kemudian dia menarikku berdiri dengan cara yang sangat kasar.
“Apa-apan sih?” kataku sambil menarik tanganku dan kemudian membersihkan rok dan kakiku.
“Apa kamu sudah gila? Kamu hampir mati tertabrak kereta tadi. Kamu tau, kalau saja tadi aku telat lima detik saja tubuh kamu ini sudah jadi potongan daging yang siap disantap oleh anjing,” katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya padaku.
“Kamu yang gila. Kenapa kamu nolongin aku? Kenapa nggak kamu biarin aku mati tertabrak kereta? Itu yang aku mau,” kataku sambil menangis. Aku terjatuh karena tak mampu menahan tubuhku. Tubuhku serasa berat.
Pria yang tadi menolongku hanya diam. Kemudian dia membantuku berdiri dan menjauh dari rel kereta. Kemudian dia mendudukkanku di rerumputan. Dia memandangiku yang terus menangis. Dia duduk di sampingku dan terus memandangiku. Cukup lama dia membiarkan aku menangis. Setelah aku sedikit lebih tenang diapun berbicara. “Apa masalahmu sehingga kamu berpikir pendek seperti ini?”
Lama aku terdiam tak menjawab. Dia mengulangi pertanyaannya sekali lagi. Aku pun menceritakan apa yang membuat aku seperti ini. “Orang tuaku akan bercerai. Mamaku menuduh papaku selingkuh. Papaku selalu pulang larut malam. Dan mamaku menyambutnya dengan amarah yang meluap-luap. Tiap malam aku mendengar adu mulut. Bahkan tak jarang papaku melayangkan tamparan ke mamaku. Sementara aku pernah memergoki mamaku sedang jalan dengan laki-laki lain. Papa sudah jarang memberiku uang jatah. Dan mamaku tak pernah memperhatikanku lagi. Dia tak pernah menanyakan apa aku sudah makan. Mungkin dia tak akan bereaksi apapun ketika aku mati kelaparan.”
“Oh, hanya seperti itu,” katanya sambil tersenyum dan memandang jauh ke langit.
Aku memandangnya dengan heran dan marah. “Memang percuma ngomong dengan orang yang nggak pernah ngerti apa yang aku omongin.”
Kemudian aku berdiri dan ingin pergi. Namun pria itu menarikku sehingga aku tertarik dan duduk kembali. Aku sedikit marah dengan perlakuannya. Ketika aku ingin protes, dia mendahului aku berbicara.
“Masih untung mama papamu masih bisa bertengkar,” katanya sambil tetap memandang jauh ke langit.
“Maksud kamu apa?” tanyaku keheranan.
“Hari itu papa mamaku baru saja pulang dari acara pernikahan sepupuku di Semarang. Betapa senangnya aku saat itu. Karena mereka berjanji setelah itu aku akan dibelikan motor impianku. Namun, seketika senang itu berubah menjadi sedih ketika aku mendengar bahwa papa dan mamaku kecelakaan dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Keduanya meninggal. Berat memang, untuk aku dan adikku menerima keadaan. Akhirnya aku bangkit dan memutuskan untuk melanjutkan hidupku dengan sisa harta peninggalan papaku” katanya dengan tersenyum kepada langit.
“Emm.. Maaf. Kamu yang sabar ya,” kataku sambil mengelus pundaknya.
“Nah, kamu bisa menyuruhku sabar. Berarti kamu juga harus bisa lebih sabar dari aku dalam menghadapi masalahmu. Kamu tau? Ujian yang kamu hadapi ini adalah salah satu bentuk rasa sayang Tuhan ke kamu. Tuhan pengen kamu lebih kuat. Dengan masalah yang kamu hadapi, hidup kamu lebih memiliki arti. Anggap saja semua yang terjadi adalah suatu jalan menuju dirimu yang lebih dewasa dan kuat. Kamu tau? Senyum orang-orang yang hidupnya hanya untuk bersenang-senang itu nggak ada artiya bila dibandingkan dengan senyum orang yang berhasil melewati segala ujian. Kelak kamu nanti akan merasakannya.” Kali ini dia memandang wajahku sambil tersenyum.
Aku membalasnya dengan senyum pula. “Eh, iya. Nama kamu siapa? Aku Melly” tanyaku sambil mengulurkan tanganku.
“Aku Indra. Melly? Ah, nama indah itu hampir saja tertera di batu nisan,” katanya sambil menjabat tanganku dan tersenyum.
