Seperti biasanya, aku selalu menghabiskan
soreku di pantai. Bukan untuk berlibur. Tapi karena rumahku memang sangat dekat
dengan pantai. Setiap sore ayah dan ibu selalu menemaniku melihat sunset. Inilah kebiasaan kami. Rutin
kami lakukan.
Aku memang anak tunggal dari keluarga ini.
Maka dari itu, ayah dan ibu selalu memperlakukanku dengan manja. Entah karena
apa. Mungkin mereka tak mau aku bernasib sama seperti kakakku yang telah
meninggal. Iya, kakakku telah meninggal akibat sakit keras. Saat itu ayahku
hanya seorang nelayan yang tak seberapa penghasilannya. Nyawa kakakku tak
terselamatkan karena tak mendapatkan penanganan medis. Semua itu karena biaya.
Namun setelah kejadian itu, ayahku
bertekad akan menjadi orang sukses. Ia tak mau mengulangi kesalahan yang
menurutnya sangat fatal. Kejadian itu terjadi sebelum aku dilahirkan.
“Icha lihat matahari yang hampir terbenam
itu?” tanya ayahku sambil jarinya menunjuk pada matahari yang hampir terbenam.
“Iya, Yah. Icha melihatnya. Begitu cantik
dan Icha suka,” jawabku sambil terus memandang matahari yang perlahan seolah
tenggelam tertelan laut yang biru setelah seharian menerangi ribuan jiwa di
jagat raya.
“Icha tau bahwa sesungguhnya matahari itu
tak pernah terbenam? Itu hanya sebuah tipuan dari fenomena alam yang terkadang
disalahpersepsikan oleh orang awam. Matahari selalu ada di tengah. Selalu
menjadi pusat dari segala peradaban di galaksi. Planet, bintang, satelit,
asteroid, semuanya tak pernah seperti matahari. Ayah harap Icha bisa menjadi
pribadi seperti matahari yang sekarang Icha lihat seolah-olah hampir
tenggelam.”
“Maksud Ayah apa?” tanyaku keheranan.
“Matahari tak pernah berubah dan berpindah
tempat. Ayah harap kamu bisa menjadi pribadi yang mulia dan tetap mulia tak
peduli dalam situasi dan kondisi yang entahlah. Biar orang awam memandang Icha
seolah Icha tenggelam. Seolah Icha kalah dengan mereka yang belum tentu lebih
baik dari Icha seperti matahari yang seolah kalah dengan bulan pada malam hari.
Icha mengerti maksud Ayah?”
“Icha mengerti Ayah. Icha janji pada Ayah.
Icha akan menjadi matahari bagi Ayah. Tak peduli ribuan juta orang menganggap
Icha akan kalah dengan bulan. Tapi sesungguhnya Icha tetap bersinar.”
Hari demi hari berganti. Tak terasa kini
aku semakin dewasa. Tak ada yang banyak berubah dariku. Aku tetap Icha yang
dulu. Yang selalu dimanja ayah dan ibuku. Icha yang tetap keras kepala dan akan
tetap menjadi mataharinya ayah dan ibuku.
Namun di tahun ke tujuh belas dalam
hidupku, seketika hidupku berubah. Tak lebih dari sebulan perlahan tapi pasti
bisnis ayahku gulung tikar. Semua ini akibat karyawan andalan ayah yang
mendadak melanggar kontrak kerja. Ayah telah berusaha menyewa pengacara dan
menuntut karyawannya itu. Namun semua sia-sia. Uang ayah habis, dan usaha ayah
gulung tikar.
Sementara dua bulan setelah kami bangkrut,
ibuku sakit keras. Tak lama setelah itu ia meninggal. Aku benar-benar sedang
mengalami cobaan yang bertubi-tubi. Perlahan tapi pasti kehidupanku mulai
berubah. Bahkan ayahku sekarang telah menjadi nelayan kembali.
Aku benar-benar tak mengerti kenapa Tuhan
begitu tega membuatku menderita seperti ini. Terkadang aku merindukan hidupku
yang dulu. Merindukan ketika kami bertiga melihat indahnya sunset bersama dengan secangkir teh yang masih kuingat betul
bagaimana aromanya.
