Share
6:18:00 PM

Aku Tak Sesempurna Kakakku

                Terkadang keputusasaan memunculkan sebuah motivasi bahkan ide gila. Mungkin ini yang sedang terjadi padaku. Ketika semua sisi dari dunia ini seolah membuatku terpojok dan tertekan. Aku ingin berteriak meminta tolong. Tapi seolah mereka menutup telinga dan sengaja tidak mendengarku. Lantas, apa yang harus aku lakukan? Hanya menangis meratapi takdir? Semakin aku menangis, semakin kuat berbagai sisi dunia menekanku.

                Sudah seharian aku termenung di dalam kamar ini. Mungkin jika seminggu aku berada di sini terus-menerus, aku akan jadi gila. Bagaimana tidak? Aku hanya merenungi nasibku yang… Ah, kalau saja papa dan mama tahu betapa aku ingin dihargai oleh mereka. Aku tak mengerti mengapa mereka selalu meremehkanku. Mereka selalu menganggapku seolah aku baru belajar berjalan kemarin?
                Mereka tak pernah membiarkanku mandiri. Hal inilah yang membuatku selalu terkekan. Aku dianggap tak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya ingin mereka menghargai aku. Seperti mereka menghargai kakakku yang sekarang kuliah di Singapura.
                Aku tahu aku tak sepandai kakakku. Aku tahu itu. Mungkin itulah alasan papa dan mama selalu meremehkanku dan menekanku. Mereka selalu memuji kakakku seolah anak mereka hanya kakakku. Terkadang aku iri. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Aku memang tak sepandai kakaku.
                Bahkan papa dan mama selalu saja membanding-bandingkan aku dengan kakakku. Bukan hanya di depanku, bahkan mereka melakukannya di depan teman-teman mereka. Apa mereka tak malu? Justru mereka berkata dengan bangga. Iya, karena memang hanya kakakku yang jadi kebanggaan mereka.
                Sementara aku, aku hanya akan ada di belakang, tertutup bayang-bayang kakakku. Bayang-bayang yang tak pernah memberiku kesempatan untuk bersinar. Sehingga aku hanya sebuah benda gelap tak berarti dan tak bersinar.
                Hidup memang tak adil. Aku terlahir dengan kemampuan yang terbatas. Harusnya papa dan mama sadar itu. Sehingga mereka tak harus menuntutku untuk sesempurna kakakku. Aku yakin jika aku sejenius Albert Einstein atau Isaac Newton, kakakku pasti juga akan sama. Sama seperti aku yang selalu tertekan.
***
                Hari itu papa dan mama mengajakku ke pesta temannya. Katanya pesta syukuran karena anak temannya telah lulus dari kuliahnya di luar negeri. Aku tak peduli, aku hanya tak ingin berdebat dengan papa dan mama karena aku menolak ajakan mereka. Apalagi aku paling tak tahan dengan ocehan mama yang selalu saja menyangkutkan segalanya dengan kakakku.
                Mama tak bisa sehari saja berhenti menyebut nama kakakku. Aku kadang lelah, telingaku rasanya gatal ketika mendengar nama kakakku disebut. Apalagi jika itu ada sangkut-pautnya denganku. Rasanya ingin kulepas telinga ini.
                “Vi, nanti kalau ditanya mau kuliah dimana jawab saja di UI. Mama yakin kamu pasti diterima disana. Bilang saja alasannya kamu tak mau jauh sama Papa dan Mama,” kata mama di jalan.
                “Vio nggak mau ah, Ma. Iya kalau Vio keterima. Kalau nggak, apa Mama nggak malu?” jawabku dengan ekspresi cuek dan ogah.
                “Memangnya sobodoh apa sih kamu di sekolah sampai kamu pesimis untuk masuk UI? Itu baru UI lho, belum universitasnya kakakmu yang di Singapura.”
                “Mama tanya sebodoh apa aku di sekolah? Mama nggak pernah lihat nilai di raporku? Mama terlalu sibuk kirim uang buat kakak. Terlalu sibuk nelfonin kakak. Yang dipikiran Mama cuma kakak. Aku nggak pernah ada di pikiran Mama.”