“Udah dong. Kan aku udah sadar kalo ada orang yang lebih kurang beruntung dari aku,” kataku sambil menyenggolkan tubuhku ketubuhnya. Sehingga dia hampir jatuh ke samping.
“Eh, kamu bolos sekolah ya?”
“Ya. Aku tak punya semangat lagi buat belajar. Eh, tapi sekarang udah semangat kok. Gara-gara denger pencerahan dari kamu.”
“Eh, aku pinjem bolpoin dong.” Tangannya menengadah. Aku kemudian mencarikannya bolpin di dalam tasku. Kemudian setelah dia menerimanya, dia menarik tanganku dan menuliskan nomor handphone di telapak tanganku.
“Eh, kalo ilang kena keringat gimana?” kataku khawatir.
“Ciee.. Yang ngarep banget punya nomor handphoneku,” katanya sambil tersenyum menggodaku.
“Ih, biasa aja tuh.”
“Udah jangan cemberut kayak gitu. SMS saja kalo mau curhat. Jangan telepon ya, kasihan pulsa kamu habis nanti,” katanya sambil menyerahkan kembali bolpoinku.
Aku pulang dengan perasaan tenang. Aku berjanji dalam hati untuk menjalani hidupku dengan penuh semangat. Aku merasa tersesat dan kemudian Indra menjadi penunjuk jalanku. Aku merasa sangat beruntung bisa mengenalnya. Dia seperti malaikat, datang di saat yang tepat. Dia bagaikan lilin, menerangiku dalam kegelapan. Dan dia laksana air yang menyiram taman hatiku yang tandus.
Setibanya di rumah, aku langsung masuk tanpa basa-basi. Aku melihat mamaku duduk di sofa sambil menonton tayangan tv. Aku berlalu tanpa mengucap salam atau apa. Karena dalam hati ada rasa benci terhadap mama. Rasa benci itu muncul sejak aku melihat mama jalan bersama pria lain.
“Mel, tadi Wali Kelas kamu telepon mama. Katanya kamu bolos. Benar?”
“Iya Ma,” jawabku sambil kembali menghampiri mama dan duduk di sofa.
“Mau jadi gelandangan kamu rupanya. Di sekolahin mahal-mahal bukannya belajar serius dan rajin ke sekolah malah bolos. Siapa yang ajarin kamu? Pacar kamu?” kata Mama.
“Kalau Melly jadi gelandangan apa Mama peduli? Kalau Mama sayang sama duit Mama mending nggak usah sekolahin Melly. Secara nggak langsung Mama dan Papalah yang mengajari Melly seperti ini. Melly capek Ma, tiap malem dengerin Papa bentak Mama. Mama marahin Papa dan nuduh Papa selingkuh. Melly cepek. Mama selalu nuduh Papa selingkuh. Padahal Mama sendiri selingkuh. Aku pernah mergokin Mama jalan bareng laki-laki lain. Itu Ma, yang bikin Melly seperti ini.”
“Apa? Mama kamu selingkuh? Apa benar yang kamu katakana Melly?” Tanya papa yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Aku terkejut dengan kedatangan papa yang tiba-tiba. Aku tak tau harus menjawab apa. Aku tak ingin membuat papa dan mama bercerai. Aku hanya menangis dan terdiam tanpa sepatah katapun yang bisa aku ucapkan. Papa mengoyak pundakku dan terus memaksaku untuk berkata.
“Melly, katakan pada Papa, apa benar Mamamu selingkuh? Melly, katakana pada Papa.”
Aku terus menangis dan berlari ke kamar dan mengunci pintuku. Aku menangis tersedu di kamarku. Aku menyesal berkata itu pada mama. Aku menyesal membuat keadaan semakin runyam. Aku menyesal. Sungguh menyesal.
Seminggu setelah kejadian itu papa tak pernah pulang ke rumah. Mamapun tak pernah mengajakku berbicara. Akupun tak pernah pulang larut malam lagi. Setelah pulang sekolah aku langsung menuju kamar dan mengurung diri di dalam kamar sepanjang hari.
Malam itu aku keluar kamar dan menuju meja makan untuk mengambil roti. Aku melihat mama duduk di kursi makan. Tak sepatah katapun yang terucap dari mulut kami. Bahkan kami saling menganggap bahwa di ruangan itu hanya ada benda-benda mati.
“Masih minta makan saja berani bentak-bentak Mamanya. Apalagi kalau udah bisa makan sendiri.  Jangan-jangan Mamanya dijadikan pembantu,” kata Mama dengan tidak memandangku.