Aku berusaha mencari kesalahanku di masa
lalu, sehingga membuatku seolah terkena hukum karma ini. Apakah karena aku tak
pernah bersyukur? Kurasa tidak. Aku lihat banyak orang di luar sana yang setiap
hari bersyukur. Tapi mereka tak pernah menjadi kaya.
Apa semua ini adalah kesalahan ayah? Iya,
aku kira begitu. Ini salah ayah yang tak pandai menyimpan aset yang telah
dimilikinya. Sehingga apa yang seharusnya menjadi milikku telah habis terbakar
oleh kecerobohannya.
Aku benar-benar mulai muak dengan ayah
yang penghasilannya hanya cukup untuk makan tiga kali sehari dengan menu ikan
asin. Tak hanya itu, yang membuatku jegkel. Akupun harus naik angkot ketika
pergi ke sekolah. Tak lagi ada mobil mewah yang setiap paginya mengantarku. Tak
ada lagi barang-barang mewah yang bisa kupakai ke sekolah. Semua telah berubah.
Benar-benar berubah.
Suatu hari aku benar-benar disibukkan oleh
tugas sekolahku. Apalagi aku tak punya akses untuk internet. Ah, semua ini
gara-gara kecerobohan ayah.
“Icha, bisakah kamu memasakkan Ayah? Ayah
harus membawa bekal karena mungkin baru esok Ayah pulang,” kata Ayah. Ia
menghampiriku yang sedang sibuk dengan buku-buku tebal.
“Tak bisakan Ayah lihat Icha sedang sibuk?
Ayah kan bisa masak sendiri.” Kata-kataku terdengar keras dengan nada
membentak. Bersamaan dengan itu, kubanting buku yang sedang kubaca ke meja.
Ayah hanya terdiam dan menundukkan
kepalanya. Terpancar raut wajah kecewa dan rasa bersalah darinya. Kemudian ia
pergi ke dapur dan memasak bekalnya sendiri. Sementara aku masih sibuk dengan
tugasku.
Kudapati diriku tertidur di antara
buku-buku berserakan ketika aku bangun. Ternyata aku tertidur ketika aku
mengerjakan tugas. Kulihat sekelilingku telah sepi. Mungkin ayah telah melaut.
Tapi kenapa ayah tak membangunkanku? Ah, mungkin ayah malu untuk menemuiku.
Kucium aroma nasi hangat dan dadar telur.
Kuikuti aroma itu yang akhirnya membawaku pada sebuah meja di ruang makan,
tentu saja meja makan. Sepi, tak ada siapa-siapa. Kusibakkan tudung saji yang menutupi
meja itu. Perutku terdengar makin keras keroncongannya ketika mataku melihat
nasi hangat dan dadar telur yang ditaburi bawang goreng. Pasti lezat.
Kulempar tudung saji bak orang sedang
kesetanan. Kusantap makanan dengan penuh semangat seperti orang tiga hari
menahan lapar. Ah, aku tak peduli. Kapan lagi ada dadar telur di meja makan
yang seperti meja tak berfungi. Karena hampir tiap hari hanya ada nasi dan ikan
asin. Tak seperti meja makanku yang dulu. Yang selalu ada lebih dari satu menu
yang lezat. Ditambah dengan macam-macam buah pencuci mulut. Namun sekarang,
yang ada hanya nasi, dadar telur yang tak lagi utuh, karena harus satu untuk
berdua, dan pencuci tangan.
“Ayah, kapan Icha bayar uang bulanan?” tanyaku
suatu hari ketika Ayah baru selesai melaut.
“Nanti ya Nak. Ayah belum punya uang. Ayah
mau istirahat dulu.” Kemudian ayah beranjak dan melangkahkan kakinya.
“Ayah tunggu…” Ayahpun berhenti dan
menoleh kearahku.