                “Kamu ini ngomong apa? Kamu tetep Mama pikirin dong. Tapi urusan kakakmu jauh lebih penting. Jadi Mama harus bijaksana dalam mengambil langkah. Harusnya kamu mengerti Mama dong. Jangan cuma minta diperhatikan dan nyalahin Mama.”
                “Aku sama sekali nggak mengerti Mama. Dan Mama sama sekali nggak pernah mengerti aku. Jadi imapas dong.”
                “Jangan sembarangan kamu bicara. Mama selalu ngertiin kamu.”
                “Kalau Mama ngerti sama perasaan aku, Mama nggak mungkin banding-bandingin aku sama kakak. Mama juga harus tahu seberapa kemampuanku. Aku tak sepandai kakak, Ma.”
                “Maka dari itu, jadikan kakakmu sebagai contoh.”
                “Mama memang nggak mengerti perasaan aku. Sampai kapanpun Mama nggak bakal ngerti.”
                Dalam perjalanan kami saling membisu. Aku benar-benar muak dengan cara berpikir papa dan mama. Mereka selalu mengukur semua kemampuanku berdasarkan apa yang telah kakakku raih. Itulah yang membuatku nyasar ke SMU yang dipenuhi orang-orang jenius ini. Ya, semua itu karena kakakku dulu bersekolah disini. Tapi kami berbeda.
                Aku merasa bahwa aku ini orang paling bodoh sedunia. Apalagi dalam keluargaku. Mereka semua jenius kecuali aku. Bukannya aku tak punya rasa malu diolok-olok sama papa dan mama, aku malu. Sungguh malu yang tak terhingga. Tapi aku lebih tertekan.         
***
                “Viona, Vi…”
                Perlahan-lahan kubuka mataku. Aku tahu suara yang membisingkan itu adalah suara mama. Aku tahu pasti mama akan menyuruhku segera mandi dan les privat karena guruku sudah pasti menungguku. Tak peduli ini adalah libur semester. Karena memang inilah obsesi mama, membuatku sejenius kakakku.
                “Iya, Ma. Vio udah bangun,” kataku sambil membuka pintu.
                Aku melihat mamaku berdiri tepat di depan pintu kamarku sambil tersenyum. Tak lama kemudian muncul sosok pria bertubuh tegap dengan kemeja yang sangat rapi. Aku benar-benar terkejut melihat pria itu. Pria yang bagiku membuat hidupku serba sial, karenanya aku tak dihargai dalam rumah ini. Iya, dia kakakku yang baru pulang dari Singapura.
                “Kakak…” kataku terbengong-bengong.
                “Cepat mandi, kakakmu udah siap membuatmu jadi pintar,” kata mama sambil menepuk pundak kakakku. Sementara kakakku tersenyum bangga kepada dirinya sendiri.
                “Tapi Viona kan bisa diajari guru privat Viona,” protesku. Aku malas dengan sikap kakakku yang menyebalkan itu. Dia suka mengaturku sesuai dengan keinginannya.
                “Karena aku lebih pintar dari pada gurumu,” sahut kakakku sambil menekan jari telunjuknya pada hidungku. Aku hanya menepis tangannya dari hidungku.
                Kututup pintu kamarku. Melihat kehadirannya telah membuatku menderita. Apalagi jika aku harus menjadi muridnya. Kubaringkan tubuhku di kasur. Pandanganku menerawang ke langit-langit kamarku. Aku seolah melihat hari-hari gelap yang akan kulalui selama kakakku berada di Indonesia.
                “Viona, cepat…”
                Seusai mandi, akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar. Kutemui kakakku yang telah menungguku di tempat biasanya aku belajar. Melihatku, kakak langsung tersenyum. Aku tahu senyumnya bukan senyum yang tulus.
                “Ayo, cepat…”
                “Sabar dong. Aku mau buat minuman dulu. Aku nggak bisa belajar tanpa ada minuman.”
                “Kalau mau pandai, hilangkan kebiasaanmu yang bisa mengganggu belajarmu,” katanya seraya menarik tanganku.
