Syair demi
syair mengalir dengan alunan irama dan nada
Yang
membuat hati umat manusia merinding mendengarnya
Alunan
yang melengking bak jeritan hati pemainnya
Meronta-ronta
memberontak ketidakadilan
Menceritakan
kisah pilu pemainnya
Langkah
kakinya tak terhitung lagi
Puluhan,
ratusan bahkan ribuan kali telapak kakinya menjejak di tanah yang tak bersahaja
Ia tak
mempedulikan lagi alas kakinya telah habis termakan aspal
Hanya
biola tua dengan senar yang renta
Yang
menjadi nadinya
Suara
biola itupun tak lagi sama
Namun
biola itu seolah menjerit dan meronta setiap ia mainkan
Jeritan
yang menggambarkan kehidupannya
Seratus,
dua ratus, dan seterusnya
Itulah
imbalan yang harus ia terima atas permainan biola yang melejit-lejit itu
Tak peduli
terkadang dilempar
Tapi
itulah penyambung nyawanya
Badannya
yang ringkih dan bungkuk
Seolah
telah bersahabat dengan butir-butir debu jalanan
Bajunya
kadang koyak oleh angin
Topinya
dari anyaman bambu dengan ujung anyaman yang tak teratur
Topi
itu sebagai pelindung dari sengatan matahari kota
Sekaligus
wadah untuk kepingan rupiah
Matanya
tak lagi hitam
Ubanpun
mulai tumbuh dengan subur di balik topinya
Kulitnya
kusam dan keriput
Jalannya
pun terseok-seok
Suara
biola tua itu terdengar menyayat
Mengungkapkan
kepedihan dan penderitaan
Sangat
gemulai tangan tua itu menggesek senar
Menikmati
setiap alunan yang perlahan mengalir
Menyesaki
dadanya
Ia
terhanyut dalam permainannya
Begitu
elok namun menyayat
Itulah
syair penderitaan
Bisingnya
kota tak lagi dipedulikannya
Seolah
ia bermain untuk dirinya sendiri
Pikirannya
tersedot oleh biola renta dan alunan yang timbul
Dan
matanya terpejam
Tak
mempedulikan keping rupiah yang jatuh dari tangan tuan dan nyonya
0 komentar:
Posting Komentar