“Jadi apa yang Ayah dapat dari melaut
seharian? Hanya nasi dan ikan asin yang rasanya menjijikkan di mulut Icha? Atau
hanya kelelahan yang Ayah dapat?” bentakku sambil menatap tajam mata ayah. Ia
hanya tertunduk.
“Maafkan Ayah, Nak…”
“Maaf? Ayah lihat sekeliling. Apa yang berharga di gubuk yang hampir roboh ini? Bandingkan dengan rumah kita yang dulu, bak istana. Ayah tentu tak lupa bagaimana rumah kita dulu kan? Atau justru Ayah lupa karena yang Ayah ingat hanya pulang melaut membawa uang yang cukup untuk makan nasi dengan ikan asin? Yah, Icha bukan Ayah yang tetap lahap hanya makan dengan ikan asin.”
“Maaf? Ayah lihat sekeliling. Apa yang berharga di gubuk yang hampir roboh ini? Bandingkan dengan rumah kita yang dulu, bak istana. Ayah tentu tak lupa bagaimana rumah kita dulu kan? Atau justru Ayah lupa karena yang Ayah ingat hanya pulang melaut membawa uang yang cukup untuk makan nasi dengan ikan asin? Yah, Icha bukan Ayah yang tetap lahap hanya makan dengan ikan asin.”
“Ayah memang bodoh, Nak. Ayah tak sanggup
membahagiakan kamu.”
“Memang. Siapa yang pantas disalahkan atas
kebangkrutan Ayah? Karyawan Ayah? Bukan Yah! Itu salah Ayah! Kesalahan Ayah itu
yang membuat Icha menderita.”
Kutinggalkan Ayah yang tertunduk menyesali
dirinya. Biarkan dia sadar bahwa semua ini adalah mutlak kesalahannya. Biarkan
dia mengerti bahwa aku sangat menderita menjadi anaknya.
Ayah adalah pria yang terhebat di mataku
dulu. Ayah adalah sosok yang lisannya mampu menggetarkan hatiku dulu. Kerja
kerasnya adalah nadiku dulu. Iya, semua itu dulu. Sudah berlalu dan dulu tak
pernah sama dengan sekarang.
Setiap detik di menit yang sama adalah
beda. Namun terkadang aku tak menyadari itu. Sungguh itu hanya hal kecil yang
selalu kuabaikan. Semumur hidupku? Satu detik saja apapun sudah dapat berubah.
Kini aku menyadari ketololanku yang menganggap harta ayahku dulu tak akan habis
sampai aku mati.
Suatu hari datang keluarga dari kota yang
menyewa lahan ayah untuk proyek. Ia adalah seorang pria setengah baya yang
sangat kaya raya. Hampir setiap hari ia mendatangi lahan ayah hanya untuk
melihat proyek yang sedang dikerjakan anak buahnya.
Hari kelima proyeknya, ia masih rutin
menyambangi lahan ayah. Namun kali ini ada yang berbeda. Ia mengajak anak
perempuannya yang seumuran denganku. Ia adalah gadis cantik yang matanya memancarkan
kecerdasan. Namanya adalah Avrilla
Tak lama kemudian kami telah akrab. Dia
menceritakan kehidupannya di kota. Dia terlihat sangat periang. Aku senang
mendengar ceritanya yang sangat menarik untuk di dengar.
“Ayahmu nelayan ya?” tanyanya ketika
ceritanya habis.
Aku tak menjawab dan hanya tersenyum
sambil menunduk. Aku malu untuk menjawabnya. Kurasa dia juga mengerti bahwa aku
malu. Terlihat dari reaksinya yang agak canggung ketika melihat bahasa tubuhku.
“Kamu tahu pria yang berdiri disana?”
tanyanya sambil menunjuk ayahnya yang sedang mengontrol proyek.
“Emm…
Dia ayahmu kan? Jawabku sambil mengangguk.
“Bukan. Dia adalah majikan ayahku dulu.
Ayah kandungku dulu bekerja sama dia. Tapi ayah menderita sakit akibat kerjanya
yang terlalu keras. Kemudian ia meninggal. Karena merasa kasihan, majikan
ayahku mengangkatku menjadi anak.”
