Aku mengintip Nenek dan Ayahku yang sedang berbincang dari
balik bilik bambu. Aku tahu dan mendengar apa yang mereka perbincangkan. Mereka
sedang memperbincangkan keadaan ekonomi keluarga kami yang memang sedang
mengalami kesulitan.
Kesulitan ini dialami keluargaku sejak rumahku dan toko-toko
Ayahku terbakar. Entah manusia kejam mana yang tega melakukan semua itu.
Setelah kami jatuh miskin, Ibuku memutuskan untuk menjadi TKI di Luar Negeri.
Namun beberapa bulan setelah keberangkatan Ibu, sebuah surat datang yang
diperuntukkan Ayahku. Surat itu berisi pemberitahuan Ibuku. Ternyata Ibuku
telah menikah dengan majikannya. Entah setan apa yang merasuki Ibuku sehingga
tega berbuat yang sedemikian itu.
Mungkin Ibu lelah hidup melarat dan mulai jenuh tinggal di
sebuah gubuk kecil berbilik bambu itu. Mungkin Ibu lelah membuatkan kopi untuk
Ayahku yang pulang kerja dengan membawa uang yang hanya cukup untuk makan nasi
dan ikan asin.
Aku membalikkan badanku dan menutup wajahku dengan kedua
telapak tanganku. Aku mencoba menahan suara tangisku agar tak terdengar oleh
Nenek dan Ayahku. Dadaku terasa sesak menahan tangis yang ingin meledak-ledak
ini.
“Baiklah, Bu. Aku sudah bulat tekad untuk pergi merantau ke
luar Jawa. Aku akan bekerja di pertambangan nanti. Ibu tenang saja. Untuk biaya
hidup Ibu dan Rita disini, aku akan rutin mengirim sebagian upahku setiap
bulan,” kata Ayahku seraya berdiri dan mengusap air matanya.
Aku segera berlari kepada Ayahku. Aku bersimpuh di hadapan
pria yang selama ini menjadi malaikatku. “Ayah, jangan pergi, Ayah. Rita akan
berkerja mencuci baju tetangga, mengasuh anak tetangga atau biarkan Rita
bekerja jadi buruh sekalipun. Asalkan Ayah tak pergi kemana-mana. Ayah,
tinggallah bersama kami. Jagalah Rita dan Nenek, Ayah.”
Ayah mengangkat tubuhku agar aku berdiri. Kemudian
didudukkannya aku di kursi bambu tempatnya duduk tadi. Diusapnya air mataku dan
diciumnya keningku. Aku hanya terisak. Tubuhku gemetar dan pundakku
terangkat-angkat karena menahan isak tangisku.
“Anakku Rita, tak usah kau bekerja untuk dirimu atau untuk
siapa saja. Sudah selayaknya seorang Ayahlah yang bekerja untuk keluarganya.
Tinggallah dirimu bersama Nenekmu di kampung. Ayah tak ingin tangan anak Ayah
ini kasar karena bekerja keras,” lalu diciumnya kedua tanganku.
“Tidak Ayah. Aku tak ingin menjadi yatim piatu pula jika
Ayah tetap hendak pergi. Biarlah Ibu saja yang meninggalkan Rita, janganlah
Ayah turut meninggalkan Rita sendiri. Kehilangan seorang Ibu cukup untuk
membuat Rita kesepian. Jangan ditambah lagi dengan Ayah yang hendak
meninggalkan Rita. Jika Ayah tetap hendak pergi, bawalah Rita turut serta ke
Pulau seberang.”
“Ayah tak mau Rita ikut bersusah payah bersama Ayah.
Tinggallah Rita di kampung bersama Nenek. Jagalah Nenek serta rumah ini.
Bantulah Ayah dengan doamu agar Ayah selalu dalam lindunganNya serta mendapat
banyak uang agar Ayah bisa membangun kembali usaha Ayah di sini. Nanti bolehlah
kita bersama lagi dalam keadaan lebih baik dari pada saat ini. Rita, percayalah
pada Ayah bahwa Ayah akan pulang dengan membawa banyak uang. Mari kita berjanji
untuk saling menjaga diri ketika sedang berjauhan. Dan kamu tenanglah. Ayah tak
akan sampai hati berbuat macam Ibumu. Saat ini Ayah hanya ingin pulang dari
tanah rantau dengan membawa banyak uang.”
Aku tak lagi dapat menghalangi kehendak ayahku yang ingin
pergi merantau ke luar Jawa. Mau tak mau aku harus merelakan kepergian
malaikatku itu. Walau dalam hati aku khawatir kalau terjadi hal buruk pada pria
yang amat aku sayangi itu. Ayah selalu menguatkan hatiku. Namun tetap saja aku
tak suka dengan kepergian ayah.
“Ayah akan baik-baik saja di sana Nak. Jangan risaukan Ayah.
Doakan ayah bisa pulang dengan membawa banyak uang. Jaga dirimu dan nenekmu
baik-baik. Segera kirim surat pada ayah jika terjadi apa-apa,” pesan ayah
sebelum pergi.
Pada hari yang telah ditentukan, akhirnya ayah berangkat
juga. Pagi itu, aku mengantar ayah sampai ke pelabuhan. Perpisahan membuat
suasana mengharu-biru. Kupeluk tubuhnya dengan erat seolah aku tak ingin
melepasnya. Akhirnya dengan sedikit paksaan aku melepaskan pelukannya.
Dengan langkah perlahan tapi pasti ayah meninggalkan aku
bersama nenek yang berdiri lemas. Tatapannya masih lekat pada kami. Aku tak
dapat menyembunyikan air mataku. Begitu juga nenek. Namun ayah tak meneteskan
air mata setetespun. Dia begitu kuat. Aku tahu hatinya hancur.
