Aku tinggal di
sebuah kota di komplek yang mayoritas pemilik rumahnya adalah kalangan
pengusaha. Aku tinggal bersama mama dan seorang pembantu karena Papaku kembali
ke Amerika setelah papa dan mamaku bercerai. Mereka bercerai ketika aku berumur
12 tahun. Samapi beberapa bulan setelah mereka cerai aku mengalami tekanan
batin sampai aku harus opname di rumah sakit untuk beberapa minggu.
Papaku keturunan orang Amerika. Jadi
aku berdarah blasteran. Papa dan mamaku bertemu ketika mamaku kuliah di
California. Dan mereka menikah di Amerika. Setelah aku berumur 5 tahun, kami
pindah ke Jakarta. Namun walaupun mereka telah bercerai papaku dan nenekku yang
di Amerika sering memintaku untuk menghabiskan liburanku di sana ketika aku
sedang libur panjang. Papaku tidak seperti mamaku. Papa selalu care sama aku.
Begitu juga keluarga papa. Mereka sering memintaku untuk tinggal bersama
mereka. Namun aku selalu menolak. Aku tidak tega meninggalkan mama sendiri.
Seperti biasa, pagi itu aku
dibangunkan oleh pembantuku. Mamaku sendiri tidak pernah membangunkanku karena
mama sudah ke kantor dulu. Mamaku memang wanita karir. Hanya di rumah saat
weekend saja. Itupun masih mengerjakan pekerjaannya di rumah. Terkadang aku
merasa seperti sebatang kara di dunia. Mama selalu pulang larut saat aku sudah
tertidur.
Pernah aku mencoba menahan kantuk
demi menunggu mama pulang untuk mendapatkan sebuah kecupan sebelum tidur. Tapi
mama justru memarahiku. “Kamu ngapain belum tidur? Anak kecil nggak boleh tidur
larut malam. Nggak baik buat kesehatan”, katanya waktu itu.
Aku tau mama menyayangiku. Tapi mama
salah mengartikan hal tersebut. Mama mengira bahwa dengan semua kebutuhanku
terpenuhi aku akan bahagia. Tapi aku tidak pernah mengutarakan hal tersebut
karena aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengutarakannya pada mama.
“Mama udah pergi ya Bi?” tanyaku
pada bibi sambil menyisir rambutku.
“Sudah Non. Non mau mandi dulu atau
sarapan dulu?”
“Ya mandi dulu lah Bi. Kalo makan
dulu nanti seperti kebo dong” kataku sambil tersenyum pada wanita setengah baya
itu.
Aku memang akrab sekali dengan Bi
Ijah. Karena sejak kecil aku lebih sering menghabiskan waktu dengan Bi Ijah
dari pada dengan mamaku sendiri. Terkadang aku bercerita tentang masalahku
kepada Bi Ijah. Dia begitu baik padaku.
“Non, susu sama rotinya sudah Bibi
taruh di meja makan ya”, kata Bi Ijah dari luar kamar mandi. Sementara aku
sedang mandi di dalam.
“Iya Bi”, jawabku.
Setelah aku selesai mandi, aku
langsung pergi ke kamar untuk bersiap-siap memakai seragam. Setelah semuanya
siap, aku langsung pergi ke meja makan untuk sarapan. Saat aku mengunyah
rotiku, Bi Ijah menghampiriku.
“Non, Bibi mau pulang kampung. Ibu
Bibi lagi sakit keras. Bibi harus merawat ibu Bibi”, kata Bi Ijah sambil
membawa tas yang berisi pakaian.
Seketika aku terkejut sampai susu
yang kuminum keluar dari mulutku dan mengenai meja makan. Perlahan air mataku
membasahi pipiku. Aku tak menyangka orang yang selama ini selalu menjaga dan
mengurusiku lebih dari ibu kandungku akan pergi.
“Bibi serius? Bi tolong jangan
pergi. Nanti siapa yang akan temenin aku kalau mama pergi keluar negeri? Siapa yang
akan aku peluk kalau aku lagi sedih? Terus siapa yang akan denger curhatanku
saat aku lagi ada masalah di sekolah? Bibi itu udah aku anggap seperti mama
kedua buat aku”, kataku sambil memeluk Bi Ijah.
