Terkadang keputusasaan
memunculkan sebuah motivasi bahkan ide gila. Mungkin ini yang sedang terjadi
padaku. Ketika semua sisi dari dunia ini seolah membuatku terpojok dan
tertekan. Aku ingin berteriak meminta tolong. Tapi seolah mereka menutup
telinga dan sengaja tidak mendengarku. Lantas, apa yang harus aku lakukan?
Hanya menangis meratapi takdir? Semakin aku menangis, semakin kuat berbagai
sisi dunia menekanku.
Sudah seharian aku termenung di
dalam kamar ini. Mungkin jika seminggu aku berada di sini terus-menerus, aku
akan jadi gila. Bagaimana tidak? Aku hanya merenungi nasibku yang… Ah, kalau
saja papa dan mama tahu betapa aku ingin dihargai oleh mereka. Aku tak mengerti
mengapa mereka selalu meremehkanku. Mereka selalu menganggapku seolah aku baru
belajar berjalan kemarin?
Mereka tak pernah membiarkanku
mandiri. Hal inilah yang membuatku selalu terkekan. Aku dianggap tak bisa
melakukan apa-apa. Aku hanya ingin mereka menghargai aku. Seperti mereka
menghargai kakakku yang sekarang kuliah di Singapura.
Aku tahu aku tak sepandai
kakakku. Aku tahu itu. Mungkin itulah alasan papa dan mama selalu meremehkanku
dan menekanku. Mereka selalu memuji kakakku seolah anak mereka hanya kakakku.
Terkadang aku iri. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Aku memang tak sepandai
kakaku.
Bahkan papa dan mama selalu saja
membanding-bandingkan aku dengan kakakku. Bukan hanya di depanku, bahkan mereka
melakukannya di depan teman-teman mereka. Apa mereka tak malu? Justru mereka
berkata dengan bangga. Iya, karena memang hanya kakakku yang jadi kebanggaan
mereka.
Sementara aku, aku hanya akan
ada di belakang, tertutup bayang-bayang kakakku. Bayang-bayang yang tak pernah
memberiku kesempatan untuk bersinar. Sehingga aku hanya sebuah benda gelap tak
berarti dan tak bersinar.
Hidup memang tak adil. Aku
terlahir dengan kemampuan yang terbatas. Harusnya papa dan mama sadar itu.
Sehingga mereka tak harus menuntutku untuk sesempurna kakakku. Aku yakin jika
aku sejenius Albert Einstein atau Isaac Newton, kakakku pasti juga akan sama.
Sama seperti aku yang selalu tertekan.
***
Hari itu papa dan mama
mengajakku ke pesta temannya. Katanya pesta syukuran karena anak temannya telah
lulus dari kuliahnya di luar negeri. Aku tak peduli, aku hanya tak ingin
berdebat dengan papa dan mama karena aku menolak ajakan mereka. Apalagi aku
paling tak tahan dengan ocehan mama yang selalu saja menyangkutkan segalanya
dengan kakakku.
Mama tak bisa sehari saja
berhenti menyebut nama kakakku. Aku kadang lelah, telingaku rasanya gatal
ketika mendengar nama kakakku disebut. Apalagi jika itu ada sangkut-pautnya
denganku. Rasanya ingin kulepas telinga ini.
“Vi, nanti kalau ditanya mau
kuliah dimana jawab saja di UI. Mama yakin kamu pasti diterima disana. Bilang
saja alasannya kamu tak mau jauh sama Papa dan Mama,” kata mama di jalan.
“Vio nggak mau ah, Ma. Iya kalau
Vio keterima. Kalau nggak, apa Mama nggak malu?” jawabku dengan ekspresi cuek
dan ogah.
“Memangnya sobodoh apa sih kamu
di sekolah sampai kamu pesimis untuk masuk UI? Itu baru UI lho, belum
universitasnya kakakmu yang di Singapura.”
“Mama tanya sebodoh apa aku di
sekolah? Mama nggak pernah lihat nilai di raporku? Mama terlalu sibuk kirim
uang buat kakak. Terlalu sibuk nelfonin kakak. Yang dipikiran Mama cuma kakak.
Aku nggak pernah ada di pikiran Mama.”