                Kali ini aku mengalah. Aku turuti perintahnya yang menyebalkan itu. Walaupun tak sepenuh hati, akhirnya kubuka buku kimiaku. Aku tak peduli kalau nanti aku harus di marahi karena tak sanggup mengerjakan soal yang mudah. Lagi pula aku sudah terbiasa dari kecil. Ia selalu menyentil jariku, menjewerku atau menarik hidungku jika aku salah dalam mengerjakan soal latihan. Inilah yang aku benci.
                Aku mati-matian berusaha untuk fokus dengan apa yang diajarkannya. Tak bisa kupungkiri bahwa ia adalah pria jenius. Tak salah memang jika papa dan mama selalu membanggakannya. Tapi itu adalah hal yang kubenci. Karena hal itu yang membuatku tersingkirkan dari keluargaku sendiri.
                Di tengah-tengah usahaku untuk fokus, tiba-tiba ponselku berbunyi. Dengan cepat tanganku meraih ponselku yang tak jauh dariku. Kubaca, ternyata SMS dari Bagas, kekasihku. Aku memang terbiasa belajar dengan ponsel tak jauh dari tempatku.
                Namun, nampaknya kakakku tak suka dengan aktivitasku. Ia merebut ponsel yag berada di tanganku. Matanya melototiku. Kemudian dibacanya SMS yang ada di ponselku.
                “Mati aku… Kak, balikin ponselku dong.”
                “Nggak. Siapa Bagas? Pacarmu ya?”
                “Temen kok Kak,” jawabku berbohong.
                “Aku nggak percaya. Akan kulaporkan hal ini ke Papa dan Mama. Sementara ponselmu kusita.” Ia kemudian beranjak pergi.
                “Kak, balikin ponselku dong, Kak. Kak Ryan kenapa nggak pernah biarin aku bahagia sih?” pintaku sambil menahan lengannya.
                Ia tetap diam dan tak menghiraukanku. Ditinggalkannya aku sendiri bersama buku-buku yang berserakan di atas maupun di bawah  meja. Seketika moodku untuk belajar jadi hilang. Menyebalkan.
***
                “Papa kecewa sama kamu, Vi. Kamu anak perempuan papa satu-satunya…”
                “Memangnya aku masih Papa anggap sebagai anak Papa?” sahutku.
                “Kamu…” kata papa tertahan.
                Kakakku yang berada di samping papaku bangkit dan berjalan menghampiriku dengan tatapan yang tajam. Sungguh tak kuduga sebuah tamparan melayang dari tangannya dan berhasil mendarat di pipiku. Rasanya langit runtuh menimpa tubuhku dan tak membiarkanku bernapas.
                “Kamu tak seharusnya berbicara seperti itu pada Papa,” bentak kakakku.
                “Memang aku tak pantas berbicara seperti itu. Dan aku tak pantas memanggil dia Papa,” balasku sambil menunjuk papaku.
                Sontak kata-kataku memancing kemarahan kakakku. Ia mengangkat tangannya dan ingin menamparku kembali.
                “Apa? Kakak mau nampar aku lagi? Tampar aja, Kak! Aku memang tak pantas berada di keluarga ini. Kalian semua udah nyia-nyiain aku. Sampai kapanpun kalian nggak akan pernah ngerti perasaanku.”
                Aku berlari keluar rumah. Aku merasa sudah tak pantas berada di antara orang-orang pandai seperti mereka. Dan mereka sudah menyia-nyiakan aku yang bodoh ini. Aku tak peduli lagi. Aku tak mau pulang lagi ke rumah terkutuk itu. Terkutuklah rumah itu beserta isinya.
                Aku terus melangkah tanpa tujuan mengikuti kehendak kakiku. Hanya baju yang kukenakan harta berhargaku. Aku sudah tak peduli lagi kalaupun aku nanti harus tidur di bawah emperan toko dan menjadi orang jalanan. Bagiku itulah hidup. Karena selama ini aku merasa mati. Aku merasa tak bergerak. Dan aku hanya anak bodoh yang terabaikan.
                Sejam, dua jam, tiga jam aku melangkah. Hingga akhirnya malampun tiba. Dari tempat aku berdiri, aku bisa melihat ribuan bintang yang bersinar terang. Tiba-tiba seorang perempuan sebayaku menghampiriku. Ia berdiri di sampingku dan tersenyum padaku.