Akhirnya dengan berat hati aku harus
melepaskan Bi Ijah pergi. Lalu aku pergi ke sekolah dengan taxi. Karena di
rumah tidak ada sopir dan mama tidak pernah mengantarku. Walaupun ada mobil di
rumah tapi aku masih kelas 3 SMP, jadi aku belum boleh bawa mobil.
Setibanya di sekolah, aku disambut
oleh sahabatku Tita. Dia sahabat yang baik. Kami selalu bersama walaupun beda
kelas. Kami sudah lama berteman. Orang tua kami punya hubungan bisnis.
Terkadang aku menginap di rumahnya atau sebaliknya. Kami sudah seperti saudara
kandung.
“Eh, kamu kenapa sih Lice? Kamu
kelihatannya murung banget. Cerita dong sama aku kalau kamu ada masalah”, kata
Tita ketika kami duduk di taman sekolah.
“Bi Ijah pulang kampung Ta. Katanya
sih nggak balik lagi karena harus merawat ibunya yang sedang sakit. Kalo nggak
ada Bi Ijah, pasti nggak ada yang temenin aku. Mama nggak pernah peduli sama
aku. Aku sempat berpikir apa aku harus ikut papaku yang nggak pernah nelantarin
aku”, kataku.
“Kamu mau tinggal di Amerika? Kamu
nggak kasihan sama mama kamu? Aku bakalan berat hati banget kalau kamu jadi ke
Amerika. Alice, aku tau yang kamu rasakan. Kamu pasti merasa sendiri kan? Kamu
nggak sendiri kok Lice. Ada aku, aku udah anggep kamu seperti saudaraku. Kamu
boleh peluk aku, kamu boleh cerita semua masalahmu sama aku, bahkan kamu boleh
memintaku untuk menemanimu”, kata Tita sambil memelukku.
“Makasih, Ta. Kamu memang saudara
yang terbaik buat aku. Aku beruntung bisa mengenalmu” kataku.
Siang itu hari sedang hujan. Aku
menunggu hujan reda di depan kelas. Lalu aku berjalan ke depan aula agar jika
hujan reda aku bisa langsung pulang. Aku berjalan seorang diri karena sekolah
sudah mulai sepi. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari belakang. Orang
itu lalu menghampiriku sambil berlari.
“Alice, kamu mau pulang?” katanya.
Ternyata dia adalah Ivan, teman
sekelas Tita. Aku baru saja mengenalnya beberapa hari yang lalu. Kami
berkenalan saat Tita mengundang teman-temannya untuk ke rumahnya. Lalu dia
mengantarku pulang karena rumah kami satu arah.
“Iya nih. Tapi hujannya nggak
reda-reda. Padahal udah sore banget”, kataku.
Kemudian dia mengeluarkan jaket dari
tasnya.
“Ayo pakai jaketku saja. Nggak bakal
basah kok”, katanya.
Kami pun berjalan menuju gerbang
sekolah. Ivan menggunakan jaketnya sebagai penutup agar kami tidak basah oleh
air hujan. Lalu Ivan menyetop taxi untuk kami berdua. Dia mengantarkanku sampai
di depan rumahku.
Setelah turun dari taxi, aku langsung masuk ke rumah karena hujan masih sangat deras. Namun sesampainya di ruang keluarga aku terkejut karena mama sudah berada di sofa. Biasanya mama pulangnya larut. Tapi hari ini berbeda.
“Siapa tadi yang mengantarmu?
Pacarmu? Kamu terlalu muda”, kata mama setengah membentakku.
“Apa mama peduli? Setiap malam aku menunggu mama. Aku ingin
mama menciumku sebelum aku tidur. Tapi mama terlalu sibuk untuk itu. Aku capek
ma. Aku merasa tak seorangpun di dunia yang peduli kepadaku. Aku merasa sepi.
Terkadang aku berpikir untuk pergi ke Amerika,”kataku sambil meneteskan air
mata.
Mama hanya diam saat aku berkata
seperti itu. Lalu aku meninggalkan mama yang masih terdiam di sofa dan pergi ke
kamar. Lalu aku mengeluarkan laptopku dan menyalakan obrolan facebook untuk
bercerita kepada papa. Kami berbicara melalui video call. Papa menghiburku dan
menyanyikan sebuah lagu yang sering kami nyanyikan dulu.