“Enak dong, jadi anak orang kaya,”
celetukku.
“Nggak. Sebaik apapun Ayah angkatku saat
ini, tak akan menandingi kebaikan Ayah kandungku. Kamu tahu? Seorang Ayah yang
telah berani mempunyai anak sesungguhnya dia telah memikul tanggung jawab yang
berat. Bukan hanya tanggung jawab kepada anaknya, tetapi juga kepada Tuhan.
Seorang Ayah yang akan menanggung dosa anaknya apabila anaknya berbuat salah.
Ayah yang akan menanggung malu bila anaknya berbuat hal yang memalukan. Ayah
pula yang akan menanggung malu ketika anaknya tak menghargai kerja kerasnya.
Pasti ia malu karena merasa tak mampu membahagiakan anaknya. Tapi sesungguhnya,
itu harusnya jadi kebanggaan bagi seorang anak.”
Aku hanya terdiam dan mulai terhanyut
dalam kata-katanya. Kata-katanya serasa tamparan bagiku.
“Aku pernah sekali meremehkan kerja Ayahku
suatu hari. Aku bilang bahwa Ayah tak pantas menyekolahkanku di sekolah mahal
karena pasti aku akan malu sama teman-temanku. Kemudian Ayahku hanya tertunduk
dan berkata bahwa harusnya aku bangga bisa bersekolah disana. Aku menyesal dan
sampai saat ini aku masih ingat betul bagaimana paraunya suara Ayah. Aku tau ia
sedang menahan tangis saat itu.”
Kemudian ia melanjutkan ceritanya. Sebelum
ia berkata lagi, ia menyeka air matanya yang mengalir di pipinya.
“Terkadang dulu aku iri melihat
teman-temanku diantar ayahnya dengan mobil. Aku berandai-andai jika saja ayahku
adalah orang kaya. Namun aku kini sadar, ayahkulah yang terbaik. Apa yang
kuinginkan ada pada dirinya. Setelah kupikir, aku tak butuh mobil karena aku
punya kedua kaki yang masih bisa jalan. Kurasa aku tak perlu malu karena kita
sama-sama diciptakan dan pada akhirnya kita akan meninggalkan apa yang kita
miliki di dunia.”
Aku mulai menitikkan air mata dan
menyadari betapa durhakanya aku pada ayahku.
“Asal kamu tahu, aku sama sekali tak
menemukan sosok Ayah kandungku pada Ayah angkatku. Ayah angkatku memang baik,
tapi Ayahku berjuta kali lebih luar biasa bagiku. Aku tak bisa mengira betapa
sakitnya hari Ayah yang bagaikan tercabik-cabik ketika mendengar kata-kataku yang tak seharusnya kukatakan.”
“Aku menyesal, Vrill. Aku sungguh
menyesal. Aku udah bentak-bentak Ayah. Aku udah buat Ayah merasa tak berguna.
Padahal dia sangat berharga lebih dari nyawaku. Aku menyesal.” Tangisku meledak
seketika. Kupeluk tubuh Avrilla. Dia mengelus pundakku dan menyeka air mataku.
“Kamu tahu, Icha? Ayah selalu memberi apa
yang tidak kita minta. Dia bekerja keras tanpa kita minta. Bahkan dia tak
pernah memperlihatkan kelelahannya pada kita. Di sela-sela sujudnya, ia masih
menyempatkan diri meminta kepada Tuhan. Tak peduli seberapa sering kita
membuatnya marah dan kecewa.”
Aku tertunduk dan terisak. Aku menyesali
kedurhakaanku kepada ayahku sendiri. Kuingat-ingat sekali lagi. Apa salah ayah
terhadapku sehingga aku begini? Setelah kuingat, ini bukan kesalahan Ayah. Ini
hanya ujian dari Tuhan.