“Kamu ini ngomong apa? Kamu
tetep Mama pikirin dong. Tapi urusan kakakmu jauh lebih penting. Jadi Mama
harus bijaksana dalam mengambil langkah. Harusnya kamu mengerti Mama dong.
Jangan cuma minta diperhatikan dan nyalahin Mama.”
“Aku sama sekali nggak mengerti
Mama. Dan Mama sama sekali nggak pernah mengerti aku. Jadi imapas dong.”
“Jangan sembarangan kamu bicara.
Mama selalu ngertiin kamu.”
“Kalau Mama ngerti sama perasaan
aku, Mama nggak mungkin banding-bandingin aku sama kakak. Mama juga harus tahu
seberapa kemampuanku. Aku tak sepandai kakak, Ma.”
“Maka dari itu, jadikan kakakmu
sebagai contoh.”
“Mama memang nggak mengerti
perasaan aku. Sampai kapanpun Mama nggak bakal ngerti.”
Dalam perjalanan kami saling
membisu. Aku benar-benar muak dengan cara berpikir papa dan mama. Mereka selalu
mengukur semua kemampuanku berdasarkan apa yang telah kakakku raih. Itulah yang
membuatku nyasar ke SMU yang dipenuhi orang-orang jenius ini. Ya, semua itu
karena kakakku dulu bersekolah disini. Tapi kami berbeda.
Aku merasa bahwa aku ini orang
paling bodoh sedunia. Apalagi dalam keluargaku. Mereka semua jenius kecuali
aku. Bukannya aku tak punya rasa malu diolok-olok sama papa dan mama, aku malu.
Sungguh malu yang tak terhingga. Tapi aku lebih tertekan.
***
“Viona, Vi…”
Perlahan-lahan kubuka mataku.
Aku tahu suara yang membisingkan itu adalah suara mama. Aku tahu pasti mama
akan menyuruhku segera mandi dan les privat karena guruku sudah pasti
menungguku. Tak peduli ini adalah libur semester. Karena memang inilah obsesi mama,
membuatku sejenius kakakku.
“Iya, Ma. Vio udah bangun,”
kataku sambil membuka pintu.
Aku melihat mamaku berdiri tepat
di depan pintu kamarku sambil tersenyum. Tak lama kemudian muncul sosok pria
bertubuh tegap dengan kemeja yang sangat rapi. Aku benar-benar terkejut melihat
pria itu. Pria yang bagiku membuat hidupku serba sial, karenanya aku tak
dihargai dalam rumah ini. Iya, dia kakakku yang baru pulang dari Singapura.
“Kakak…” kataku
terbengong-bengong.
“Cepat mandi, kakakmu udah siap membuatmu
jadi pintar,” kata mama sambil menepuk pundak kakakku. Sementara kakakku
tersenyum bangga kepada dirinya sendiri.
“Tapi Viona kan bisa diajari
guru privat Viona,” protesku. Aku malas dengan sikap kakakku yang menyebalkan
itu. Dia suka mengaturku sesuai dengan keinginannya.
“Karena aku lebih pintar dari
pada gurumu,” sahut kakakku sambil menekan jari telunjuknya pada hidungku. Aku
hanya menepis tangannya dari hidungku.
Kututup pintu kamarku. Melihat
kehadirannya telah membuatku menderita. Apalagi jika aku harus menjadi
muridnya. Kubaringkan tubuhku di kasur. Pandanganku menerawang ke langit-langit
kamarku. Aku seolah melihat hari-hari gelap yang akan kulalui selama kakakku
berada di Indonesia.
“Viona, cepat…”
Seusai mandi, akhirnya aku
memutuskan untuk keluar kamar. Kutemui kakakku yang telah menungguku di tempat
biasanya aku belajar. Melihatku, kakak langsung tersenyum. Aku tahu senyumnya
bukan senyum yang tulus.
“Ayo, cepat…”
“Sabar dong. Aku mau buat
minuman dulu. Aku nggak bisa belajar tanpa ada minuman.”
“Kalau mau pandai, hilangkan
kebiasaanmu yang bisa mengganggu belajarmu,” katanya seraya menarik tanganku.