Spontan aku meletakkan roti yang aku pegang ke meja makan. Aku kembali ke kamar dan mengunci rapat pintu kamarku. Aku nggak nyangka mama bakal sebenci itu sama aku. Memang benar, mama ataupun papa nggak ada yang peduli sama aku.
Aku tak pernah lagi merasa aman dan nyaman berada di dalam rumah. Hingga akhirnya aku pergi dari rumah. Aku berjalan tanpa tujuan. Semua orang yang aku lewati memandangku prihatin. Nampaknya mereka tau masalah apa yang sedang aku hadapi saat ini. Namun aku tak mempedulikan mereka dan memilih untuk terus berjalan tanpa tujuan.
“Hai Mel, kamu ngapain disini?” sapa seseorang.
“Oh, Hai Ndra. Aku lagi bosen di rumah. Aku pengen jalan-jalan. Kamu sendiri ngapain disini?” jawabku. Ternyata Indra yang menyapaku tadi.
“Aku beli nasi goreng buat adikku. Kamu mau? Kebetulan aku beli dua. Nih, satu buat kamu. Aku tau kamu belum makan,” katanya sambil menyodorkan sebungkus nasi goreng.
Kemudian aku melahap nasi goreng itu. Aku memang lapar, sehingga aku makan seperti si rakus yang kelaparan. Indra hanya memandangiku dengan tertawa kecil. Aku tak peduli dia sedang memandangiku sambil tertawa. Aku terus melahap nasi goreng sampai habis.
“Kenyang Ndra. Makasih ya,” kataku sambil membuang bungkus nasi goreng.
Indra hanya tersenyum dan terus memandangiku. Kemudian dia menarik tanganku dan menggenggamku. Dia meletakkan tanganku di dadanya. Aku hanya diam keheranan sambil membiarkan dia meletakkan tanganku di dadanya.
“Ndra…” kataku menegurnya pelan.
“Aku mencintaimu Mel. Aku sungguh mencintaimu.” Katanya sambil menatap mataku. Matanya berkaca-kaca.
“Aku juga mencintaimu, Ndra,” kataku sambil tersenyum padanya.
Setelah lama berbincang-bincang, akhirnya Indra mengantarku pulang. Dalam hati aku sedikit kecewa dengan Indra. Dia menyatakan perasaannya padaku. Tapi dia tak memintaku untuk menjadi pacarnya. Aku ragu. Apakah Indra hanya ingin mempermainkan perasaanku. Tapi aku tak melihat kebohongan dari matanya ketika menatap mataku.
Malam itu aku tidur pulas. Aku bermimpi. Dalam mimpi aku melihat Indra berpakaian kemeja dan celana yang serba putih menghampiriku yang sedang duduk dengan senyuman. Dia memintaku berdiri dan mencium keningku. Dia juga memelukku erat. Kemudian dia melepaskanku dan meninggalkanku sendiri.
Aku terbangun, ternyata hanya mimpi. Aku mendengar ponselku berbunyi. Ternyata SMS dari Indra. “Morning My Princess. Semangat ya buat sekolahnya. Jangan bolos. Belajar yang pinter. Jangan pikirkan masalah yang di rumah. Buat aku bangga melihat prestasimu. Oke? I Love U”.
Tanpa sadar aku benar-benar jatuh cinta pada Indra. Dia baik. Slalu mendorongku untuk maju. Dia bagaikan lilin dalam hidupku. Lilin yang rela dirinya meleleh lalu tersia-siakan demi menerangiku. Dia menjadi penerang saat cahayaku mulai redup. Dan dia mampu membuatku melihat sisi keindahan dari hidupku. Dia menuntunku berjalan ketika aku hanya bisa merangkak. Dia mengajariku berlari ketika aku baru bisa berjalan. Dan dia mengajari aku terbang ketika aku berlari kencang.
Namun beberapa hari ini dia tak menghubungiku. SMSku tak pernah dibalasnya. Aku mulai gelisah menunggu dia menghubungiku. Aku mulai berpikir bahwa dia hanya hadir dalam hidupku untuk menggoreskan luka di hatiku. Atau dia hanya ingin membuatku terbang dan meninggalkanku terpontang-panting oleh angin ketika aku mulai mencintainya.
Aku lelah menunggu kejelasan dari Indra. Sepertinya dia bener-benar hanya ingin mempermainkanku. Aku sangat marah padanya. Aku telah menyiapkan kata-kata untuk memarahinya ketika dia menghubungiku atau ketika aku menjumpainya. Apalagi kalau sampai aku memergokinya bergandengan dengan wanita lain.
Seminggu setelah Indra menghindar dariku, datanglah seorang anak laki-laki berumur sekitar 14 tahun. Dia mengetuk pintu rumahku dan memberiku selembar surat. Lalu aku membacanya.