                “Sendirian aja?” sapanya.
                “Iya.”
                “Kenalin, namaku Raisa. Kamu siapa?” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Senyumnya manis sekali.
                “Aku Viona.” Aku menerima jabatan tangannya.
                “Kamu suka lihat bintang ya? Kamu sering ke sini?”
                “Nggak juga. Emang kebetulan aja aku lagi lewat sini. Nggak sengaja aku perhatiin langit, dan ternyata ada ribuan bintang yang indah di sana. Aku jadi tertarik untuk memandangnya lebih lama.”
                “Aku suka sekali melihat bintang. Aku suka lihat bintang kalau suasana hatiku lagi kacau. Setelah puas melihat mereka, hatiku bisa tenang kembali.”
                “Jadi, kamu sekarang lagi ada masalah?” tanyaku sambil menoleh ke arah gadis itu.
                “Begitulah. Kakakku sebentar lagi mau menikah dan menetap di Malaysia. Dia itu saudaraku satu-satunya.”
                “Kamu sayang banget sama kakakmu?”
                “Sudah pasti. Dia selalu menjadi pelindungku saat aku kecil dulu. Bahkan aku ingat ketika dia dipukuli teman-teman laki-laki di kelasku hanya karena dia ingin melindungiku yang sering diganggu mereka. Dia pernah berkata padaku bahwa dia akan menjadi yang terkuat untuk melindungiku. Dan dia buktikan itu. Sampai suatu saat orang tuaku tak mampu membiayai sekolahku, dialah yang bekerja keras mencari uang untuk membiayai sekolahku.”
                “Beruntung sekali kamu mempunyai kakak sebaik dia. Kalau saja aku punya kakak sebaik kakakmu, pasti aku tidak akan ada di sini. Di tempat yang sepi tanpa tujuan.”
                “Kalau kamu tidak ada di sini, kita pasti tidak akan bertemu. Iya, kan?” Ia tertawa begitu lepas. Nampaknya dia tak sungkan padaku yang baru saja ia kenal.
                “Iya sih.” Akupun ikutan tertawa karena gadis itu.
                “Memangnya kamu nggak punya saudara?”
                “Punya. Tapi…”
                “Tapi kenapa?” Dia mulai serius menyimak kata demi kata yang kuucapkan.
                “Aku punya seorang kakak laki-laki. Dia pandai sekali. Dia tampan dan gagah. Papa dan mama sangat menyayanginya dan bangga kepadanya…”
                “Lantas?”
                “Itulah awal dari semua kesusahan dalam hidupku. Aku ini orang bodoh. Tak sepandai kakakku. Bahkan jika dibandingkan, kami sangat jauh berbeda. Kami bagaikan sebuah jagung dan bijinya. Dia jagung dan aku bijinya, sama sekali tak sebanding. Mama dan papaku selalu menekanku. Apapun tentang diriku selalu diukur dengan kemampuan kakakku, dengan apa yang telah diraih kakakku. Kadang aku lelah dan bertanya-tanya kenapa aku makhluk yang tolol bisa nyasar lahir dalam keluarga yang jenius ini. Aku lelah Ra…”
                “Aku tahu, Vi. Terkadang dalam sebuah keluarga memang seperti itu. Tapi percayalah, mama dan papa kamu juga kakak kamu pasti menyayangi kamu. Hanya saja mereka tak sadar jika apa yang mereka lakukan itu membuatmu merasa tertekan dan terabaikan.”
                “Tapi mereka harusnya tahu kalau aku tak sepandai kakakku. Aku tak sesempurna dia.”
                “Kita tak bisa menuntut orang lain agar benar-benar mengerti kita. Terkadang mata hati mereka tertutup dengan keinginan yang menggebu-gebu dan rasa tak ingin mengerti. Setiap orang memang mempunyai kapasitas dan kemampuan yang berbeda-beda. Tapi percayalah, setiap makhluk diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sayangnya, Tuhan tak membiarkan kelebihan kita itu kita ketahui dengan mudah. Maka dari itu, kita harus berusaha menggali dan mencari tahu apa kelebihan kita. Memang sering kali kekurangan lebih jelas terlihat dari pada kelebihan yang sering kali tersembunyi. Itulah cara Tuhan mengajarkan kita untuk berusaha.”