Kali ini aku mengalah. Aku
turuti perintahnya yang menyebalkan itu. Walaupun tak sepenuh hati, akhirnya
kubuka buku kimiaku. Aku tak peduli kalau nanti aku harus di marahi karena tak
sanggup mengerjakan soal yang mudah. Lagi pula aku sudah terbiasa dari kecil.
Ia selalu menyentil jariku, menjewerku atau menarik hidungku jika aku salah
dalam mengerjakan soal latihan. Inilah yang aku benci.
Aku mati-matian berusaha untuk
fokus dengan apa yang diajarkannya. Tak bisa kupungkiri bahwa ia adalah pria
jenius. Tak salah memang jika papa dan mama selalu membanggakannya. Tapi itu
adalah hal yang kubenci. Karena hal itu yang membuatku tersingkirkan dari
keluargaku sendiri.
Di tengah-tengah usahaku untuk
fokus, tiba-tiba ponselku berbunyi. Dengan cepat tanganku meraih ponselku yang
tak jauh dariku. Kubaca, ternyata SMS dari Bagas, kekasihku. Aku memang
terbiasa belajar dengan ponsel tak jauh dari tempatku.
Namun, nampaknya kakakku tak
suka dengan aktivitasku. Ia merebut ponsel yag berada di tanganku. Matanya
melototiku. Kemudian dibacanya SMS yang ada di ponselku.
“Mati aku… Kak, balikin ponselku
dong.”
“Nggak. Siapa Bagas? Pacarmu
ya?”
“Temen kok Kak,” jawabku
berbohong.
“Aku nggak percaya. Akan
kulaporkan hal ini ke Papa dan Mama. Sementara ponselmu kusita.” Ia kemudian
beranjak pergi.
“Kak, balikin ponselku dong,
Kak. Kak Ryan kenapa nggak pernah biarin aku bahagia sih?” pintaku sambil menahan
lengannya.
Ia tetap diam dan tak
menghiraukanku. Ditinggalkannya aku sendiri bersama buku-buku yang berserakan
di atas maupun di bawah meja. Seketika moodku untuk belajar jadi hilang.
Menyebalkan.
***
“Papa kecewa sama kamu, Vi. Kamu
anak perempuan papa satu-satunya…”
“Memangnya aku masih Papa anggap
sebagai anak Papa?” sahutku.
“Kamu…” kata papa tertahan.
Kakakku yang berada di samping
papaku bangkit dan berjalan menghampiriku dengan tatapan yang tajam. Sungguh
tak kuduga sebuah tamparan melayang dari tangannya dan berhasil mendarat di
pipiku. Rasanya langit runtuh menimpa tubuhku dan tak membiarkanku bernapas.
“Kamu tak seharusnya berbicara
seperti itu pada Papa,” bentak kakakku.
“Memang aku tak pantas berbicara
seperti itu. Dan aku tak pantas memanggil dia Papa,” balasku sambil menunjuk
papaku.
Sontak kata-kataku memancing
kemarahan kakakku. Ia mengangkat tangannya dan ingin menamparku kembali.
“Apa? Kakak mau nampar aku lagi?
Tampar aja, Kak! Aku memang tak pantas berada di keluarga ini. Kalian semua
udah nyia-nyiain aku. Sampai kapanpun kalian nggak akan pernah ngerti
perasaanku.”
Aku berlari keluar rumah. Aku
merasa sudah tak pantas berada di antara orang-orang pandai seperti mereka. Dan
mereka sudah menyia-nyiakan aku yang bodoh ini. Aku tak peduli lagi. Aku tak
mau pulang lagi ke rumah terkutuk itu. Terkutuklah rumah itu beserta isinya.
Aku terus melangkah tanpa tujuan
mengikuti kehendak kakiku. Hanya baju yang kukenakan harta berhargaku. Aku
sudah tak peduli lagi kalaupun aku nanti harus tidur di bawah emperan toko dan
menjadi orang jalanan. Bagiku itulah hidup. Karena selama ini aku merasa mati.
Aku merasa tak bergerak. Dan aku hanya anak bodoh yang terabaikan.
Sejam, dua jam, tiga jam aku
melangkah. Hingga akhirnya malampun tiba. Dari tempat aku berdiri, aku bisa
melihat ribuan bintang yang bersinar terang. Tiba-tiba seorang perempuan
sebayaku menghampiriku. Ia berdiri di sampingku dan tersenyum padaku.