“Minta maaflah pada ayahmu. Buat ayahmu
bahagia. Kita nggak pernah tau kapan ayah kita akan pergi. Tuhan bisa saja
mengambil kesempatan kita untuk berbakti pada ayah kita. Peluk dia dan cium
tangannya. Bilang bahwa kamu khilaf dan kamu sangat menyayanginya,” katanya
seraya menepuk pundakku dan pergi menyusul ayah angkatnya.
Aku menunggu ayah pulang melaut. Aku
mondar-mandir dan mulai gelisah. Aku berlari ke pantai dan melihat gumpalan
awan hitam. Aku tahu hujan akan turun. Mungkin akan disertai badai. Namun
mengapa ayah tak kunjung pulang? Tak biasanya ayah melaut sampai sesore ini.
Apalagi nampaknya badai akan datang.
Aku menunggu di tepian pantai. Betapa senangnya
aku ketika melihat perahu yang kian lama kian mendekat ke arah pantai.
Kuhampiri perahu itu.
“Ayaaaah…”
Perahu itu kian mendekat. Namun kini
semakin tampak jelas bahwa perahu itu bukan perahu ayahku. Aku hanya menunduk
kecewa dan kembali menanti perahu Ayah. Namun, salah satu dari pria dari perahu
tadi menghampiriku. Ia berlari kearahku.
“Icha, Ayah kamu…” katanya sambil nafas
tersenggal-senggal.
“Kenapa Ayahku, Pak?” tanyaku pada pria
itu. Dia adalah teman ayahku.
“Perahu Ayahmu tenggelam karena di laut
sedang terjadi badai. Jenazahnya ada di perahu itu,” katanya sambil menunjuk
kea rah perahunya.
Aku berlari menghampiri perahu itu. Aku
melihat sosok ayahku yang terbujur kaku dengan wajah yang pucat. Rambutnya masih
basah. Kupeluk sosok itu. Berharap bahwa ayah akan bangun.
“Ayah… ayah bangun. Jangan tinggalin Icha.
Icha masih butuh Ayah. Ayah bangun.” Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak
percaya semua ini terjadi.
Ketika aku baru saja tersadar dari
kekhilafanku. Ketika aku baru saja ingin mencium tangannya. Ketika aku baru
saja ingin membuka lembaran baru dalam hidupku bersamanya. Namun, kenapa Tuhan
memanggilnya lebih dulu?
Aku sungguh ingin membuatnya tersenyum
kembali. Bahkan aku lupa bagaimana dan kapan senyum yang terakhir muncul dari
bibirnya.
Kucium keningnya, kemudian tangannya.
Mungkin ini adalah ciuman terakhirku dan akan jadi bakti terakhirku padanya.
Sungguh rasa sayangku tak pernah hilang dari hatiku. Aku hanya khilaf saat itu.
“Maafkan Icha, Ayah…” bisikku di
telinganya. Aku tak peduli kalaupun ayah tak mendengar bisikanku.
Senja ini berakhir dengan hilangnya
gumpalan awan di langit laut. Gumpalan awan itu kini terganti oleh matahari
yang hampir terbenam. Bukan, matahari tak pernah terbenam. Ia tetap ada di sana
menyinariku. Begitupun Ayah. Mungkin setelah ini kita berada pada alam dan
dunia yang berbeda. Tapi aku tahu bahwa Ayah akan tetap menyinariku. Sinarnya
pasti akan sampai pada gubuk kecil peninggalannya.
Di pesisir inilah dia lahir, tumbuh dan menjadi
pria terhebatku. Namun di pesisir inilah ia harus pergi. Bukan hanya aku yang
sedih. Ombak-ombakpun terdengar menangis melihat sosok ayahku yang telah
terbujur kaku. Pesisir ini yang menjadi saksi betapa aku mencintai ayah. Dan
kelak, di pesisir inilah aku akan melanjutkan hidupku.
Aku akan melanjutkan perjuangan ayah. Aku
akan menjadi seorang pelaut. Aku tak peduli walaupun aku perempuan. Dari hasil
melautlah ayah dapat menghidupiku. Akupun tak peduli ketika dunia akan
mencercaku nanti.
***
0 komentar:
Posting Komentar