                “Tapi kenapa kelebihan kakakku lebih mudah ditemukan dari pada aku?”
                “Tuhan telah mengukur seberapa kuat umat-Nya untuk bertahan dalam ujiannya dan seberapa keras usahanya. Artinya, kamu jauh lebih kuat dari pada kakakku di mata Tuhan.”
                “Tapi dari mana aku harus mencari kelebihanku?”
                “Dari sini.” Tangannya sambil menunjuk dada Viona.
                “Maksudmu apa? Aku nggak ngerti.”
                “Baiklah. Apa hobi kamu?”
                “Aku suka ngeband bersama teman-temanku. Memang bandku nggak terkenal. Tapi rasanya bandku telah mendarah daging dan mengurat nadi dalam tubuhku.”
                “Kenapa kamu nggak fokus sama bandmu dan buktikan pada keluargamu bahwa kamu bisa berhasil walaupun tidak mengikuti jejak kakakmu. Ingatlah, keberhasilan tidak harus diraih dengan kemampuan akademis. Jika kamu sukses dalam bidang akademis tapi bukan itu mimpimu, itu sama saja kamu belum berhasil. Tapi kerja keras dan usahalah yang menentukan, serta ridho Tuhan.”
                “Tapi rasanya nggak mungkin aku kembali ke rumah sebelum aku berhasil meraih mimpiku.”
                “Baiklah, kamu tinggal saja di rumahku. Orang tuaku pasti nggak keberatan.”
                Aku berjalan di belakang Raisa. Aku tak menyangka ada orang sebaik dia. Kami baru sama berkenalan, tapi dia sudah mempercayaiku untuk tinggal di rumahnya. Aku tak tahu bagaimana caraku membalas kebaikannya. Tapi aku yakin, jika bukan aku yang membalas kebaikannya padaku, pasti Tuhan akan membalasnya, jauh lebih indah. Aku percaya janji Tuhan.
***
                Setelah beberapa hari aku tinggal di rumah Raisa, aku mulai mendapatkan pencerahan tentang arti keluarga yang sesungguhnya. Aku justru merasakan hangatnya kekeluargaan dari rumahnya. Bukan hanya Raisa yang baik padaku, orang tuanya pun telah menganggapku seperti anak mereka.
                “Ya Tuhan, kenapa aku tak merasakan kehangatan keluarga dari mereka yang seharusnya memberiku kehangatan? Kenapa justru aku merasakan kehangatan keluarga dari mereka yang bukan keluargaku? Kenapa orang tuaku tak seperti orang tua Raisa, Tuhan?
                Tuhan, terima kasih atas apa yang telah Kau berikan padaku. Kini aku sadar tentang arti keluarga yang sesungguhnya dari Raisa dan keluarganya. Berikanlah mereka balasan yang terindah atas apa yang telah mereka lakukan padaku. Tuhan, tak mengapa jika papa, mama dan kak Ryan tak menghargaiku bahkan tak menganggap keberadaanku. Aku tahu ini semua rencana-Mu. Aku tahu rencana-Mu adalah yang terindah bagiku, karena Kau adalah perancang terbaik di dunia.
                Tuhan, aku percaya kelak akan Kau turunkan hidayah-Mu pada orang tuaku dan kakakku. Sehingga mereka nanti akan menghargaiku dan menyayangiku seperti mimpiku selama ini. Aku yakin cepat atau lambat mereka akan menghargaiku dan menyayangiku. Aku tak peduli jika mereka menyadarinya setelah aku tiada.
                Tuhan, aku baru menyadari bahwa apa yang terjadi padaku adalah apa yang terbaik bagiku setelah aku dengan sepenuh hati bersujud kepada-Mu. Maafkan khilafku yang terkadang menyalahkan takdir yang telah Kau tentukan padaku. Maafkan aku yang terkadang marah dan muak pada pemberian-Mu. Maafkan aku, Tuhan…”
                Kini aku memfokuskan diri pada bandku. Namun aku tetap melanjutkan sekolahku, walaupun aku harus memeras keringat dan membanting tulang hanya untuk membiayai sekolahku sendiri. Ternyata seperti inilah beratnya mencari uang. Sekarang aku tahu kenapa papa dan mama terlalu terobsesi menjadikanku orang jenius. Karena mereka tak menginginkanku kesulitan dalam mengais rezeki.