“Sendirian aja?” sapanya.
“Iya.”
“Kenalin, namaku Raisa. Kamu
siapa?” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Senyumnya manis sekali.
“Aku Viona.” Aku menerima
jabatan tangannya.
“Kamu suka lihat bintang ya?
Kamu sering ke sini?”
“Nggak juga. Emang kebetulan aja
aku lagi lewat sini. Nggak sengaja aku perhatiin langit, dan ternyata ada
ribuan bintang yang indah di sana. Aku jadi tertarik untuk memandangnya lebih
lama.”
“Aku suka sekali melihat
bintang. Aku suka lihat bintang kalau suasana hatiku lagi kacau. Setelah puas
melihat mereka, hatiku bisa tenang kembali.”
“Jadi, kamu sekarang lagi ada
masalah?” tanyaku sambil menoleh ke arah gadis itu.
“Begitulah. Kakakku sebentar
lagi mau menikah dan menetap di Malaysia. Dia itu saudaraku satu-satunya.”
“Kamu sayang banget sama
kakakmu?”
“Sudah pasti. Dia selalu menjadi
pelindungku saat aku kecil dulu. Bahkan aku ingat ketika dia dipukuli
teman-teman laki-laki di kelasku hanya karena dia ingin melindungiku yang
sering diganggu mereka. Dia pernah berkata padaku bahwa dia akan menjadi yang
terkuat untuk melindungiku. Dan dia buktikan itu. Sampai suatu saat orang tuaku
tak mampu membiayai sekolahku, dialah yang bekerja keras mencari uang untuk
membiayai sekolahku.”
“Beruntung sekali kamu mempunyai
kakak sebaik dia. Kalau saja aku punya kakak sebaik kakakmu, pasti aku tidak
akan ada di sini. Di tempat yang sepi tanpa tujuan.”
“Kalau kamu tidak ada di sini,
kita pasti tidak akan bertemu. Iya, kan?” Ia tertawa begitu lepas. Nampaknya
dia tak sungkan padaku yang baru saja ia kenal.
“Iya sih.” Akupun ikutan tertawa
karena gadis itu.
“Memangnya kamu nggak punya
saudara?”
“Punya. Tapi…”
“Tapi kenapa?” Dia mulai serius
menyimak kata demi kata yang kuucapkan.
“Aku punya seorang kakak
laki-laki. Dia pandai sekali. Dia tampan dan gagah. Papa dan mama sangat
menyayanginya dan bangga kepadanya…”
“Lantas?”
“Itulah awal dari semua
kesusahan dalam hidupku. Aku ini orang bodoh. Tak sepandai kakakku. Bahkan jika
dibandingkan, kami sangat jauh berbeda. Kami bagaikan sebuah jagung dan
bijinya. Dia jagung dan aku bijinya, sama sekali tak sebanding. Mama dan papaku
selalu menekanku. Apapun tentang diriku selalu diukur dengan kemampuan kakakku,
dengan apa yang telah diraih kakakku. Kadang aku lelah dan bertanya-tanya
kenapa aku makhluk yang tolol bisa nyasar lahir dalam keluarga yang jenius ini.
Aku lelah Ra…”
“Aku tahu, Vi. Terkadang dalam
sebuah keluarga memang seperti itu. Tapi percayalah, mama dan papa kamu juga
kakak kamu pasti menyayangi kamu. Hanya saja mereka tak sadar jika apa yang
mereka lakukan itu membuatmu merasa tertekan dan terabaikan.”
“Tapi mereka harusnya tahu kalau
aku tak sepandai kakakku. Aku tak sesempurna dia.”
“Kita tak bisa menuntut orang
lain agar benar-benar mengerti kita. Terkadang mata hati mereka tertutup dengan
keinginan yang menggebu-gebu dan rasa tak ingin mengerti. Setiap orang memang
mempunyai kapasitas dan kemampuan yang berbeda-beda. Tapi percayalah, setiap
makhluk diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sayangnya,
Tuhan tak membiarkan kelebihan kita itu kita ketahui dengan mudah. Maka dari
itu, kita harus berusaha menggali dan mencari tahu apa kelebihan kita. Memang
sering kali kekurangan lebih jelas terlihat dari pada kelebihan yang sering kali
tersembunyi. Itulah cara Tuhan mengajarkan kita untuk berusaha.”
