Share
6:23:00 PM

Pengamen Tua dan Alunan Biolanya

Syair demi syair mengalir dengan alunan irama dan nada
Yang membuat hati umat manusia merinding mendengarnya
Alunan yang melengking bak jeritan hati pemainnya
Meronta-ronta memberontak ketidakadilan
Menceritakan kisah pilu pemainnya


Langkah kakinya tak terhitung lagi
Puluhan, ratusan bahkan ribuan kali telapak kakinya menjejak di tanah yang tak bersahaja
Ia tak mempedulikan lagi alas kakinya telah habis termakan aspal
Hanya biola tua dengan senar yang renta
Yang menjadi nadinya
Suara biola itupun tak lagi sama
Namun biola itu seolah menjerit dan meronta setiap ia mainkan
Jeritan yang menggambarkan kehidupannya

Seratus, dua ratus, dan seterusnya
Itulah imbalan yang harus ia terima atas permainan biola yang melejit-lejit itu
Tak peduli terkadang dilempar
Tapi itulah penyambung nyawanya

Badannya yang ringkih dan bungkuk
Seolah telah bersahabat dengan butir-butir debu jalanan
Bajunya kadang koyak oleh angin
Topinya dari anyaman bambu dengan ujung anyaman yang tak teratur
Topi itu sebagai pelindung dari sengatan matahari kota
Sekaligus wadah untuk kepingan rupiah

Matanya tak lagi hitam
Ubanpun mulai tumbuh dengan subur di balik topinya
Kulitnya kusam dan keriput
Jalannya pun terseok-seok

Suara biola tua itu terdengar menyayat
Mengungkapkan kepedihan dan penderitaan
Sangat gemulai tangan tua itu menggesek senar
Menikmati setiap alunan yang perlahan mengalir
Menyesaki dadanya
Ia terhanyut dalam permainannya
Begitu elok namun menyayat
Itulah syair penderitaan

Bisingnya kota tak lagi dipedulikannya
Seolah ia bermain untuk dirinya sendiri
Pikirannya tersedot oleh biola renta dan alunan yang timbul
Dan matanya terpejam

Tak mempedulikan keping rupiah yang jatuh dari tangan tuan dan nyonya

0 komentar:

Posting Komentar

Share on :