                Beberapa lagu telah aku tulis dan bandku telah beberapa kali masuk studio rekaman. Kini bandku sedikit lebih terkenal dari pada sebelumnya. Dan aku telah menikmati hasil dari syair-syair yang setiap malam aku rangkai kata demi kata.
                Suatu malam aku mendapat ide untuk mengadakan konser dan mengundang papa, mama serta kakakku. Akupun telah menciptakan lagu khusus untuk mereka. Aku ingin mereka sadar bahwa aku yang telah terbuangpun masih menyayangi mereka, masih menganggap mereka keluarga.
***
                Berbulan-bulan aku telah mempersiapkan konser itu bersama teman-teman bandku. Aku sengaja mengundang keluargaku tanpa memberi tahu bahwa akulah yang mengundang mereka. Aku takut kalau mereka enggan menghadiri konser ini.
                Hari yang kunantipun telah tiba. Dari balik panggung aku bisa melihat keluargaku duduk di tempat VIP. Ini adalah konser terbesar yang pernah aku adakan bersama bandku. Aku juga mengundang keluarga dari teman-teman bandku.
                Setelah beberapa lagu selesai dibawakan band-band tamu, aku mulai menaiki panggung. Aku memberi sepatah dua patah kata untuk para hadirin.
                “Terima kasih kami ucapkan kepada teman-teman sekalian beserta tamu undangan yang telah menghadiri konser kami. Terima kasih karena kalian telah mensuport band kami, sehingga kami dapat berdiri di panggung ini dalam konser termegah yang pernah kami adakan. Konser ini terutama kami tujukan kepada tamu undangan yang berada di kursi VIP selaku keluarga dari personil band kami, serta teman-teman yang selalu mensuport kami.
                Sebelumnya, kami akan membawakan single terbaru kami. Dan akan kami bawakan di sini untuk yang pertama kalinya. Saya menulis lagu ini untuk keluarga saya yang berada di kursi VIP. Saya ingin mencurahkan segala rasa kasih sayang dan cinta yang terpendam dalam hati saya. Mama, Papa, Kak Ryan… Vio sayang sama kalian. Maafin Viokalau Vio banyak salah pada kalian. This song for you”
                Aku membawakan lagu dengan penuh perasaan. Hingga tanpa sadar aku menitikkan air mata ketika aku menyanyikan lagu itu. Kulihat dari atas panggung, keluargakupun sama. Mereka juga menitikkan air mata.
                Setelah lagu selesai, aku segera turun panggung dan berlari menghampiri tempat mereka duduk. Aku berlutut di hadapan mereka sambil tanpa hentinya mulutku mengatakan kata maaf.
                “Bangun, Sayang…” kata mama sambil mengangkat tubuhku untuk bangun.
                Aku mencium tangan mereka satu per satu dan memeluk mereka. Merekapun membalas pelukanku dengan erat.
                “Maafin Vio, Ma, Pa, Kak Ryan. Vio sayang sama kalian.”
                “Bukan, Sayang. Ini bukan salah kamu. Ini salah kami yang tak mempedulikanmu. Papa nggak nyangka kamu punya bakat terpendam. Andai Papa menyadari itu dari dulu…”
                “Iya, Sayang. Hari ini kamu cantik. Kamu putri Mama yang paling cantik.” Mama memelukku dan mengusap rambutku.
                “Lagumu bagus dan kamu hebat, Sista,” kata kakakku sambil menepuk pundakku.

                “Ya Tuhan, terima kasih atas nikmat-Mu hari ini dan hari-hari yang telah lalu. Kini aku tenang karena mimpiku telah terwujud. Mereka telah memelukku dan berjanji tidak akan melepasku lagi, Tuhan.”

0 komentar:

Posting Komentar

Share on :