“Tapi kenapa kelebihan kakakku
lebih mudah ditemukan dari pada aku?”
“Tuhan telah mengukur seberapa
kuat umat-Nya untuk bertahan dalam ujiannya dan seberapa keras usahanya.
Artinya, kamu jauh lebih kuat dari pada kakakku di mata Tuhan.”
“Tapi dari mana aku harus
mencari kelebihanku?”
“Dari sini.” Tangannya sambil
menunjuk dada Viona.
“Maksudmu apa? Aku nggak
ngerti.”
“Baiklah. Apa hobi kamu?”
“Aku suka ngeband bersama
teman-temanku. Memang bandku nggak terkenal. Tapi rasanya bandku telah mendarah
daging dan mengurat nadi dalam tubuhku.”
“Kenapa kamu nggak fokus sama
bandmu dan buktikan pada keluargamu bahwa kamu bisa berhasil walaupun tidak
mengikuti jejak kakakmu. Ingatlah, keberhasilan tidak harus diraih dengan
kemampuan akademis. Jika kamu sukses dalam bidang akademis tapi bukan itu
mimpimu, itu sama saja kamu belum berhasil. Tapi kerja keras dan usahalah yang
menentukan, serta ridho Tuhan.”
“Tapi rasanya nggak mungkin aku
kembali ke rumah sebelum aku berhasil meraih mimpiku.”
“Baiklah, kamu tinggal saja di
rumahku. Orang tuaku pasti nggak keberatan.”
Aku berjalan di belakang Raisa.
Aku tak menyangka ada orang sebaik dia. Kami baru sama berkenalan, tapi dia
sudah mempercayaiku untuk tinggal di rumahnya. Aku tak tahu bagaimana caraku
membalas kebaikannya. Tapi aku yakin, jika bukan aku yang membalas kebaikannya
padaku, pasti Tuhan akan membalasnya, jauh lebih indah. Aku percaya janji
Tuhan.
***
Setelah beberapa hari aku
tinggal di rumah Raisa, aku mulai mendapatkan pencerahan tentang arti keluarga
yang sesungguhnya. Aku justru merasakan hangatnya kekeluargaan dari rumahnya.
Bukan hanya Raisa yang baik padaku, orang tuanya pun telah menganggapku seperti
anak mereka.
“Ya Tuhan, kenapa aku tak merasakan kehangatan keluarga dari mereka
yang seharusnya memberiku kehangatan? Kenapa justru aku merasakan kehangatan
keluarga dari mereka yang bukan keluargaku? Kenapa orang tuaku tak seperti
orang tua Raisa, Tuhan?
Tuhan,
terima kasih atas apa yang telah Kau berikan padaku. Kini aku sadar tentang
arti keluarga yang sesungguhnya dari Raisa dan keluarganya. Berikanlah mereka
balasan yang terindah atas apa yang telah mereka lakukan padaku. Tuhan, tak
mengapa jika papa, mama dan kak Ryan tak menghargaiku bahkan tak menganggap
keberadaanku. Aku tahu ini semua rencana-Mu. Aku tahu rencana-Mu adalah yang
terindah bagiku, karena Kau adalah perancang terbaik di dunia.
Tuhan,
aku percaya kelak akan Kau turunkan hidayah-Mu pada orang tuaku dan kakakku.
Sehingga mereka nanti akan menghargaiku dan menyayangiku seperti mimpiku selama
ini. Aku yakin cepat atau lambat mereka akan menghargaiku dan menyayangiku. Aku
tak peduli jika mereka menyadarinya setelah aku tiada.
Tuhan,
aku baru menyadari bahwa apa yang terjadi padaku adalah apa yang terbaik bagiku
setelah aku dengan sepenuh hati bersujud kepada-Mu. Maafkan khilafku yang
terkadang menyalahkan takdir yang telah Kau tentukan padaku. Maafkan aku yang
terkadang marah dan muak pada pemberian-Mu. Maafkan aku, Tuhan…”
Kini aku memfokuskan diri pada
bandku. Namun aku tetap melanjutkan sekolahku, walaupun aku harus memeras
keringat dan membanting tulang hanya untuk membiayai sekolahku sendiri.