Aku lihat papa menangis. Aku ingin
memeluknya. Aku lebih menyayangi papa dari pada mama. Papa selalu peduli sama
aku. Hampir setiap malam kami mengobrol melalui video call. Itu adalah jalan
satu-satunya untuk melepaskan kerinduan kami berdua. Papa selalu menanyakan
nilaiku dan apakah aku sudah makan malam. Begitu juga aku. Aku selalu
menanyakan bagaimana pekerjaannya dan apakah dia sudah benar-benar tidak
merokok.
“Papa, when you come to Indonesia? I
miss you so much. I want to kiss you and hug you. I want to tell you about
someone I love in my school. And we will sing together”, kataku
“As soon as possibly my child. keep
yourself. Be a my strong girl. You are my little angel. I don’t want my little
angel sad and cry. I want to see your smile. Smile for me please”, katanya.
Pagi itu aku terbangun dan terkejut
melihat mama berada di sampingku dan tertidur pulas. Lalu aku pergi ke kamar
mandi untuk cuci muka. Saat aku kembali ke kamar ternyata mama sudah terbangun.
Dia tersenyum kepadaku. Lalu dia mencium keningku.
“Morning Dear. Mumpung hari libur yuk kita ke Bandung. Ke rumah tante Wina. Udah lama Mama nggak ketemu sama tantemu itu. Pengen rasanya menghabiskan weekend bersama kamu”, kata mama.
“Morning Dear. Mumpung hari libur yuk kita ke Bandung. Ke rumah tante Wina. Udah lama Mama nggak ketemu sama tantemu itu. Pengen rasanya menghabiskan weekend bersama kamu”, kata mama.
Kami pun pergi ke Bandung. Di
perjalanan Mama selalu menanyakan tentang sekolahku. Hari ini mama terlihat
berbeda. Dia begitu perhatian sama aku. Mungkin mama sadar setelah mendengar
perkataanku tadi malam. Aku bahagia mama seperti itu.
Kami menginap di rumah tante Wina.
Malamnya aku kembali mengobrol dengan Papa melalui video call. Aku menceritakan
semua yang aku rasakan hari ini. Papa terlihat sangat bahagia mendengar
ceritaku.
“Dear, please call your Mama. I want
to say something to her”, kata Papa.
Lalu aku memanggil mama dan mengajak
mama ke kamar. Mama tersenyum malu saat aku berkata bahwa papa ingin berbicara
padanya. Sepertinya rasa cinta antara mereka masih tersimpan di masing-masing lubuk
hati mereka. Aku menarik lengan mamaku agar cepat masuk ke kamar.
“Honey, do you want to say with me?”
kata mamaku pada papaku.
“That’s right. Tomorrow is your
birthday. Now I want to be first say happy birthday to you. So, happy birthday
Honey, I wish Allah bless you. I love you”, kata papaku.
“Oh thanks Honey. I love you too,” kata mamaku.
“Oh thanks Honey. I love you too,” kata mamaku.
Kami mengobrol bertiga melalui video
call. Aku bahagia karena baru kali ini kami mengobrol bertiga setelah mereka
bercerai. Sampai pada pukul 00.00 aku dan papa kembali mengucapkan selamat
ulang tahun pada mama secara bersamaan. Lalu aku pergi menuju lemari untuk
mengambil kado untuk mama yang telah aku siapkan jauh hari.
Aku memberikannya pada mama. Mama
membukanya dengan senang hati. Mama kemudian memeluk dan menciumku. Aku merasa
sempurna hari ini. Aku merasa punya papa dan mama yang masih utuh walaupun
hanya mengobrol melalui video call.
“What your gift for me Honey?” Tanya
mama pada papa. Pertanyaan itu hanya untuk menggoda papa saja. Aku tahu itu.
“My gift for you is, next month I
will visit you. I will stay for three months” kata papa.
Mendengar kata papa, aku dan mama
langsung menjerit pelan kegirangan. Aku tak sabar untuk menunggu kedatangan
papa. Aku akan merasakan hangatnya rumahku ketika aku, mama, dan papa bisa
berkumpul kembali. Walaupun hanya untuk tiga bulan. Aku berjanji akan
menghargai setiap detik selama tiga bulan nanti.
Pagi itu aku dan mama akan pulang ke
Jakarta lagi. Kami mengendarai mobil. Namun di tengah perjalanan mobil mogok.
Hari masih agak gelap karena masih pukul 5 pagi. Lalu mama keluar untuk melihat
apa yang membuat mobil yang kami tumpangi mogok. Saat mama keluar dan menutup
kembali pintu mobil, datang sebuah kendaraan yang menyerempet mama. Hingga mama
terpental beberapa meter.
