Share
9:59:00 PM

Surat Terakhir Dari Ayah

Aku mengintip Nenek dan Ayahku yang sedang berbincang dari balik bilik bambu. Aku tahu dan mendengar apa yang mereka perbincangkan. Mereka sedang memperbincangkan keadaan ekonomi keluarga kami yang memang sedang mengalami kesulitan.
Kesulitan ini dialami keluargaku sejak rumahku dan toko-toko Ayahku terbakar. Entah manusia kejam mana yang tega melakukan semua itu. Setelah kami jatuh miskin, Ibuku memutuskan untuk menjadi TKI di Luar Negeri. Namun beberapa bulan setelah keberangkatan Ibu, sebuah surat datang yang diperuntukkan Ayahku. Surat itu berisi pemberitahuan Ibuku. Ternyata Ibuku telah menikah dengan majikannya. Entah setan apa yang merasuki Ibuku sehingga tega berbuat yang sedemikian itu.
Mungkin Ibu lelah hidup melarat dan mulai jenuh tinggal di sebuah gubuk kecil berbilik bambu itu. Mungkin Ibu lelah membuatkan kopi untuk Ayahku yang pulang kerja dengan membawa uang yang hanya cukup untuk makan nasi dan ikan asin.
Aku membalikkan badanku dan menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku mencoba menahan suara tangisku agar tak terdengar oleh Nenek dan Ayahku. Dadaku terasa sesak menahan tangis yang ingin meledak-ledak ini.
“Baiklah, Bu. Aku sudah bulat tekad untuk pergi merantau ke luar Jawa. Aku akan bekerja di pertambangan nanti. Ibu tenang saja. Untuk biaya hidup Ibu dan Rita disini, aku akan rutin mengirim sebagian upahku setiap bulan,” kata Ayahku seraya berdiri dan mengusap air matanya.
Aku segera berlari kepada Ayahku. Aku bersimpuh di hadapan pria yang selama ini menjadi malaikatku. “Ayah, jangan pergi, Ayah. Rita akan berkerja mencuci baju tetangga, mengasuh anak tetangga atau biarkan Rita bekerja jadi buruh sekalipun. Asalkan Ayah tak pergi kemana-mana. Ayah, tinggallah bersama kami. Jagalah Rita dan Nenek, Ayah.”
Ayah mengangkat tubuhku agar aku berdiri. Kemudian didudukkannya aku di kursi bambu tempatnya duduk tadi. Diusapnya air mataku dan diciumnya keningku. Aku hanya terisak. Tubuhku gemetar dan pundakku terangkat-angkat karena menahan isak tangisku.
“Anakku Rita, tak usah kau bekerja untuk dirimu atau untuk siapa saja. Sudah selayaknya seorang Ayahlah yang bekerja untuk keluarganya. Tinggallah dirimu bersama Nenekmu di kampung. Ayah tak ingin tangan anak Ayah ini kasar karena bekerja keras,” lalu diciumnya kedua tanganku.
“Tidak Ayah. Aku tak ingin menjadi yatim piatu pula jika Ayah tetap hendak pergi. Biarlah Ibu saja yang meninggalkan Rita, janganlah Ayah turut meninggalkan Rita sendiri. Kehilangan seorang Ibu cukup untuk membuat Rita kesepian. Jangan ditambah lagi dengan Ayah yang hendak meninggalkan Rita. Jika Ayah tetap hendak pergi, bawalah Rita turut serta ke Pulau seberang.”
“Ayah tak mau Rita ikut bersusah payah bersama Ayah. Tinggallah Rita di kampung bersama Nenek. Jagalah Nenek serta rumah ini. Bantulah Ayah dengan doamu agar Ayah selalu dalam lindunganNya serta mendapat banyak uang agar Ayah bisa membangun kembali usaha Ayah di sini. Nanti bolehlah kita bersama lagi dalam keadaan lebih baik dari pada saat ini. Rita, percayalah pada Ayah bahwa Ayah akan pulang dengan membawa banyak uang. Mari kita berjanji untuk saling menjaga diri ketika sedang berjauhan. Dan kamu tenanglah. Ayah tak akan sampai hati berbuat macam Ibumu. Saat ini Ayah hanya ingin pulang dari tanah rantau dengan membawa banyak uang.”
Aku tak lagi dapat menghalangi kehendak ayahku yang ingin pergi merantau ke luar Jawa. Mau tak mau aku harus merelakan kepergian malaikatku itu. Walau dalam hati aku khawatir kalau terjadi hal buruk pada pria yang amat aku sayangi itu. Ayah selalu menguatkan hatiku. Namun tetap saja aku tak suka dengan kepergian ayah.
“Ayah akan baik-baik saja di sana Nak. Jangan risaukan Ayah. Doakan ayah bisa pulang dengan membawa banyak uang. Jaga dirimu dan nenekmu baik-baik. Segera kirim surat pada ayah jika terjadi apa-apa,” pesan ayah sebelum pergi.
Pada hari yang telah ditentukan, akhirnya ayah berangkat juga. Pagi itu, aku mengantar ayah sampai ke pelabuhan. Perpisahan membuat suasana mengharu-biru. Kupeluk tubuhnya dengan erat seolah aku tak ingin melepasnya. Akhirnya dengan sedikit paksaan aku melepaskan pelukannya.
Dengan langkah perlahan tapi pasti ayah meninggalkan aku bersama nenek yang berdiri lemas. Tatapannya masih lekat pada kami. Aku tak dapat menyembunyikan air mataku. Begitu juga nenek. Namun ayah tak meneteskan air mata setetespun. Dia begitu kuat. Aku tahu hatinya hancur.
Setelah kapal membawa ayahku pergi, aku bersama nenek pulang. Aku membuka pintu rumah. Terasa suasana yang sangat berbeda bila dibandingkan tadi ketika aku meninggalkan rumah. Mungkin karena tak ada sosok peghangat dan penjaga dalam rumah ini.
Semenjak kepergian ayah, aku turut membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh cuci. Aku biasa menerima cucian dari tetanggaku. Walaupun aku masih sekolah di bangku kelas 5 Sekolah Dasar, namun kemampuan mencuciku tak kalah bersih bila dibanding dengan hasil cucian orang dewasa.
Sudah hampir 5 bulan ayah merantau. Aku senang bila menerima balasan surat darinya. Namun kali ini suratnya ada yang berbeda. Surat ini menbuatku sangat senang.