Ternyata seperti inilah beratnya mencari uang. Sekarang aku tahu kenapa papa
dan mama terlalu terobsesi menjadikanku orang jenius. Karena mereka tak
menginginkanku kesulitan dalam mengais rezeki.
Beberapa lagu telah aku tulis
dan bandku telah beberapa kali masuk studio rekaman. Kini bandku sedikit lebih
terkenal dari pada sebelumnya. Dan aku telah menikmati hasil dari syair-syair
yang setiap malam aku rangkai kata demi kata.
Suatu malam aku mendapat ide
untuk mengadakan konser dan mengundang papa, mama serta kakakku. Akupun telah
menciptakan lagu khusus untuk mereka. Aku ingin mereka sadar bahwa aku yang
telah terbuangpun masih menyayangi mereka, masih menganggap mereka keluarga.
***
Berbulan-bulan aku telah
mempersiapkan konser itu bersama teman-teman bandku. Aku sengaja mengundang
keluargaku tanpa memberi tahu bahwa akulah yang mengundang mereka. Aku takut
kalau mereka enggan menghadiri konser ini.
Hari yang kunantipun telah tiba.
Dari balik panggung aku bisa melihat keluargaku duduk di tempat VIP. Ini adalah
konser terbesar yang pernah aku adakan bersama bandku. Aku juga mengundang
keluarga dari teman-teman bandku.
Setelah beberapa lagu selesai
dibawakan band-band tamu, aku mulai menaiki panggung. Aku memberi sepatah dua
patah kata untuk para hadirin.
“Terima kasih kami ucapkan
kepada teman-teman sekalian beserta tamu undangan yang telah menghadiri konser
kami. Terima kasih karena kalian telah mensuport band kami, sehingga kami dapat
berdiri di panggung ini dalam konser termegah yang pernah kami adakan. Konser
ini terutama kami tujukan kepada tamu undangan yang berada di kursi VIP selaku
keluarga dari personil band kami, serta teman-teman yang selalu mensuport kami.
Sebelumnya, kami akan membawakan
single terbaru kami. Dan akan kami bawakan di sini untuk yang pertama kalinya.
Saya menulis lagu ini untuk keluarga saya yang berada di kursi VIP. Saya ingin
mencurahkan segala rasa kasih sayang dan cinta yang terpendam dalam hati saya. Mama,
Papa, Kak Ryan… Vio sayang sama kalian. Maafin Viokalau Vio banyak salah pada
kalian. This song for you”
Aku membawakan lagu dengan penuh
perasaan. Hingga tanpa sadar aku menitikkan air mata ketika aku menyanyikan
lagu itu. Kulihat dari atas panggung, keluargakupun sama. Mereka juga
menitikkan air mata.
Setelah lagu selesai, aku segera
turun panggung dan berlari menghampiri tempat mereka duduk. Aku berlutut di
hadapan mereka sambil tanpa hentinya mulutku mengatakan kata maaf.
“Bangun, Sayang…” kata mama
sambil mengangkat tubuhku untuk bangun.
Aku mencium tangan mereka satu
per satu dan memeluk mereka. Merekapun membalas pelukanku dengan erat.
“Maafin Vio, Ma, Pa, Kak Ryan. Vio
sayang sama kalian.”
“Bukan, Sayang. Ini bukan salah
kamu. Ini salah kami yang tak mempedulikanmu. Papa nggak nyangka kamu punya
bakat terpendam. Andai Papa menyadari itu dari dulu…”
“Iya, Sayang. Hari ini kamu
cantik. Kamu putri Mama yang paling cantik.” Mama memelukku dan mengusap
rambutku.
“Lagumu bagus dan kamu hebat,
Sista,” kata kakakku sambil menepuk pundakku.
“Ya Tuhan, terima kasih atas nikmat-Mu hari ini dan hari-hari yang
telah lalu. Kini aku tenang karena mimpiku telah terwujud. Mereka telah
memelukku dan berjanji tidak akan melepasku lagi, Tuhan.”
0 komentar:
Posting Komentar