Dear My Princess,

Surat ini udah lama aku siapkan untukmu. Jauh hari sebelum aku menyatakan bahwa aku mencintaimu. Namun percayalah, jauh hari aku telah mencintaimu sebelum surat ini kubuat. Aku mulai mencintaimu ketika kamu menyenggolkan lenganmu ke tubuhku saat di dekat rel kereta api waktu itu. Aku mulai mengagumimu ketika kamu bilang kamu kembali bersemangat sekolah saat kamu membolos. Dan aku mulai memikirkanmu ketika kamu menyalamiku.
Mulai saat itu, aku telah merangkai kata-kata untuk mengungkapkan perasaanku padamu. Namun, saat aku ingin berkata “Maukah kamu menjadi kekasihku?”­ rasanya sarar-saraf di lidahku tak berfungsi dan membuatku menjadi bisu. Maaf jika aku tak memberimu kejelasan.
Dengan surat ini, kukirim sebuah bukti perasaanku. Mungkin hanya itu yang bisa aku berikan padamu selain ketulusan dan kesetiaan. Maaf aku telah membuatku kecewa


Alm. Indra Wijaya          
Seketika air mataku mengalir deras di pipiku. Aku tak percaya Indra sudah tiada. Bahkan dia menyiapkan surat dan sepasang cincin, satu untukku dan satu untuknya sebelum dia meninggal. Bahkan dia tetap menggunakan cincinnya ketika jasadnya dimasukkan ke liang lahab. Kanker yang menyerangnya telah membuatnya mempersiapkan perpisahan seindah ini untukku.
Namun seindah apapun perpisahan itu, jika aku bisa memilih aku akan memilih menjadi Nyonya Wijaya yang hidupnya miskin namun hatinya kaya akan cinta. Namun aku tau, Indra telah terpatri dalam hatiku. Selamanya dia akan menjadi pengisi doa-doaku sampai aku menyusulnya.

Kini Indra tak lagi menjadi lilin dalam hidupku. Namun dia telah menjadi cahaya yang menerangi setiap langkahku. Aku berjanji akan memperbaiki semua kesalahan yang pernah aku perbuat sebelum dan sesudah aku mengenal Indra.

0 komentar:

Posting Komentar

Share on :