Untuk Ananda Rita Wulansari
Di
Rumah
               
Assalamualaikum Wr. Wb
Anakku Rita, insya Allah bulan depan ayah akan pulang ke kampung. Ayah rasa cukup uang yang ayah kumpulkan untuk mendirikan usaha di kampung. Ayah janji setelah ayah pulang ayah tidak akan meninggalkan Rita dan nenek sendiri lagi. Ayah janji akan menjaga Rita dan nenek di kampung.
Anakku, ayah rasa ini adalah surat terakhir dari ayah. Setelah ini bukan surat lagi yang kau terima dari ayah. Namun kau akan menerima kedatangan ayahmu ini. Ayah janji akan belikan Rita baju bagus dari sini. Ayah harap Rita bersabar hati menunggu kedatangan ayah.
Wassalamualaikum Wr. Wb


Ayahmu              
Aku senang membaca surat dari Ayah. Aku tak sabar menunggu kedatangan ayah. Aku tak sabar untuk memeluk ayah setelah hampir setengah tahun tak bertemu. Aku merindukannya. Aku merindukan kehangatan sosoknya.
Sambil menunggu kedatangan ayah, aku menjalani hariku seperti biasa. Sekolah, menjadi buruh cuci, merawat rumah dan nenek dan belajar. Semua itu aku lakukan sesuai dengan amanah dari ayah. Setelah ini, setelah ayah pulang, aku akan terbebas dari satu pekerjaan yang berat. Yakni menjaga nenek dan rumah.
Namun beberapa hari sebelum kepulangan ayah, aku mendapatkan surat yang beralamatkan dari alamat ayah. Aku sempat berpikir bahwa ayah tak jadi pulang. Demikian suratnya.

Untuk Ananda Rita Wulansari
Di
Rumah

Assalamualaikum Wr. Wb
Ananda, mohon maaf sebelumnya, saya baru bisa mengirim surat kepada ananda. Saya Pak Tarjo, tetangga ananda di kampung yang sekarang bekerja di tempat yang sama dengan ayah ananda. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa beberapa minggu yang lalu ayah ananda sakit keras. Saya dan rekan kerja lainnya berniat untuk merawat ayah ananda di rumah sakit. Namun ayah ananda sangat keras kepala. Beliau tak ingin dirawat di rumah sakit.
Terakhir beliau bilang bahwa beliau sangat merindukan kampung, beliau merindukan ananda dan nenek ananda. Beliau ingin segera pulang. Namun karena beliau terlalu memaksakan diri, dua hari sebelum kepulangan beliau, beliau jatuh sakit hingga tak sadarkan diri. Keadaannya sangat kritis.
Dengan surat ini, saya ingin memberitahukan pada ananda bahwa ayah ananda telah berpulang ke Rahmatullah. Beliau meninggalkan wasiat yang saya kirim bersama surat ini. Pemakanan telah dilakukan dihari ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Rabu pukul 2 dini hari.
Semoga ananda dan nenek ananda diberikan ketabahan untuk menghadapi cobaan dari Yang Maha Kuasa. Semoga beliau diterima di sisi-Nya. Saya mewakili keluarga dan rekan kerja turut berduka cita atas kepulangan beliau.
Kuatkan hati ananda. Ayah ananda orang yang baik budinya. Saya yakin Yang Maha Kuasa menempatkan beliau di tempat yang layak. Saya mohon maaf tak bisa memberi bantuan apa-apa selain apa yang sudah saya lakukan.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Tarjo                    
Mataku basah, dadaku sesak membaca surat itu. Aku tak percaya ayah yang aku sayangi telah berpulang ke Rahmatullah. Beberapa minggu lalu baru saja ayah berjanji akan menjagaku dan tak akan meninggalkanku lagi. Namun kini aku memang harus benar-benar sendiri. Menjadi seorang anak yatim-piatu.
Namun, kucoba kuatkan hatiku. Ini memeng takdir Yang Maha Kuasa. Aku tak dapat melawan takdir. Kelahiran dan kematian adalah takdir yang tak dapat dihindari. Suatu saat nanti aku dan nenekpun akan menyusul ayah berpulang ke Ramhatullah.

“Ayah, tenanglah di sana. Rita akan menjaga nenek dan rumah. Rita janji akan mencari bekal untuk nanti jika Yang Maha Kuasa hendak Rita pulang. Rita akan mencari bekal agar dapat masuk di surga-Nya dan bertemu ayah.”

0 komentar:

Posting Komentar

Share on :