Aku menjerit dan keluar dari mobil
untuk melihat mama. Pengendara kendaraan yang telah menabrak mama kabur. Aku
melihat tubuh mama penuh dengan darah. Aku menangis dan takut. Aku menjerit
meminta tolong sani-sini. Hingga akhirnya ada orang yang mengantarkan kami ke
rumah sakit.
Di perjalanan menuju rumah sakit,
mama sadar. Nampak dari wajahnya dia menahan sakit yang amat sangat
menyiksanya. Aku memeluknya. aku mencium tangannya. Namun dia hanya tersenyum
padaku.
“Mama, aku tau mama kuat. Mama
bertahanlah. Aku yakin Mama nggak akan biarin aku sendiri di dunia. aku sayang
mama. Aku nggak mau kehilangan mama. Mama bertahan ya”, kataku.
Namun mama hanya tersenyum. Beberapa
detik kemudian aku merasakan tangannya yang sedari tadi menggenggam tanganku
mulai terlepas. Aku terus memanggilnya. Namun matanya perlahan terpejam. Hingga
akhirnya dia menghirup udara kuat-kuat dan menghembuskannya kembali dengan
kuat.
Setelah itu, aku tidak merasakan dia
bernapas. Aku tau mama sudah pergi untuk selamanya. Aku mencium keningnya
beberapa menit lamanya. Hingga akhirnya aku mencium punggung telapak tangannya.
“Selamat jalan Ma. Alice sayang
Mama”, kataku perlahan yang aku bisikan di telinga mama.
Beberapa jam sebelum kejadian ini
terjadi aku sempat berpikir bahwa aku akan merasakan mempunyai papa dan mama
kembali untuk tiga bulan. Namun aku salah. Tuhan telah menunjukkan jalan yang
lain untukku.
Setelah kepergian mama, aku memilih
tinggal di Amerika bersama papa. Aku harus meninggalkan sahabatku, Tita dan
orang yang aku suka, Ivan dan keluarga mama. Serta rumah yang selama ini
memberiku kenangan pahit dan manis bersama papa dan mamaku serta Bi Ijah.
Sebelum aku berangkat ke Amerika,
aku berkunjung ke rumah Bi Ijah bersama papaku. Aku ingin pamit dan memberikan
sedikit bantuan untuk pengobatan ibu dari Bi Ijah. Aku juga mengundang Tita dan
Ivan untuk dikenalkan pada papaku. Aku pernah berjanji akan menceritakan pada
papa orang yang aku suka. dan saat itulah aku bercerita pada papa tentang Ivan.
Aku memandangi seluruh rumahku dan
isinya. Aku menengok kamar mama. Aku akan merindukan rumah ini. Di rumah inilah
aku pernah merasakan mempunyai keluarga yang utuh. Aku meminta pada papa agar
rumah ini tidak di jual. Aku akan tinggal di sini saat aku berkunjung ke
Indonesia.
“Kami akan sangat merindukanmu”,
kata Ivan sambil matanya mengeluarkan air mata.
“Aku juga. Nanti kalau aku ada libur
panjang aku akan berkunjung ke Indonesia. Dan kita akan bermain bersama lagi”,
kataku sambil tersenyum namun dengan air mata yang bercucuran.
“Aku dan Ivan akan selalu menunggumu
untuk berkunjung lagi ke sini. Jangan pernah lupakan kami”, kata Tita sambil
memelukku.
Dengan berat hati aku harus
meninggalkan mereka yang aku sayang untuk tinggal di suatu tempat yang jauh.
Dan aku harus meninggalkan benda yang bisa mengingatkanku pada mamaku. Aku
melambaikan tanganku pada Tita dan Ivan lewat kaca mobil. Dan mereka juga
melambaikan tangan padaku dengan air mata yang berlinang di mata mereka.
Perlahan tapi pasti sosok mereka
menghilang dari pandanganku. Di perjalanan menuju bandara aku bersandar di bahu
papa dan tangan papa memelukku. Papa menghiburku dengan menyanyikan lagu yang
sering aku nyanyikan waktu kecil. Aku pun ikut bernyanyi sambil menangis. Aku
teringat saat aku, papa dan mama menyanyikan lagu itu di taman belakang rumah
yang sekarang aku tinggalkan.
1 komentar:
terharu bacanya
Posting Komentar