Setelah kapal membawa ayahku pergi, aku bersama nenek
pulang. Aku membuka pintu rumah. Terasa suasana yang sangat berbeda bila
dibandingkan tadi ketika aku meninggalkan rumah. Mungkin karena tak ada sosok
peghangat dan penjaga dalam rumah ini.
Semenjak kepergian ayah, aku turut membantu perekonomian
keluarga dengan menjadi buruh cuci. Aku biasa menerima cucian dari tetanggaku.
Walaupun aku masih sekolah di bangku kelas 5 Sekolah Dasar, namun kemampuan mencuciku
tak kalah bersih bila dibanding dengan hasil cucian orang dewasa.
Sudah hampir 5 bulan ayah merantau. Aku senang bila menerima
balasan surat darinya. Namun kali ini suratnya ada yang berbeda. Surat ini
menbuatku sangat senang.
Untuk Ananda Rita
Wulansari
Di
Rumah
Assalamualaikum Wr. Wb
Anakku Rita, insya
Allah bulan depan ayah akan pulang ke kampung. Ayah rasa cukup uang yang ayah
kumpulkan untuk mendirikan usaha di kampung. Ayah janji setelah ayah pulang
ayah tidak akan meninggalkan Rita dan nenek sendiri lagi. Ayah janji akan
menjaga Rita dan nenek di kampung.
Anakku, ayah rasa ini
adalah surat terakhir dari ayah. Setelah ini bukan surat lagi yang kau terima
dari ayah. Namun kau akan menerima kedatangan ayahmu ini. Ayah janji akan
belikan Rita baju bagus dari sini. Ayah harap Rita bersabar hati menunggu
kedatangan ayah.
Wassalamualaikum Wr.
Wb
Ayahmu
Aku senang membaca surat dari Ayah. Aku tak sabar menunggu
kedatangan ayah. Aku tak sabar untuk memeluk ayah setelah hampir setengah tahun
tak bertemu. Aku merindukannya. Aku merindukan kehangatan sosoknya.
Sambil menunggu kedatangan ayah, aku menjalani hariku
seperti biasa. Sekolah, menjadi buruh cuci, merawat rumah dan nenek dan
belajar. Semua itu aku lakukan sesuai dengan amanah dari ayah. Setelah ini,
setelah ayah pulang, aku akan terbebas dari satu pekerjaan yang berat. Yakni
menjaga nenek dan rumah.
Namun beberapa hari sebelum kepulangan ayah, aku mendapatkan
surat yang beralamatkan dari alamat ayah. Aku sempat berpikir bahwa ayah tak
jadi pulang. Demikian suratnya.
Untuk Ananda Rita
Wulansari
Di
Rumah
Assalamualaikum Wr. Wb
Ananda, mohon maaf
sebelumnya, saya baru bisa mengirim surat kepada ananda. Saya Pak Tarjo,
tetangga ananda di kampung yang sekarang bekerja di tempat yang sama dengan
ayah ananda. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa beberapa minggu yang lalu ayah
ananda sakit keras. Saya dan rekan kerja lainnya berniat untuk merawat ayah
ananda di rumah sakit. Namun ayah ananda sangat keras kepala. Beliau tak ingin
dirawat di rumah sakit.
Terakhir beliau bilang
bahwa beliau sangat merindukan kampung, beliau merindukan ananda dan nenek
ananda. Beliau ingin segera pulang. Namun karena beliau terlalu memaksakan
diri, dua hari sebelum kepulangan beliau, beliau jatuh sakit hingga tak
sadarkan diri. Keadaannya sangat kritis.
Dengan surat ini, saya
ingin memberitahukan pada ananda bahwa ayah ananda telah berpulang ke
Rahmatullah. Beliau meninggalkan wasiat yang saya kirim bersama surat ini.
Pemakanan telah dilakukan dihari ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya
pada hari Rabu pukul 2 dini hari.
Semoga ananda dan
nenek ananda diberikan ketabahan untuk menghadapi cobaan dari Yang Maha Kuasa.
Semoga beliau diterima di sisi-Nya. Saya mewakili keluarga dan rekan kerja turut
berduka cita atas kepulangan beliau.
Kuatkan hati ananda.
Ayah ananda orang yang baik budinya. Saya yakin Yang Maha Kuasa menempatkan
beliau di tempat yang layak. Saya mohon maaf tak bisa memberi bantuan apa-apa
selain apa yang sudah saya lakukan.
Wassalamualaikum Wr.
Wb
Tarjo
Mataku basah, dadaku sesak membaca surat itu. Aku tak
percaya ayah yang aku sayangi telah berpulang ke Rahmatullah. Beberapa minggu
lalu baru saja ayah berjanji akan menjagaku dan tak akan meninggalkanku lagi.
Namun kini aku memang harus benar-benar sendiri. Menjadi seorang anak
yatim-piatu.
Namun, kucoba kuatkan hatiku. Ini memeng takdir Yang Maha
Kuasa. Aku tak dapat melawan takdir. Kelahiran dan kematian adalah takdir yang
tak dapat dihindari. Suatu saat nanti aku dan nenekpun akan menyusul ayah
berpulang ke Ramhatullah.
“Ayah, tenanglah di sana. Rita akan menjaga nenek dan rumah.
Rita janji akan mencari bekal untuk nanti jika Yang Maha Kuasa hendak Rita
pulang. Rita akan mencari bekal agar dapat masuk di surga-Nya dan bertemu
ayah.”
0 komentar:
Posting Komentar